Kamis, 30 Oktober 2008

Antara Teori Modernisasi dan Dependensi

Teori Modernisasi Klasik

Bangsa Amerika Utara dan Eropa mendesain sebuah teori yang melibatkan ilmuwan, psikolog dan ahli-ahli sosial lainnya untuk mengatasi masalah pembangunan di negara dunia ketiga. Teori Modernisasi bernuansa Eropa sentris. Semua yang di Barat dianggap paling ideal dan negara dunia ketiga jika ingin modern harus memakai resep modernisasi ala Barat. Dengan kemampuan propagandanya, teori ini juga bertujuan membendung serbuan komunisme sejak perang dunia kedua sampai berakhirnya perang dingin, paradigma modernisasi telah diadopsi banyak negara dunia ketiga dalam melakukan pembangunan. Hal ini dipermudah karena teori ini merekomendasikan perlunya bantuan bagi negara berkembang dalam bidang ekonomi, tehnologi dan para ahli dari Amerika. Kemiskinan dan keterbelakangan di negara ketiga disebabkan faktor internal (budaya dan kultur) yang diidentifikasikan sebagai nilai-nilai tradisional. Budaya dan kultur di negara dunia ketiga dianggap sebagai penghambat terjadinya perkembangan masyarakat menuju modern. Warisan pemikiran teori modernisasi yaitu teori evolusi yang menggambarkan perkembangan dan perubahan sosisal merupakan gerakan searah dan seperti garis lurus. Masyarakat berkembang dari tradisonal menuju modern. Teori evolusi juga beranggapan perubahan secara lambat dan bertahap. Untuk perbaikannya perubahan harus menyentuh kultur dan struktur meninggalkan nilai-nilai tradisional dan mengadopsi nilai modern (Barat) hal inilah yang disebut modernisasi.
Beberapa ahli melakukan kajian antara lain dari sisi dimensi sosiologis, modernisasi menekankan pada perlunya diferensiasi struktural, masyarakat hanya menjalankan satu fungsi saja yang lebih khusus. Hal ini akan meningkatan fungsional kelembagaan dan meningkatkan efisiensi dan efektif dalam mencapai tujuan (Smelser, 1969). Dari sisi ekonomi, ada lima tahapan pembangunan ekonomi yang dialami negara maju, sehingga negara berkembang juga harus melewati tahapan tersebut. Fase yang kritis adalah fase lepas landas (Rostow, 1960). Transformasi ekonomi dapat berjalan dengan baik jika ada pembentukan modal untuk investasi, jika hal ini tidak ditemui di dalam negeri makan modernisasi menganjurkan bantuan dana pembangunan bagi negara berkembang untuk menggerakkan investasi. Sisi dimensi psikologis, modernisasi membutuhkan motivasi kebutuhan atau kebutuhan berprestasi, semakin tinggi kebutuhan berpretasi semakin modern suatu negara begitu juga sebaliknya. Dengan tingginya kebutuhan berprestasi akan menghasilkan kelompok wiraswastawan yang akan menggerakkan ekonomi modern (McClelland, 1964).
Melihat kondisi di atas maka implikasi dari kebijakan pembangunan adalah :
Secara implisit pebenaran hubungan kekuatan yang bertolak belakang antara masyarakat modern dan tradisional. Amerika Serikat dan Eropa sebagai negara maju, maka dijadikan sebagai model/panutan pembangunan. Negara dunia ketiga sebagai negara tradisional, miskin dna terbelakang
Ideologi komunisme sebagai ancaman pembangunan negara dunia ketiga
Modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang perlunya bantuan asing khususnya dari Amerika Serikat.

Hasil pembangunan saat diimplementasikan adalah menguatnya pembangunan ekonomi sebagai arus utama (main-stream) dari proses modernisasi. Ideologi pembangunan adalah pertumbuhan yang tinggi, efisiensi dan kompetisi. Ukuran kesuksesan pembangunan adalah angka-angka GDP, devisa negara, tingkat pertumbuhan dan lain – lain, dimana kenaikan angka tersebut dapat diartikan suksesnya pembangunan. Rakyat hanya penonton saja berharap dari tetesan yang mengalir dari atas, aktor utama adalah pemerintah, lembaga pembangunan asing, konsultan asing dan perusahan MNC.
Realitasnya pembangunan ini banyak gagal dibanyak negara berkembang khususnya Indonesia yang pada masa Orde Baru dengan mentah-mentah menelan obat modernisasi sebagai main-stream pembangunan. Hasilnya kemiskinan tidak berkurang, kerusakan alam yang luas, hutang luar negeri yang banyak, pengangguran meningkat, munculnya kediktatoran yang mengawal modal baik asing dan pengusahan lokal pemburu rente. Kritik yang muncul adalah:
Negara dunia ketiga harus meniru Barat. Hal ini adalah gejala etnosentris yang meletakkan negara dunia ketiga sebagai negara tradisional/primitif sedangkan negara maju/modern adalah negara Barat. Pelabelan ini sarat ideologis yang mengesahkan superioritas Barat
Teori Modenisasi mengabaikan kemungkinan dunia ketiga mencari dan mengembangkan alternatif pembangunannya sendiri
Para peneliti teori modernisasi terlalu optimis

Kritik ideologis lebih dalam lagi menyikapi, teori modernisasi adalah baju ilmiah yang dipakai Amerika Serikat untuk menutupi ideologi yang disembunyikan dibaliknya. Ideologi modernisasi menjadi senjata Amerika Serikat menghantam komunisme selama masa perang dingin. Teori ini juga melegalkan dominasi asing dengan bantuan uang, modal dan teknologi seakan melupakan sejarah bahwa negara dunia ketiga baru lepas dari jeratan kolonialisme yang dilakukan negara-negara Eropa. Dimana keterbelakangan negara dunia ketiga ditenggarai akibat politik kolonialisme. Hal ini dapat dilihat banyak negara sebelum mengalami kolonialisasi dadalah negara maju dan kaya, semenjak dijajah lama-lama menjadi miskin dan terbelakang sementara itu negara penjajah mengalami kemajuan yang pesat dan hidup dalam kemakmuran. Hal yang sangat ironis. Tiba-tiba negara bekas penjajah menjadi malaikat penolong bagi negara bekas jajahannya, saat kemerdekaan harus direbut secara paksa.
Teori Modernisasi Baru
Teori ini melihat interaksi nilai tradisional dengan nilai Barat, serta peran nilai tradisional dalam proses menunjang modernisasi. Di sini nilai tradisional yang selama ini sebagai penghambat pembangunan menurut teori modernisasi telah diakui sebagai hal penting dan tidak diposisikan sebagai dua hal yang saling bertentangan. Nilai tradisional tidak harus untuk ditinggalkan oleh negara dunia ketiga bahkan dianggap sebagai hal positif bagi pembangunan.
Peran nilai tradisional kembali direvitalisasi, pendekatan di atas banyak dipengaruhi dengan konsep baru seperti usaha familisme, teori barikade dan budaya lokal. Hubungan nepotisme yang diteliti di Hongkong ternyata nilai tradisional familisme mampu mendorong pembangunan ekonomi (Wong, 1988). Di Indonesia budaya tradisional merupakan hal dinamis dan selalu mengalami perubahan. Oleh karena itu budaya tradisional tidak menghalangi proses pembanguna (Dove, 1988).
Teori modernisasi baru kembali melihat peran sejarah, memberikan perhatian yang lebih terhadap keunikan dari proses pembangunan yang diamati. Apa yang diamati Wong belum tentu bisa dijelaskan dengan hal serua di Korea, Jepang dan negara dunia ketiga lainnya. Sejarah perkembangan dan tahapan yang dilalui pembangunan demokrasi tiap negara pasti berbeda. Proses demokrasi di Inggris dengan model linier tentu berbeda dengan proses demokrasi di Amerika Latin yang terbiasa dengan model siklus, yang ditunjukan dengan adanya pergantian secara teratur dari munculnya demokrasi dan despotisme sampai model dialektis, pemerintahan demokratis diganti diktator lalu tidka lama berganti menjadi transisi menuju demokrasi kembali seperti di Jerman, Spanyol dan Italia (Huntington, 1976).
Analisa dan pernyataan yang simplistik dihindari. Analisa dari lebih dari satu variabel lebih diutamakan dan dilakukan secara simultan terhadap berbagai pranata sosial yang ada (sosial, budaya, politik dan ekonomi), berbagai kemungkinan arah pembangunan dan interaksi antara faktor internal dan eksternal.

Teori Dependensi Klasik

Teori ini menjadi anti thesa dari pembangunan yang menggunakan teori modernisasi. Kegagalan KEPBBAL membuat kepercayaan terhadap teori modernisasi hilang. Faktor internal dari sebuah negara merupakan hal pokok yang membuat kemiskinan dan perkembangan. Paradigma dependensi melihat dari sudut yang berbeda, kemiskinan dan keterbelakangan bukan semata disebabkan faktor internal tetapi faktor eksternal berupa eksploitasi yang dilakukan negara maju terhadap negara berkembang. Maka solusi keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan bagi negara berkembang adalah memutus hubungan dengan negara maju.
Dalam teori ini ada dua kubu negara, satu kubu adalah negara pusat/metropolis dan kubu yang lain pinggiran/peri-pheri. Eksploitasi yang dilakukan negara metropolis terhadap negeri peri-pheri merupakan akar kemiskinan (Baran, 1957; Frank, 1967). Rekomendasi adalah memutus hubungan dengan dengan negara inti jika ingin terbebas dari kemiskinan dan keterbelakangan. Dimana bentuk hubungan inti-pinggiran tercipta model pembagian kerja internasional yang bersifat vertikal, negara maju yang memproduksi barang industri memiliki nilai tambah yang tinggi berbanding terbalik dengan negara pingiran yang memproduksi produk pertanian yang nilai tambahnya rendah (Prebish, 1953; Galtung, 1971). Perbedaan inilah yang membuat kemiskinan dan keterbelakangan. KEPBBAL, memberikan kritik tentang keusangan konsep pembagian kerja internasional (IDL). Kondisi ini juga yang memuluskan penghisapan surplus negara pinggiran kepada negara inti. Teori ini juga memandang bahwa kemiskinan dan keterbelakangan negara berkembang disebabkan oleh penghisapan surplus atas negara pinggiran melalui pengembalian bantuan kapital, teknologi dan SDM (Dos Santos, 1971).
Teori modernisasi dikritik sebagai cara untuk memuluskan penghisapan dari negara berkembang kepada negara maju. Semua inefisiensi negara maju dibebankan kepada negara pinggiran. Tidak hanya sampai disitu, negara yang paling dekat hubungannya dengan negara maju maka negara tersebut paling miskin dan terbelakang, meski sebelum berhubungan dengan negara inti, negara berkembang tersebut merupakan negara kaya. Kekayaan negara maju bisa dipastikan berasal dari pundi-pundi kekayaan negar apinggiran yang dihisapnya secara sistematis.
Implikasi kebijakan pembangunan dengan melakukan revolusi sosialis guna memotong hubungan dengan negara maju. Revolusi ini dibutuhkan karena elit berkuasa di negara pinggiran selama ini diuntungkan dengan pola ketergantungan dari negara maju. Elit berkuasa tersebut yang merupakan kelompok mapan (birokrat, militer, pendeta dan tokoh masyarakat) akan menghalangi pemutusan hubungan dengan negara inti, karena posisi mereka terancam. Berkaca pada pengalaman Revolusi Cina dan Kuba tanpa melewati 2 tahapan revolusi, mereka melewati tahapan Revolusi Borjuis, langsung menuju Revolusi Sosialis dan terbukti menang. Elit yang sebelumnya berkuasa lewat revolusi sosialis harus diganti oleh kekuatan rakyat tertindas. Rezim baru yang dipimpin oleh kaum tertindas akan dapat melakukan pemutusan hubungan dengan negara inti. Pelaku pembangunan bagi paradigma dependensi adalah rakyat kaum tertindas.

Teori Dependensi Baru

Teori ini lebih moderat dalam melihat hubungan penghisapan antara negara maju dan pinggiran. Rasa optimisme dari hubungan yang tergantung dapat menggeser posisi pinggiran menjadi ke tengah bahkan dapat menjadi inti (Hopskin dan Wallerstein, 1977). Tidak selamanya hubungan yang tergantung selalu merugikan negara pinggiran. Kedua belah pihak dapat mengambil keuntungan meski negara pinggiran dalam posisi tergantung masih dimungkinkan melakukan pembangunan. Hubungan inti-pinggiran bersifat dinamis tersebut tidak ditanggapi dengan negatif seperti pandangan dependensi klasik. Negara berkembang dapat mencapai kemajuan industrialisasi, proses ini disebut dependent devolopment . Teori ini merekomendasi bahwa hubungan inti-pinggiran tidak menjadi masalah sepanjang, ada harapan negara pinggiran mencapai kemajuan (Cordoso, 1973).
Elit militer dan politisi lokal yang memenangkan pertarungan politik dapat mempengaruhi ketergantungan dengan banyak memanfaatkan kerjasama modal nasional dan internasional, pola pembangunan tergantung berjalan meski mengorbankan kepentingan gerakan kerakyatan. Seperti yang ditegaskan dari penelitian Cordoso, O’Donnell dan Mas’oed.
Ketergantungan pembangunan yang dilakukan Taiwan yang diteliti Gold, ternyata membawa keuntungan dengan berhasil keluar dari krisis ekonomi. Pola ketergantungan lain yang dilakukan negara Korea Selatan yang diteliti Koo, membawa negara tersebut menjadi negara baru dijajaran negara Industri.

Senin, 13 Oktober 2008

Pembangunan Populer

Gambaran Umum

Konsep pembangunan yang dijalankan oleh Masyarakat Dunia Ketiga sangat kompleks dan beragam. Banyaknya persoalan yang muncul meski pembangunan telah mengadopsi konsep dan metode baru yang telah mendesain untuk mengatasi kelemahan yang paling serius dari perkembangan kerangka berpikir. Banyak orang mencari cara untuk memajukan kekayaan tradisi perkembangan alternatif yang telah disusun beberapa tahun belakangan ini.
Perhatian penuh terhadap kontektualitas perkembangan pada berbagai macam skala, termasuk faktor yang mempengaruhi yang komples dan berubah-ubah menyangkut urusan yang bersifat obyektif dan subyektif.

Penolakan terhadap berbagai Teori Hebat dan Prasangka Eurosentrik

Perkembangan penelitian dan ilmu pengetahuan semula membawa harapan baik ternyata berakhir dengan kekecewaan. Kelemahan yang bersifat teoritis dan praktis telah mendorong pemikiran digagas kembali mengenai konsep pembangunan.
Grand teories yang mendominasi berasal dari pemikiran lama Keynesian dan dikembangkan paradigma neo liberal telah merumuskan model valid dasar dan resmi bersifat universal bertentangan dengan pengalaman dan potensi alternatif pembangunan di negara-negara berkembang. Kecenderungan terhadap pembuatan teori besar harus ditolak karena tidak sesuai dengan analisis perbedaan dan perubahan yang membuat perkembangan menjadi ebuah proses pokok multilinear terhadap pembatas dna kesempatan yang berbeda menurut kompleksitas saling mempengaruhi baik faktor obyektif san subyektif.
Teorisasi yang hebat dan pemusatan disiplin ilmu “disiplin-centrism” sering diasosiasikan dengan Eurosentrism. Nilai-nilai barat diuniversalkan dan dihubungkan dengan kemajuan, sementara itu nilai-nilai tradisional dunia ketiga (negara-negara berkembang) diperburuk dan diikat kedalam stagnasi/kebosanan dan ketertinggalan. Dalam prosesnya nilai-nilai tradisional dan adat kebiasaan seringkali meningkatan ketegangan, ketidaktentuan dan perasaan standar yang bertentangan dengan dunia barat dengan demikian usaha untuk menghadapi segala macam masalah, hendaklah dibutuhkan perubahan struktur sosial ekonomi. Strategi pembangunan yang tepat harus memberikan perhatian penuh terhadap sejarah peninggalan yang diciptakan oleh masyarakat negara-negara berkembang terhadap faktor sosial budaya dan faktor khusus dari masyarakat tersebut dan membuat perkembangan sepanjang garis klasik dunia barat yang sangat tidak dapat dipercaya.

Penghubung antara Teori dan Praktek

Didalam pembangunan mengakibatkan makin kuatnya jurang antara teori dan praktek. Banyak penelitian yang bersifat teoritis hanya sedikit digunakan oleh praktisi pembangunan di lapangan, sementara pembangunan yang bersifat praktis sering kekurangan petunjuk atau mengulangi kesalahan dalam mengandaskan suatu teori agar lebih kokoh seperti yang diinginkan. Sementara itu, ada sebuah kumpulan kekayaan ilmu pengetahuan praktis diperoleh dari pengalaman keseharian dan pelatihan yang kurang baik dalam memberi informasi teori kepustakaan. Salah satu sumber yang bernilai dari teori perkembangan harus menjadi pengalaman perkembangan itu sendiri, sebagaimana yang dirasa dan dipraktekkan oleh berbagai macam kelompok masyarakat. Oleh karena itu, teori pembangunan harus lebih fleksibel dan responsif terhadap kondisi yang berubah Banyak masalah dunia ketiga sekarang ini menunjukkan krisis teori pembangunan hanya karena tidak tersedianya ide dan alat yang tepat untuk memecahkannya.
Penelitian harusnya mampu menerjemahkan pemahaman lain mengenai dunia ini tanpa mempertimbangkan berbagai dugaan dan konsepsi yang ada. Bertentangan terhadap banyak penelitian pembangunan, hal ini harusnya tidak diterima bahwa satu faktor (khususnya ekonomi) bersifat dominan atau proses sosial menyesuaikan diri dengan beberapa jenis antisipasi logika universal. Kemudian menjadi terang bahwa teori pembangunan harus memperdalam pemahamanya akan apa yang seharusnya menjadi ciri manusia. Hampir sebagian besar masyarakat di negara-negara berkembang, dalam hal ‘profesionalisasi’ dari pelaksanaan pembangunan, diluar dari kerangka pemikiran Eurosentris, sehingga pengaturan akan pengetahuan ini oleh golongan atas berdasarkan perhatian mereka sendiri. Akibatnya, devaluasi sumber alternatif dari ilmu yang populer telah mencegah partisipasi masyarakat secara luas didalam pembuatan keputusan pembangunan.
Perubahan manusia kepada pengantar terhadap pembangunan mereka sendiri, yang mana harus menjadi titik lokal dari setiap strategi pembangunan demokratis yang lebih luas, telah diperlambat oleh teori eksklusionari dan penganut faham elit. Pada saat yang sama, para ahli teori dicegah untuk mengerti banyak hal mengenai dunia nyata dalam arti yang lebih umum, terhadap pembangunan yang secara pura-pura dipimpin, karena ‘ahli’ ini telah jauh dari realitas dunia itu sendiri. Karena pengetahuan diasosiasikan dengan pendidikan formal pelatihan dunia barat, konsep dan metode yang asli diabaikan dan diturunkan ke posisi subordinate secara keras. Penelitian pembangunan yang tidak menyesuaikan diri dengan teori dan metode yang diterima oleh dunia barat diabaikan, seperti halnya wawasan baru, pemahaman, dan solusi kreatif mengenai sumber lokal lainnya terhadap masalah pembangunan.

Realisme Baru Versus Dikotomi Lama

Bergerak melewati model pembangunan yang ketingalan zaman, yang mana telah hidup lebih lama dari sejarah fungsi mereka, membuat mereka cenderung terhadap rangkaian dikotomi yang salah sehingga menghasilkan pertentangan akan agenda pembangunan pasca perang. Sebagai contoh dari dikotomi ini adalah keadaan perencanaan versus pasar, orientasi pembangunan batin versus orientasi pembangunan lahir, industrialisasi perkotaan versus pertanian di pedesaan, sentralisasi dari atas ke bawah versus desentralisasi dari bawah keatas.
Dikotomi lama antara Keynesian dan neo liberalisme telah berlangsung sengit saling menyalahkan akibat kegagalan pasar dan intervensi pemerintah namun telah terjadi versus realisme baru seperti bukti terbaru dari Asia Timur (Asian NIC) dan beberapa wilayah di kawasan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kekuatan pasar tepatguna tidak perlu menghalangi rencana pembangunan pemerintah. Keadaan campur tangan yang selektif dan secara hati-hati dan selaras dapat merubah pasar kearah pencapaian hasil pembangunan yang secara efisien memberikan pelayanan. Akan tetapi, persoalan utama sedang mencari solusi yang pantas dari keadaan pasar dan pemerintah, dan kemudian menemukan seperangkat pengaturan yang terorganisir dan bersifat institusional yang cocok dengan campuran ini. Baik pemerintah ataupun pasar bukanlah merupakan institusi netral, keduanya dapat bekerja untuk sesuatu yang baik, bahkan hal yang buruk sekalipun. Strategi pembangunan harus dipertimbangkan dibawah kondisi suatu negara dan pasar agar dapat bekerja untuk melayani pemba
Pertentangan sentralisasi dan desentralisasi dalam rencana pembangunan telah terjadi serius dan mengorbankan energi. apa tidak lebih baik memberlakukannya sebagai realisme baru dengan saling melengkapi. Kegagalan sentralisasi pada awal pasca perang dunia kedua telah mendorong usaha desentralisasi tahun 1960-1970an yang hasilnya juga gagal menghasilkan hasil yang diidamkan. Apa tidak lebih baik memberlakukannya sebagai realisme baru dengan saling melengkapi.

Pembangunan yang Seimbang dan Berkelanjutan

Meluasnya biaya sosial dan lingkungan dari pembangunan sekarang ini telah menyediakan perhatian untuk sebagian besar penelitian demi menopang pembangunan. Banyak penelitian menekankan tingginya ‘biaya kesempatan’ dihubungkan dengan kerusakan lingkungan yang tak dapat diubah dengan menyita pilihan pembangunan kedepan.
Telah ditegaskan bahwa pembangunan tidak dapat diukur dengan indikator GNP yang hanya berfokus pada pertumbuhan perekonomian. Malahan, perhatian harus diarahkan kepada persoalan mengenai hukum redistribusi dan etika egalitarian, pengembangan sumber daya manusia, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan spesis yang masih bertahan, dan perbedaan kepentingan dan hasrat dari kelompok yang terabaikan. Strategi yang dapat membangkitkan pertumbuhan yang tinggi tetapi juga dapat menghasilkan pemindahan hak milik orang lain yang meluas dan perbedaan penyaluran harus dihindari. Demikian juga, strategi yang berorientasi kearah pertumbuhan yang menghasilkan mutu yang tak diharapkan dari gangguan lingkungan harus ditinggalkan untuk mendapatkan pendekatan alternatf yang mengarah kepada perlunya memelihara lingkungan ekosistem dan pemeliharaan flora dan fauna.
Beberapa tahun belakangan ini, keuntungan ide-ide dan praktek yang bersifat baru dalam pembangunan yang berkelanjutan sangat terbantu dengan adanya pergerakan lingkungan hidup masyarakat di beberapa negara di Kawasan negara berkembang. Banyak dari kelompok ini mengambil rancangan alternatif pembangunan yang menghubungkan masalah lingkungan hidup dengan persoalan persediaan kebutuhan pokok, persamaan keadilan dan keadilan masyarakat, kepercayaan lokal terhadap diri sendiri, dan kekuatan populer. Sepanjang di negara-negara Kawasan Selatan, tuntutan yang dibuat oleh pergerakan lingkungan lokal menunjukkan sebuah benturan kesamaan: hak terhadap keamanan kebutuhan pokok; hak terhadap pemilikan tanah dan sumber penghasilan, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak untuk mewakili diri sendiri melalui lembaga mereka sendiri. Banyak pekerja pembangunan telah lama menyadari bahwa pengaturan sumber penghasilan yang berhasil tidak dapat dicapai tanpa kehendak baik dan kerjasama masyarakat lokal yang dapat berjalan. Dengan mengenal dan mempertemukan perubahan kebutuhan sosial dengan sumber penghasilan lokal, tentunya membutuhkan partisipasi yang efektif dari organisasi masyarakat pedesaan.
Pada akhirnya, krisis lingkungan di Kawasan Selatan juga merupakan krisis partisipasi politik dan kepercayaan. Bagaimanapun, saat persoalan lingkungan hidup dapat menawarkan kesempatan untuk memperluas partisipasi lokal dan membangun penggabungan masyarakat pedesaan, pergerakan populer juga harus menemukan cara untuk ‘meningkatkan’ usaha mereka untuk melawan pengrusakan strategi pembangunan yang mengacuh kepada ekologi dan masyarakat. Jika tidak, tuntutan akan hak demokratis dan pemindahan sumber penghasilan terhadap masyarakat lokal akan berlanjut dihalangi oleh minat yang kuat yang menguntungkan paling banyak dari strategi pembangunan top-down.

Pelaksanan Pembangunan secara Lokal

Perlunya memikirkan teori dan metode yang lebih tepat terhadap kekhususan masyarakat di Kawasan negara berkembang telah berfokus kepada peningkatan perhatian terhadap konsep dan praktek pembangunan yang bersifat lokal. Pemikiran pelaksanaan pembangunan secara lokal telah menjadi unsur utama dari percobaan untuk menciptakan pendekatan yang lebih luas dan cocok. Proses pembangunan yang bersifat lokal ini termasuk diantaranya penciptaan lembaga pemantau dan praktek untuk menaikkan kinerja pembangunan yang kritis dan independen. Secara tidak langsung dinyatakan bahwa emansipasi intelektual dan penaksiranlah yang mendasari paradigma pembangunan Dunia Barat. Hal ini menganggap bahwa bentuk yang baru dari pembangunan yang berdasar atas pengetahuan dan keperluan masyarakat negara-negara berkembang itu sendiri daripada ‘keahlian’ orang-orang luar lebih pantas diterapkan. Hal ini menolak usaha untuk membentuk kembali masyarakat lain menurut model etnosentris ‘universal’ dan standar yang telah ditetapkan.
Belajar mengenai kelompok sosial dan budaya lain, mengambil sebuah perhatian dalam pengetahuan lokal dan praktek kebudayaan sebagai dasar untuk melukiskan kembali pendekatan pembangunan, mengadopsi sebuah sikap mental yang lebih kritis dengan menghormati teori dan metode yang telah ditetapkan, dan memajukan partisipasi organisasi populer yang berasal dari kelompok lokal di semua tahap inisiatip pembangunan.
Konsep lokal dan metode berdasarkan pengalaman pembangunan dan tradisi intelektual mereka sendiri. Banyak dari pendekatan alternatif ini mencari bantuan partisipasi dan wewenang dengan menciptakan perasaan berharga diantara masyarakat negara-negara berkembang melewati penemuan kembali dan pengkajian ulang sejarah lokal dan tradisi budaya. Sebelum orang-orang dapat menentukan masa depan mereka sendiri, mereka terlebih dahulu harus melihat kembali kebelakang, mana yang paling sering hilang atau terbuang oleh gangguan dari model pembangunan asing. Meningkatnya penggunaan pengetahuan lokal dapat membuat program pembangunan lebih pantas, penyediaan solusi inovatif untuk masalah tertentu, menyumbangkan rasa penghargaan terhadap diri sendiri dan rasa harga diri dan mempertinggi partisipasi populer dan kekuatan. Untuk mengambil keuntungan dari kemungkinan ini, program pembangunan harusnya dimulai dengan dasar pikiran bahwa masyarakat lokal berpengetahuan dan memiliki keahlian yang dapat mengatur lingkungan mereka sendiri meskipun paksaan kerap mereka sering harus hadapi. Apabila disediakan dengan sumber penghasilan yang cukup, pengetahuan dan keahlian mereka menempatkan pada posisi yang ideal untuk memikirkan solusi yang tepat secara lokal terhadap masalah pembangunan mereka sendiri.





Ruang dan Tempat dalam Pembangunan

Rancangan pembangunan yang telah membongkar tegangan utama antara teori pembangunan sekarang ini dengan anggapan dari masyarakat bagian Utara, dan realitas pembangunan masyarakat di bagian Selatan. Seperti di banyak bidang lain, ada sebuah benturan kecenderungan dalam perencanaan yang bersifat kedaerahan untuk memberi penghormatan terhadap teori yang berpengaruh sebelumnya daripada menggagas kerangka baru yang lebih tepat. Realitas masyarakat di bagian Selatan secara berkelanjutan dicocokkan terhadap teori daripada melakukan pengujian yang belakangan atas yang sebelumnya. Akibatnya, kebijakan ruang dan tempat sering menggunakan pemikiran dan pelaksanaan yang dipinjam dari Utara yang sering tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di Bagian Selatan.
Pelaksanaan perencanaan harusnya memfasilitasi proses pembelajaran dua cara, dengan kata lain, penyebarluasan informasi dan teknik, mengijinkan pemikiran lokal, perspektif, dan metode untuk menginformasikan pembuatan keputusan dan prosedur pelaksanaan.
Usaha untuk memperluas partisipasi lokal menegaskan fakta bahwa perencanaan regional/spasial, seperti semua aspek pembangunan, dengan tak terpisahkan bersifat politis. Ruang, dalam pengertian yang nyata adalah secara politis mengadakan perlombaan pembentukan daerah kekuasaan. Perencanaan tidak dapat menjadi efektif apabila mencoba menyembunyikan masalah spasial dari perasaan territorial dari hubungan kekuasaan. Pembicaraan dan perdebatan atas strategi spasial harusnya dibarengi oleh sebuah analisa tentang konteks politik yang lebih luas dimana strategi ini berlangsung. Ini berarti melebihi konsep perencanaan spasial sebagai sebuah teknik semata-mata, sebagai sebuah proses politik.

Persoalan-Persoalan Mengenai Kemampuan

Prakarsa pembangunan yang mutakhir maupun alternatif tidak memberikan perhatian yang banyak terhadap masalah perekonomian, politik dan susunan sosial kebudayaan. Hanya sedikit perhatian diberikan kepada organisasi dan institusi lokal, yang mana seringkali menjadi tidak demokratis dan meniadakan kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kelas, gender, suku, dan patokan lain. Sebagai hasil, banyak usaha pembangunan, termasuk bagian yang besar dari rancangan bottom-up pura-pura didisain untuk mempertinggi partisipasi lokal, telah menjadi begitu terpisah dari yang lain dalam prakteknya. Sayang sekali, prakarsa pembangunan ini telah mengabaikan fakta bahwa rancangan yang memberi manfaat dapat dimonopoli oleh kelompok elit atau kalangan pegawai negeri dan pimpinan proyek, sehingga dapat menjadi sekutu dengan kelompok yang menentang perhatian kalangan masayarakat miskin dan yang kurang beruntung.
Kecenderungan di sebagian besar rancangan pembangunan adalah untuk melihat komunitas dalam keadaaan homogen, dengan cara memberi batasan berbagai kemungkinan terhadap perbedaan kebutuhan dan perhatian pada berbagai kelas, gender, suku dan batasan lainnya. Sumber yang tepat dari ketidaksamaan dan diskriminasi diabaikan, dan dianggap bahwa rancangan yang diatur secara lokal yang luas akan berkuasa. Persoalan mengenai bagaimana organisasi dan komunitas lokal dihubungkan terhadap susunan politik dan sosial kebudayaan diabaikan. Seringkali, rancangan mendapat ganngguan dari sindrom ‘peluru sihir’, dimana cukup sederhana, solusi yang rapi (biasanya diatur oleh para ahli/teknokrat) terhadap masalah pembangunan dilihat gagal terhadap tanggungan untuk kompleksitas susunan masyarakat lokal. Akantetapi, masyarakat miskin umumnya menghadapi rintangan yang besar terhadap perbaikan masyarakat mereka dan perbaikan taraf perekonomian (contohnya: hubungan kekuasaan yang tersudutkan, distribusi pendapatan yang tidak seimbang). Lagipula, kemajuan kelompok marginal dapat dihalangi oleh halangan tertentu (berdasarkan susunan gender, suku, agama dan bahasa). Selama rintangan ini tak diabaikan, rancangan pembangunan mempunayi sedikit kesempatan untuk menemukan apa sebenarnya kebutuhan dan perhatian pokok dari kelompok masyarakat miskin dan marginal.
Diantara kelompok marginal dari masyarakat negara-negara berkembang ini, kelompok wanita miskin telah diabaikan oleh usaha-usaha pembangunan – tidak hanya program yang bersifat makroekonomi seperti penyesuaian struktur, tetapi juga oleh rancangan pembangunan lokal yang lebih spesifik. Dengan sikap acuh tak acuh terhadap pengaruh perbedaan gender dalam pembuatan kebijakan, para pembuat kebijakan sering jahat terhadap masalah yang hebat yang dialami oleh kelompok wanita miskin. Karena hampir semua kelompok perempuan berada pada tingkat yang dirugikan dalam hubungannya dengan pria (dalam hal pendapatan, modal, pendidikan dan pengaruh politik), kebijakan ‘kesetaraan-gender’ lebih lanjut sering memarjinalkan perempuan dengan memperlemah posisi mereka khususnya dalam kelompok sosial dan sektor perekonomian. Karena hampir kebijakan kesetaraan-gender memasukkan dan menguntungkan pria.

Pembangunan yang Kuat dan Berorientasi kepada Rakyat

Kegagalan pembangunan jaman sekarang untuk mencapai kepentingan yang populer menegaskan perlunya untuk menemukan pendekatan yang beorientasi kepada kemanusiaan yang mana lebih berfokus terhadap kemampuan akan partisipasi. Pengalaman menunjukkan bahwa masalah seperti ketertinggalan pembangunan, ketidaksamarataan, dan kemiskinan tidak dapat memecahkan strategi top-down seperti paham yang diacungkan oleh neoliberalisme dan keynesianisme, tetapi membutuhkan perubahan dari pendekatan alternatif berdasarkan atas kemampuan populer. Dari pandangan ini, prakarsa pembangunan dapat menjadi lebih efektif apabila mereka berpindah dari sebuah fokus dan sasaran yang telah ditetapkan secara ekstenal, kearah yang lebih fleksibel, ‘memungkinkan’ orientasi didisain untuk meningkatkan intelektual, moral, manajerial, dan kemampuan teknis dari masyarakat lokal. Kemampuan menjadi sebuah proses yang beraneka ragam, termasuk kelompok sumber penghasilan untuk mencapai kekuatan yang kolektif untuk menentang susunan penganut kaum elit. Hal ini memerlukan kemampuan bagi masyarakat lokal atas kemampuan manual dan teknis mereka; administratif, manajerial, dan kapasitas perencanaan; dan kemampuan analitis dan reflektif. Dengan memasukkan semua unsur ini, proses pemberian wewenang dapat menyumbangkan bentuk baru dari pembangunan yang mana pemenuhan atas kesanggupan kemanusiaan dan kemampuan lebih khusus bersifat penting.
Peningkatan partisipatori pergerakan dan organisasi sekarang ini telah dihubungkan dengan banyak negara terhadap kemunculan subjektivitas yang baru. Bahkan jika alasan mereka mungkin secara meluas mengenai ekonomi, sebagian besar anggota dari pergerakan populer tidak memahami perjuangan mereka yang semata-mata berdasarkan ekonomi dan kelas. Secara teori dan praktis, hasil telah menjadi sebuah perpecahan dalam ruang politik yang bersatu pada kelompok lain yang mana sebelumnya diwarnai oleh sebuah hak pokok – yaitu kelas pekerja. Kesatuan ini telah dipecahkan untuk membuat ruang untuk pluralitas dari sekelompok pelaku yang membuat sektor yang populer. Konsepsi orang-oramg desa yang baru telah dikembangkan dimana melihat masyarakat sebagai sebuah entitas yang berbeda dan multidimensi yang diproduksi melalui konstruksi identitas yang kolektif oleh pelaku sosial yang berbeda menurut pandangan dan minat yang beranekaragam.
Mereka telah menghasilkan sebuah gaya baru yang plural, bottom-up, tidak mengikat satu aktivitas partai politik yang dengan lambat merevitalisasi sayap kiri dibanyak negara dengan melakukan perubahan yang paling alami dengan mengangkat praktek politik yang berkembang.
Munculnya subjektivitas populer yang baru seringkali dimajukan oleh pendidikan populer dan usaha ‘pencerdasan’. Ini telah menjadi penting khususnya dalam menanamkan kepercayaan diri dan membangkitkan semangat ungkapan diri diantara kelompok marginal – tanpa adanya mobilisasi sumberdaya manusia, pembuatan keputusan partisipatori, dan kemampuan sejati hal ini tidak mungkin dicapai. Proses pencerdasan dapat dimengerti sebagai proses transformasi kognitif dan evaluatif, khususnya bagi kelompok yang tertinggal dan termarjinalkan, yang mana mencari cara untuk menciptakan manusia yang lebih baik yang mampu membuat perubahan, pilihan yang bertanggung jawab dan mempunyai pendirian dan kekuatan dari dalam untuk bertindak dengan tegas dan dengan jelas atas diri mereka sendiri.

Keadaan Politik dan Negara yang Baru

Dalam menciptakan kestabilan sosial, demokratisasi yang merupakan sasaran pembangunan yang serius, sehingga cukup jelas bahwa pendekatan alternatif harus ditemukan untuk SAP neoliberal dan strategi top-down lainnya.
Masyarakat sosial yang kuat dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan pada tingkat lokal, regional dan tingkat nasional, yang memungkinkan sebuah konsensus atau ‘kontrak sosial’ untuk dibangun atas bagaimana pembangunan diproses. Ini berarti penguatan organisasi populer dan hubungan kelompok lainnya, sehingga mereka dapat memainkan sebuah bagian yang aktif dan bertanggung jawab didalam proses pembuatan keputusan. Sosial kontrak yang secara luas diakui dan dihormati tidak dapat dicapai, khususnya dalam meningkatkan sadar politik masyarakat di negara-negara berkembang, jika kelompok sosial yang penting tidak mampu menggunakan pengaruh yang tegas terhadap pemerintah mereka untuk memastikan perhatian mereka diambil dan dirumuskan kedalam sistem politik. Ini selanjutnya SAP atau program pembangunan lainnya perlu memasukkan pilihan yang sulit atas bagaimana biaya atau manfaat pembangunan didistribusikan, serta strategi pembangunan apa saja yang harus dengan jelas didasarkan pada tingkat yang adil dari konsensus sosial jika dengan berhasil berlanjut tanpa mengambil jalan kearah yang bersifat otoriter.
Rancangan pembangunan lokal telah berfokus terhadap masalah yang asing dari kelangsungan hidup, mengabaikan persoalan mendasar mengenai sistem yang menciptakan kemiskinan dan ketidakseimbangan dalam tempat yang pertama. Jawaban masyarakat lokal terhadap masalah spesifik, kedalam bidang makro dari penciptaan organisasi nasional yang populer yang bersifat efektif dengan cakap memasang jawaban yang bersatu untuk menekan persoalan pembangunan. Sebagai hasilnya, mereka mendapat resiko dalam menciptakan masyarakat yang tersusun dari masyarakat yang buta politik yang tak berhubungan.
Untuk menghindari masalah demikian, pergerakan populer lokal perlu ‘scale up’ operasi mereka dengan membangun jaringan mikro-makro yang dapat mempengaruhi kerangka kebijakan pembangunan secara keseluruhan. Partisipasi dan kemampuan yang sungguh-sungguh dalam pembuatan keputusan pembangunan tidak dapat tetap tergantung hanya kepada tekanan kelompok lokal atau rancangan pembiayaan NGO. Malahan, susunan demokrasi populer perlu diciptakan agar dapat mewujudkan keputusan dari bawah kedalam perubahan yang diinginkan dalam kebijakan makro. Rancangan kebijakan pembangunan untuk menyajikan kebutuhan dan perhatian mayoritas masyarakat mengharuskan pemindahan rintangan kearah partisipasi populer yang melekat didalam metode top-down dari perumusan kebijakan yang ada. Tetapi hanya meningkatkan arus komunikasi dan informasi melalui desentralisasi administratif yang tidak cukup; juga perlu menjadi komitmen politik untuk memastikan bahwa proses ini berlangsung, dan ini hanya bisa dipastikan melalui kewaspadaan yang tetap dari kelompok masyarakat desa yang teratur secara politis.
Pergerakan populer sering melihat negara sebagai sebuah musuh, didominasi oleh kelompok elit yang bersekutu melawan kepentingan mayoritas. Apabila diatur dengan baik, kerjasama yang meningkat antara NGO dengan organisasi populer dapat membuat pelayanan masyarakat lebih tepat guna dan tidak memakan banyak biaya, tanpa perlu kerja keras dari pemerintah untuk mendorong tanggung jawab untuk kehidupan yang lebih baik dari masyarakat miskin kedalam ekonomi yang tak resmi. Kelompok lokal seringkali mampu untuk menjawab dengan baik terhadap perubahan keadaan daripada institusi pemerintah. Dalam banyak hal, kekuatan negara dapat menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi yang dikembangkan pada tingkat lokal oleh pihak NGO dan kelompok lainnya. Dengan semua keuntungan yang diberikan ini, pemerintah mungkin ingin memperlakukan rancangan pembangunan bottom-up sebagai sebuah jenis ‘industri amatir’ yang jika dipelihara oleh dukungan pemerintah, maka dapat menghasilkan pertumbuhan yang lebih pantas oleh perangkat yang secara relatif murah.

Institusi Internasional dan Kerjasama Internasional

Perlunya memperluas prakarsa pembangunan populer menyatakan secara tidak langsung unutk membentuk perhatian tidak hanya terhadap struktur politik nasional, tetapi juga terhadap forum dan institusi internasional. Ini melibatkan penciptaan metode baru untuk organisasi populer dan menghubungkan berbagai macam kelompok kearah pertukaran informasi dan menyediakan dukungan bersama. Ini juga memerlukan bentuk kerjasama internasional yang baru dan segar melalui perbaikan/restrukturisasi institusi internasional dan penciptaan perimbangan yang baru dan populer. Akan ada banyak kekuatan untuk meningkatkan kerjasama internasional, termasuk hubungan negara-negara di Kawasan Utara-Selatan, Selatan-Selatan dan hubungan antar wilayah.
Selain itu, pengaruh interaksi antara negara yang lebih banyak berkembang dan kurang berkembang dapat menjadi positif bahkan negatif, dan umumnya dibedakan secara sosial berdasarkan kelas, gender, dan faktor lainnya. Keadaan geografis dan sejarah yang berbeda dihadapi oleh banyak negara berkembang, oleh karena itu strategi partsipasi selektif internasional harus menitikberatkan fleksibilitas.
Strategi pembangunan perlu menjauhkan diri dari universalisme demi mencapai pemikiran dan metode yang fleksibel yang dapat menyapa kekhususan dalam struktur sosial yang mempengaruhi dampak perdagangan dan hubungan internasional lain terhadap kelompok masyarakat. Perbedaan demikian tidak dapat ditanggung oleh satu rekonstruksi saja dari agenda pembangunan; malahan, rekonstruksi ‘polisentris’ dibutuhkan, berdasarkan kondisi objektif yang bervariasi dan perhatian subjektif terhadap masyarakat yang berbeda.
Sebagai tambahan dalam menyelidiki kemungkinan untuk memperluas dan mentransformasikan perdagangan dengan masyarakat di Kawasan Utara, diversifikasi perekonomian juga harus ditantang dengan mencari cara baru untuk merangsang hubungan perdagangan di Kawasan Selatan-Selatan. Dalam banyak kasus, sasaran ini dapat dimajukan dengan memperkuat posisi perdagangan regional dan pasar bersama yang mana sering kali hanya muncul ‘diatas kertas’ atau dalam bentuk yang cukup terbatas. Untuk menemukan metode dalam memfasilitasi perdagangan yang lebih luas di Kawasan Selatan, cukup membuka kemungkinan perluasan pasar dengan cepat untuk perusahaan yang sebelumnya telah dibatasi terhadap pasar domestik yang kecil secara relatif. Selain itu, kerjasama ekonomi regional yang dipertinggi harus dibolehkan untuk pertukaran produk yang bermanfaat satu sama lain.
Kerjasama yang saling menguntungkan dapat diimpikan pada tingkatan yang berbeda, meliputi subregional dan kelompok regional bahkan seluruh Negara di kawasan Selatan. Pada waktu yang sama, mekanisme yang baru untuk kerjasama dan saling ketergantungan harus diciptakan. Ini harus melingkupi jaringan informasi internasional, yang ditujukan pada organsasi populer dan kelompok yang berhubungan, untuk membantu penyebaran ilmu pengetahuan dan sumber berita teknis. Jaringan demikian dapat diiringi dengan lembaga pembangunan dan pusat pembelajaran yang independen, mungkin dibawah pengawasan PBB atau beberapa organisasi lain yang sepadan, untuk memajukan dialog yang lebih bermakna antara negara-negara di Kawasan Utara-Selatan dan Selatan-Selatan. Penekanan harus ditempatkan untuk mempertinggi kemampuan yang bersifat lokal dari lembaga pembangunan populer dan pusat pembelajaran di Kawasan Selatan itu sendiri. Ini akan berjalan kearah penanggulangan pelemahan ketergantungan Kawasan Selatan atas kerangka pembangunan di Kawasan Utara dan akan menolong untuk memasang perasaan kepercayaan diri diantara masyarakat negara-negara berkembang untuk menggunakan pengetahuan lokal mereka dalam menegaskan jalan yang terang bagi pembangunan agar sesuai dengan kebutuhan dan perhatian mereka.
Harus ditekankan bahwa tidak instan pembangunan populer tiba-tiba muncul diamana-mana dalam beberapa bentuk yang jadi. Lingkungan sulit yang diberikan dihadapi oleh sektor populer di Kawasan Selatan, seperti pengharapan yang idealistik.
Para penganut faham elit mencoba untuk menjatuhkan kondisi khusus dari pembangunan masyarakat lokal. Pembangunan populer harus dilihat sebagai proses yang hanya dapat terjadi melalui perjuangan politis yang panjang pada tingkat yang berbeda. Walaupun kemajuan telah dibuat pada wilayah ini, khususnya melalui usaha pergerakan populer dalam skala yang lebih luas di hampir semua Negara, perjuangan ini baru saja dimulai.

Selasa, 07 Oktober 2008

Badan Pertananahan Nasional RI sebagai Lembaga Pengelola Pertanahan untuk Sebesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat

I. Pendahuluan

Pemerintah memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memakmurkan rakyatnya. Tujuan tersebut terdokumentasi pada pembukaan UUD 1945. Sejurus dengan hal tersebut bentuk negara yang disepakati oleh para bapak pendiri bangsa adalah berbentuk Republik, kembali menegaskan bahwa titik perhatian pemerintah adalah rakyat. Definisi rakyat disini adalah mayoritas penduduk yang baru saja terlepas dari penjajahan Belanda. Rakyat itulah kaum tani, merekalah yang jumlahnya mayoritas, dimana corak perekonomian sebagai negara agraris. Mayoritas penduduk tinggal di pedesan, aktif melakukan pengelolaan tanah untuk kebutuhan keluarganya dan mewarnai perekonomian nasional. Selama masa kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan berlangsung revolusi phisik I dan II, golongan tersebut yang banyak menyumbangkan tenaga sebagai pasukan sukarelawan, laskar rakyat, membantu perang gerilya, menyediakan dukungan logistik, lokasi persembunyian saat terdesak Belanda dan dukungan moral.
Permasalahan pertanahan yang ditinggalkan oleh penjajah tidak mencerminkan rasa keadilan rakyat. Penjajah merampas tanah-tanah rakyat dan menerapkan hukum sesuai kepentingan pemerintahan jajahan. Kaum tani yang hidup di desa yang paling menderita selama penjajahan, sehingga dukungan mereka seperti yang dijelaskan di atas lebih besar selama Republik hamil tua ketibang masyarakat perkotaan sebagai masyarakat kelas yang terbela oleh penjajah. Bahkan di Yogjakarta, rakyat lebih memilih Belanda kembali berkuasa dengan harapan mereka kembali bekerja setelah PHK massal saat pendudukan Jepang. Dalam rangka mengisi kemerdekaan, pemerintah berusaha memakmurkan rakyat. BPN RI sebagai satu-satunya lembaga resmi pemerintah menjalankan amanat mulia tersebut melalui pengelolaan pertanahan.
Jatuh bangunnya pemerintahan secara signifikan mempengaruhi cara kerja, ideologi, dan kebijakan dalam mengelola pertanahan. Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, pengelolaan pertanahan bersifat populistik. Melaksanakan land reform dengan mencabut hak barat, menertibkan tanah kelebihan maksimum, tanah absentee yang umumnya milik tuan tanah, orang-orang asing dan petani penghisap untuk didistribusikan kepada buruh tani, petani miskin dan petani marhaen. Pemerintahan ini secara tegas mencabut hukum barat, agraris wet yang merugikan dan menghisap kaum tani dengan diterbitkannya UU nomor 5 tahun 1960 sebagai pengganti hukum yang lebih berpihak kepada rakyat demi terwujudnya kemakmuran. Jatuhnya pemerintahan Sukarno yang pro kepada rakyat kecil digantikan pemerintahan orde baru yang menjerat posisi rakyat kecil karena lebih berpihak kepada pemodal. Agenda land reform yang bersahabat dengan rakyat tani kecil menjadi agenda terlarang yang dibumbui aroma komunisme. UUPA masuk peti es sampai rejim Orde Baru ditumbangkan rakyat. Pada masa pemerintahan ini terjadi ketimpangan penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah (P4T) yang ditandai maraknya konflik pertanahan yang merugikan rakyat sampai terjadi pelanggaran HAM, sehingga rakyat tani seperti kembali ke alam penjajahan tetapi yang dihadapi adalah bangsa sendiri. Pemerintahan reformasi yang lahir dari Revolusi Mei 1998, melahirkan TAP MPR No. IX tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan SDA. Land reform kembali mendapatkan dukungan politik untuk memperbaiki nasib rakyat. Agenda pembangunan yang menempatkan Reforma Agraria sebagai Land reform plus sebagai solusi untuk menjawab keterpurukan yang dijalankan oleh rejim ORBA agar rakyat kembali memilik harkat dan martabat sekaligus meningkatkan kemakmurannya.

II. Potensi

Pemerintah cq BPN RI ditugaskan melaksanakan amanat mulia untuk mengelola pertanahan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat memiliki beberapa potensi. Pembukaan UUD 1945 yang memuat tujuan negara untuk memakmurkan rakyat. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang biasa disebut UUPA. Secara tegas menunjuk BPN RI sebagai pemangku amanat mulia tersebut, hal tersebut menjadi potensi karena tidak semua instansi negara menerima amanat secara jelas dari sisi konstitusional sampai level operasional untuk mengelola sumber daya agraria tidak sebatas tanah semata. Di saat yang sama UU tentang kehutanan, UU tentang pertambangan hanya sebatas sektoral dan potensi strategis untuk mengkoordinasikan antar sektor agraria.
Peran BPN RI menjadi sangat strategis karena tanah (wilayah) adalah salah satu unsur pembentuk negara. Dimana jumlah tanah semakin berkurang karena kerusakan tanah akibat ulah manusia seperti tanah longsor, lumpur lapindo yang menghapus beberapa kecamatan dari peta kabupaten Sidoarjo dan bencana alam sedangkan jumlah penduduk semakin besar akibat ledakan pertumbuhan penduduk. Kondisi ini membuat tanah semakin memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena sifat kelangkaannya.
BPN RI memiliki jaringan yang mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Organisasi besar yang bersifat vertikal, yang menjamin roda organisasi bekerja menjangkau seluruh wilayah Indonesia dimana saat otonomi daerah, banyak instansi pemerintah yang didesentaralisasikan. BPN RI memiliki potensi yang harus dimaksimalkan karena pemerintah menjamin keberlangsungan organisasi BPN RI tetap vertikal sesuai Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Kelembagaan Badan Pertanahan Nasional, disaat yang sama pemerintah daerah berusaha menarik kewenangan pada BPN RI untuk menjadi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sebagai organisasi besar maka sumber daya yang dimilikinya juga cukup besar, yaitu :
· Sumber daya manusia sebesar 23.000 yang tersebar di seluruh wilayah RI sampai tingkat kabupaten/kota.
· Memiliki infrastruktur kantor yang tersebar di seluruh wilayah RI sampai tingkat kabupaten/kota.
· Memiliki kemampuan teknis pertanahan, penataan, konsolidasi lahan, pemetaan, pengukuran dan pensertipikatan.
· Memiliki data tanah yang menjadi rujukan secara hukum (yuridis).


III. Permasalahan

Peran BPN RI yang sangat strategis tersebut sulit untuk menjalankan amanat konstitusi untuk memakmurkan rakyat karena :
· Politik agraria pemerintah yang berkuasa harus tergantung selera penguasa.
· Mentalitas PNS BPN RI yang belum menerapkan pelayanan prima terutama di kantor kabupaten/kota yang melayani masyarakat karena imbalan, belum sampai level pengabdian yang mencerminkan nilai/norma yang tidak sesuai pekerja republik.
· Ketidaksejajaran lembaga BPN di daerah oleh Pemda dalam rangka otonomi daerah karena perbedaan eselon
· Semangat korupsi masih tinggi dan dedikasi bekerja yang masih rendah.
· Ketimpangan P4T yang sangat besar karena selama 32 tahun tidak ditertibkan.
· Data pertanahan yang sering tumpang tindih, dengan adanya sertipikat ganda.
· Belum semua bidang tanah telah didaftar, baru sekitar 30 % dari seluruh wilayah RI.






IV. Kebutuhan dan Cara Pencapainya

BPN RI yang sangat membutuhkan beberapa hal di bawah ini untuk menjalankan amanat konstitusi untuk memakmurkan rakyat sebagai berikut :
· Politik agraria pemerintah yang berkuasa harus konsisten dengan amanat konstitusi, jangan sampai pemerintah kudeta kepada negara karena melanggar konstitusi sehingga fokus tetap kepada kaum tani miskin untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakya.
· Nilai/norma baru yang terbentuk dari perubahan paradigma PNS BPN RI sebagai pegawai republik harus melayani rakyat bukan pegawai kerajaan yang melayani raja dan melupakan rakyat. Sehingga muncul semangat pengabdian karena semua kebutuhan sudah ditanggung rakyat, konsentrasi bekerja akan meningkat jika didiringi pendapatan yang memadai.
· Kesejajaran lembaga BPN di daerah oleh Pemda dalam rangka otonomi daerah. Perlunya dari segi organisasi kepala kantor BPN Kabupaten/kota diberi eselon II agar sejajar dengan kepala dinas, begitu juga dilevel provinsi agar diberikan eselon I agar sejajar dengan kadis provinsi.
· Pemberantasan korupsi secara konsisten, dengan pengawasan ketat dan penegakan hukum tanpa pandang bulu karena sudah ditingkatkan kesejahteraannya
· Menghilangkan ketimpangan P4T yang sangat besar dengan melakukan penataan pertanahan sesuai aturan UU. Aparatur BPN RI tidak boleh lagi bermain dengan adanya imbalan dari para pelanggar P4T karena rakyat sudah menanggung kehidupan para PNS BPN RI lewat APBN
· Memperbaiki, mengupdate dan memvalidasi data pertanahan yang sering tumpang tindih dan menghilangkan sertipikat ganda.
· Mendaftar semua bidang tanah seluruh wilayah RI dengan mengerahkan semua sumber daya

Minggu, 21 September 2008

Menjaga Eksitensi Negara dengan Melindungi Tanah

I. Gambaran Umum

Kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh Pemerintah Orde Baru, menyisakan dampak yang tidak menguntungkan dari sisi ekologis. Sebelum dipaparkan kondisi nyata di lapangan, terlebih dahulu dikemukakan dalam kesempatan ini, bahwa kegiatan pembangunan telah membutakan kepentingan menjaga kelestarian lingkungan. Corak pemangunan yang tercipta adalah demi mengejar pertumbuhan ekonomi banyak sumberdaya alam dieksploitasi secara intensif dan besar-besaran bahkan melebih daya dukung bumi. Rakyat menjadi teringgirkan dalam urusan mengeksploitasi kekayaan alam, pemerintah masa lalu lebih memberi angin kepada para pemilik modal. Eksploitasi sumber daya alam khusus tanah dapat dilihat dari tingginya laju konversi kawasan pertanian yang umumnya tanah-tanah yang subur dan memiliki saluran irigasi teknis khususnya yang berada di dekat pusat kota membuat kualitas tanah pertanian menjadi rusak. Bahkan menimbulkan tanah kritis akibat keterlambatan pemanfaatannya, berkurangnya tanah subur menjadi ancaman tersendiri bagi dunia pertanian. Sektor industri diharapkan dapat mengejar pertumbuhan lebih tinggi daripada sektor pertanian. Ideologi pembangunan rezim Orde Baru adah mengejar pertumbuhan telah melahirkan semangat membela industrialisasi, meskipun telah mengorbankan aspek pertanahan selain hal di atas, kualitas lingkungan menjadi semakin memburuk akibat pencemaran terhadap air, udara dan tanah.
Penerapan konsep ekologi dalam pembangunan pertanahan di Indonesia, sebenarnya sudah diamanatkan dalam UU Nomor 5 tahun 1960, UU ini biasa disebut UUPA yang akan dijelaskan lebih rinci di bagian lain tulisan ini. Istilah ekologi diperoleh dari bahasa latin, oikos berarti rumah dan logy artinya ilmu. Bisa dipandang suatu llmu yang bersifat interdisiplin atau multi disiplin yang menggambarkan secara sistematis pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu aik terkait maupun tidak terkait sama sekali. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan yang dinamis antara organisme dan atau populasi dalam lingkungan organik dan anorganik. Hubungan lingkungan organik disebut biotik sedangkan anorganik disebut abiotik (Malik, 1986).
Rusaknya hutan akibat eksplotasi yang tidak dibarengi reboisasi menimbulkan lahan kritis dalam jumlah besar yang dapat mengancam kehidupan manusia dengan banjir, erosi, tanah longsor dan kekeringan yang berkepajangan. Tanah kritis masih disumbang dari kegiatan ekstraktif atau pertambangan, top soil yang kaya akan unsur hara tanah telah dipangkas untuk mengambil bahan tambang yang terdapat di bawahnya. Banyak ditemukan bekas daerah pertambangan menjadi lahan kritis, dimana bekas galian tambang setelah bahan tambang berharga diangkat dibiarkan menjadi kolam-kolam raksasa. Bisa dibayangan jika lokasi tambang tersebut dulunya adalah kawasan lindung. Hilangnya tanah subur atau hilangnya sumber daya alam khususnya tanah dapat mengancam keberlangsungan kehidupan manusia.
Tanah air bagi bangsa Indonesia adalah sebuah kesatuan yang bulat. Tanah air Indonesia lahir karena kemerdekaan dan itu tidak gratis, ada harga yang harus dibayar. Para pejuang telah berkorban untuk merebut dan mempertahankannya. Sebagai generasi penerus sudah sepantasnya tanah air dimanfaatkan dengan mengelola dengan arif untuk memperoleh kemakmuran, baik generasi sekarang dan yang akan datang (sustain). Kerusakan atau musnahnya tanah akibat eksploitasi alam seperti yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Sudah bisa dipastikan akibat pengeboran sumur gas oleh PT. Lapindo mengakibatkan ratusan hektar tanah menjadi musnah. Tanah tempat bermukim dan bertani bagi petani kini hilang, segala kehidupan yang dahulu dilakukan di atas tanah kini telah hilang. Hapusnya beberapa kelurahan pada peta Kabupaten Sidoarjo menjadi keniscayaan. Orang-orang harus dibangunkan bahwa tanah itu identik dengan eksistensi negara. Jika semburan lumpur terus menerus menenggelamkan kabupaten Sidoarjo maka satu kabupaten hilang. Tidak ternilai kerusakan lingkungan akibat keserakahan manusia mengekploitasi alam. Hal ini paradoks dengan usaha mengisi kemerdekaan, jangankan menjaga kelestarian tanah. Mempertahankan tanah saja tidak sanggup. Sedangkan dimasa perebutan kemerdekaan satu jengkal tanah diperjuangan dengan taruhan nyawa. Ketersinggungan kasus lumpur Lapindo dengan teori-teori pembangunan ekologi dapat ditemui pada bagian berikutnya.
Bagi rakyat Indonesia pada umumnya menganggap tanah memiliki hubungan khusus dengan manusia. Dari sisi pandangan spiritual manusia diciptakan dari debu tanah dan kembali menjadi tanah, bahkan tanah tidak semata dipandang unsur ekonomi semata, untuk beberapa masyarakat tertentu terdapat unsur budaya dan magis. Tanah tempat segala aktivitas manusia baik sosial, politik, ekonomi dan budaya. Keterkaitan mata pencarian mayoritas penduduk negeri ini sebagai petani menandakan tanah mempunyai posisi sentral dalam perekonomian masyarakat Indonesia.
Terlestariannya sumber daya alam khususnya tanah kiranya menjadi fokus perhatian para pihak yang mengelola pembangunan. Harus ada agenda bersama yang konsisten dikawal dalam aplikasinya di lapangan. Sekali negeri ini terlena maka kehilangan tanah sebagai sesuatu yang sangat berharga dan bisa menganggu eksistensi Negara Republik Indonesia. Penjualan tanah bercampur pasir dari pulau-pulau sekitar kepulauan Riau kepada Singapura dapat dianalisis. Pertama, negeri singa tersebut membutuhkan perluasan daratan untuk mendukung aktivitasnya dan keberlangsungan negara tersebut. Singapura akan terhapus dari peta dunia bukan karena diinvasi oleh negara lain melainkan jika pulau tersebut susut dan habis maka tamatlah riwayat negara Singapura. Berbagai usaha dilakukan untuk menjamin ketersedian tanah di negara Singapura. Salah satunya dengan reklamasi, dimana material penimbun lautnya didatangkan dari Indonesia. Demi menambah luas daratannya, pemerintah Singapura menghabiskan dollarnya untuk membeli material penimbun laut. Hasilnya daratan Singapura menjadi lebih luas akibat adanya tambahan tanah baru hasil reklamasi. Kedua, bertambahnya luas wilayah Singapura membawa dampak negatif bagi Indonesia, banyak pulau-pulau yang telah diambil tanah dan pasirnya menjadi kritis, hilangnya keanekaragaman hayati, bahkan sebagian besar hampir tenggelam. Sebuah harga yang mahal bagi Indonesia, bahwa hasil penjualan material ke singapura tidak bisa dinilai dengan uang semata. Kelestarian tanah yang terdapat di pulau-pulau yang hampir tenggelam harus dijaga, bila perlu perlu dilakukan pengembalian kepada kondisi awalnya. Meski ada penerimaan dana dari Singapura yang ditenggarai sebagai pemasukan bagi kas Pemda Kepulauan Riau namun kegiatan penjualan pasir dan tanah ke Singapura harus distop karena mengancam kelestarian lingkungan. Turunnya nilai pertumbuhan karena hilangnya pendapatan dari ekspor pasir dan tanah ke Singapura membawa dampak positif bagi lingkungan dengan terselamatkannya pulau-pulau yang lainnya.
Segala potensi yang bisa menambah pemasukan bagi pertumbuhan ekonomi digarap secara maksimal, tidak terlewatkan potensi hutan menjadi sasaran eksploitasi. Demi mengejar pertumbuhan ekonomi, menjadi sah kekayaan alam di dalam hutan diambil secara serakah. Banyak peraturan dilanggar pemegang HPH, laju kerusakan hutan ternyata lebih cepat pada kawasan hutan yang dimiliki pemegang HPH daripada kawasan hutan yang dihuni oleh masyarakat adat. Rusaknya jutaan ha hutan menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Munculnya lahan-lahan kritis yang bisa berpotensi menjadi gurun akibat keterlambatan kegiatan reboisasi. Selain dampak pemanasan global, perubahan iklim, masih ada dampak rutinitas yang akan merugikan rakyat sekitar hutan seperti bankir, tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan yang berkepanjangan saat musin kemarau.
Sebuah kebijakan pembangunan yang diambil dalam rangka menyelamatkan lahan-lahan kritis menjadi keharusan dan pada saat yang sama ijin untuk memanfaatkan hutan harus dilakukan secara selektif dan dibatasi sebagai langkah konservasi sumber daya alam. Penerimaan di sektor eksploitasi hutan memang akan menurun karena tertutupnya kegiatan eksploitasi karena masuk pada fase konservasi lingkungan dan sumber daya alam dimana hal tersebut akan menghasilkan kemampuan menahan laju pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah berkurangnya laju pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan berkurangnya kerusakan hutan dan tanah kritis.
Perang terhadap pembalakan liar (illegal logging) menjadi isu yang serius karena kejahatan pembalakan liar disejajarkan dengan korupsi. Penegakan hukum pada masa pemerintahan Reformasi terhadap pelaku kejahatan pembalakan liar telah menyentuh para pelaku intelektualnya, aparatur yang menjadi beking baik polisi, TNI dan kadis kehutanan yang terlibat pembalakan liar banyak yang sudah diproses secara hukum. Hanya komitmen dari pemimpin negeri dan dukungan segenap rakyat yang dapat memberantas pembalakan liar yang hanya menguntungkan segelintir orang tetapi merugikan negara dan generasi yang akan datang. Diharapkan agenda di atas dapat menahan laju kerusakan hutan yang pada akhirnya mengurangi lahan-lahan kritis yang berpotensi menjadi gurun. Negara tidak saja dirugikan akibat hilangnya pemasukan dari sektor industri kayu dan kondisi ini jelas merugikan generasi yang akan datang. Perhitungan dalil yang mengatakan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi agar laju kerusakan lingkungan bisa berkurang tidak berlaku dalam kondisi pembalakan luar karena negara tidak menerima pemasukan dalam rangka pertambahan pertumbuhan ekonomi. Sekalipun laju pertumbuhan ekonomi diperkecil, tanpa pemberantasan pembalakan liar laju kerusakan lingkungan tidak bisa ditekan.

II. Menjaga Kelestarian Tanah

Amanat mulia untuk melestarikan tanah terkandung dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria yang biasa disebut dengan UUPA. Aturan ini secara tegas mewajibkan para pemegang hak atas tanah tanpa terkecuali menjaga kelestarian tanahnya. Bahkan ada ancaman pidana bagi pemegang hak atas tanah yang terbukti lalai menjaga kelestarian tanahnya. Disini dapat dilihat Negara secara aktif menjaga kelestarian tanah bahkan diiring unsur paksaan. Kewajiban tersebut lahir pada saat hak atas tanahnya juga lahir. Para penyusun UUPA tersebut memandang tanah sebagai sumber daya alam yang sangat berharga oleh karena itu kelestarian tanah identik dengan kelestarian kehidupan rakyat termasuk keberlangsungan Negara Indonesia.
Tanah yang diterlantarkan oleh pemegang haknya dapat dicabut guna menghindari kerusakan tanah yang semakin parah. Terlepas dari apapun latar belakang penelantaran tanah adalah kegiatan kriminal, yang menghalangi akses orang lain mengelola tanah. Apalagi jika motif penelantaran tanah adalah sebagai obyek spekulasi semata maka pemerintah khususnya BPN RI dapat melakukan pemeriksaan dan status penelantaran dalam rangka pengendalian pertanahan. Langkah paling startegis adalah pencabutan hak atas tanah karena telah terjadi penelantaran tanah. Setelah status kepemilikan lahan dicabut maka lahan diberikan prioritas bagi rakyat yang aktif mengelolanya. Harapan yang muncul adalah tanah tidak diterlantarkan sehingga dapat bermanfaat dalam meningktakan produktivitas pertanian. Usaha pertanian yang dilakukan rakyat dalam skala kecil namun banyak tersebar dapat menciptakan keseimbangan produksi dengan daya dukung ekosistem daripada tanah dibiarkan terlantar.
Manusia yang secara alamiah adaptif terhadap perubahan, terkadap pengaruh adaptasinya sedemikian menjadi besar atau disebut maladaptif, kondisi ini tidak dapat diterima dalam mengelola lingkungan hidup. Perilaku manusia dapat meningkatkan daya dukung lingkungan atau menurunkannya. Perusakan hutan dengan cara tebang bakar dan penebangan hutan tanpa tebang pilih dengan membabat semua tegakan pohon, akibatnya terjadi penurunan tingkat kesuburan tanah, yang pada akhirnya penurunan pula daya dukung tanah. Sedangkan yang diharapkan dari peningkatan produksi adalah seperti di atas adalah menyeimbangkan daya dukung lingkungan.
Munculnya lahan-lahan terlantar baik itu yang diperkotaan, pedesaan dan bekas kawasan hutan menjadi keprihatinan tersendiri, selain hilangnya potensi ekonomi atas lahan-lahan tersebut aroma kerugian yang lebih besar akibat kritisnya lahan tersebut adalah musnahnya tanah-tanah yang sudah memasuki tahapan tanah kritis. Jika tanah sudah musnah maka tidak bisa kegiatan lain yang bisa dilakukan oleh umat manusia untuk mengembalikan tanah. Untuk tanah kritis saja diperlukan usaha yang maksimal dan sungguh-sunguh dengan memanfaatkan teknologi untuk mengembalikan unsur hara. Penegakan hukum atas penelantaran tanah merupakan salah satu agenda pembangunan untuk menjamin ketersediaan tanah bagi keberlanjutan kehidupan di Negara Indonesia. Keseriusan pemerintah dalam memberantas kegiatan penelantaran tanah adalah dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998 tentang Penertiban Tanah Terlantar. Hubungan biotik dan abiotik harus harmonis dalam mewujudkan keberlanjutan, disinilah peran negara untuk mewujudkan hubungan harmonis tersebut.
Sebagai negara yang banyak memiliki sumber daya alam yang melimpah, maka dari segi daya saing negara Indonesia telah memiliki peluang yang cukup besar, karena tidak tergantung dari negara lain untuk memperoleh sumber daya alam yang dibutuhkan. Seperti yang dipaparkan dibagian atas, bahwa tanah mempunyai nilai strategis. Dari sisi perekonomian negara Indonesia yang bercorak agraris, dimana mayoritas penduduknya mengantungkan mata pencarian dari mengolah tanah. Kemampuan mengolah tanah berbanding lurus dengan hasil produksi rumah tangga kaum tani. Peningkatan pendapatan kaum tani dapat ditingkatkan jika hasil panen mereka memiliki nilai ekonomis tinggi. Perlunya usaha pertanian yang mampu lebih banyak menghasilkan produksi panen agar peningkatan kesejahteraan petani dapat tercapai. Manusia memiliki tingkat ketergantungannya dengan tanah, yang dapat diterjemahkan terdapat ketergantungan ekonomis antara manusia dalam hal ini kaum tani terhadap lingkungan biofisiknya.
Hampir semua kegiatan manusia dilakukan di atas tanah, seperti bertani, bermukim, menghasilkan produksi, pelayanan jasa dan lain-lain. Munculnya kebudayaan masyarakat tergantung kepada pola kehidupan masyarakat dan kondisi lingkungan tempat bermukimnya. Budaya masyarakat pantai atau pesisir tentu berbeda dengan budaya masyarakat dataran tinggi (pegunungan). Manusia memiliki tingkat ketergantungannya dengan tanah tempat tinggalnya, yang dapat diterjemahkan terdapat ketergantungan budaya antara terhadap lingkungan biofisiknya.
Dari dua kondisi ketergantungan manusia baik dari sisi ekonomi dan budaya terhadap lingkungan biofisiknya. Terganggunya lingkungan biofisik akan mempengaruhi manusia baik dari sisi ekonomi dan budaya. Bisa dibayangkan jika lingkungan rusak, akan mempengaruhi kualitas kesuburan tanah, maka secara signifikan kesejahteraan petani menjadi ancaman serius karena lingkungan yang telah rusak tidak bisa menghasilkan hasil produksi pertanian yang maksimal, ancaman kegagalan panen sedemikian tinggi. Banjir, tanah longsor dan erosi adalah dampak ikutan dari kerusakan lingkungan, yang jika dibiarkan akan akan memusnahkan tanah maka ketersediaan tanah yang berkurang akan membawa dampak kesejahteraan juga semakin berkurang. Hubungan ekonomis manusia akan rusak diakibatkan keruskaan lingkungan. Demikian juga dari sisi budaya kerusakan lingkungan dapat mengancam kelestarian budaya yang telah tercipta dari generasi sebelumnya. Hubungan manusia dengan budayanya akan rusak diakibatkan rusaknya lingkungan. Kerusakan lingkungan dengan ditandai rusaknya tanah pertanian, maka para petani telah kehilangan budaya kaum tani, jika mereka meninggalkan lingkungan awalnya menuju lingkungan baru yang belum rusak maka budaya lama akan ditinggal. Adaptasi terhadap lingkungan baru akan menghasilkan budaya yang dapat berisi budaya lama bercampur budaya baru atau memang penciptaan murni budaya baru karena budaya lama tidak adaptif di lingkungan baru. Sekali lagi tercipta hubungan antara budaya baru dengan lingkungannya yang relatif baru, jika lingkungannya kembali rusak maka ancaman kerusakan budaya juga terjadi. Proses ini bisa dibayangkan seperti siklus berulang, pertanyaannya jika sampai satu titik tidak ada lagi lingkungan yang tidak rusak.
Langkah strategis untuk menghindari proses di atas adalah melakukan penerapan subsisten (usaha tani kecil) dimana pengetahuan tradisional budaya sebagai alternatif modernisasi ekologis. Menurut Lowe (1982), usaha pertanian kecil (subsisten) adalah lebih daripada suatu upaya mencari penghasilan. Kegiatan ini merupakan suatu gaya hidup dan karena itu, baik hambatan sosial maupun hambatan biologi, mempengaruhi perkembangannya. Lowe memberikan misal seperti pedesaan tradisional di Afrika, yang lahan dipandang sebagai sesuatu yang mendukung suatu masyarakat, dan bukan sekedar sebagai sekedar sumber keuntungan. Dalam usaha tani semacam itu ada semacam sistem masukan dan imbalan (reward). Ini berbeda dengan usaha tani komersil, yang menganut sistem masukan dan keluaran.
Upaya bertahun-tahun untuk merakit teknologi yang selaras untuk diterapkan pada usaha tani subsisten juga belum berhasil. Penerapan langsung teknologi yang ditawarkan di pasaran, yang dirakit untuk usaha tani maju di negeri maju, sering terjadi distosi dan sial. Hal ini disebabkan teknologi yang muncul di negara maju dirancang untuk menjawab tantangan kebutuhan pokok yang dihadapi masyarakat di negara maju, yaitu kelimpahan lahan dan modal bersamaan dengan kelangkaan tenaga kerja. Ketiga tantangan ini justru berlawanan dengan yang terdapat di negeri sedang berkembang ( Arulpragasam, 1985). Maka Ghildyal (1984) memunculkan istilah etnoteknologi sebagai asas teknologi yang selaras dengan usaha tani kecil. Dalam teknologi ini gatra ekologis dan sosial.
Farrell (1985) berpendapat bahwa kebijakan yang digariskan pemerintah Amerika Serikat dan emerintah negara-negara lain merupakan rangsangan bagi produsen untuk menggunakan teknologi yang kadang-kadang berakibat buruk pada lingkungan. Farrell mengunakan istilah determinisme teknologi untuk melukiskan kecenderungan penelitian pertanian menekankan sangat kuat, bahkan mungkin menekankan semata-mata, pada meninggikan produktivitas dan keluaran sektor pertanian. Meninggikan produktivitas dan keluaran sektor pertanian memang perlu, akan tetap itu bukan tujuan satu-satunya. Tiap teknologi selain memiliki matra produktivitas juga harus memiliki matra sumber daya dan lingkungan.
Pelajaran yang harus diambil dari negara maju adalah kegagalannya sehinga tidak mengulangi kesalahannya. Pada negeri maju usaha pertanian sudah merupakan bentuk industri pertanian. Bentuk pertanian semacam ini tidak membangun produktivtasnya menurut sistem usaha tani yang mendaur. Melainkan lebih menngantungkannya pada masukan banyak dari industri berupa pupuk dan pestisida. Sistem usaha tani industri cenderung menjadi ekosistem yang goyah. Potensi untuk mencapai hasil panen yang maksimum tidak dapat dilepaskan dari gandengannya dengan resiko yang menjadi kosekuensi ketidakmantapan ekosistem. Pengembangan pertanian ditujukan pada kuantitatif dan meninggalkan kualitatif.
Akibat samping negatif terhadap lingkungan dari usaha industri pertanian tidak boleh dianggap sepele. Intensifikasi pemupukan juga menimbulkan persoalan gawat mengenai kesuburan tanah. Padahal kesuburan tanah menjadi salah satu unsur penting. Penggunaan pupuk pabrik yang meningkat juga meningkatkan penyerapan unsur hara asli tanah berarti meningkatkan pengurasannya. Tanah subur lama-lama menjadi tidak subur dan bisa menjadi tanah kritis. Pentingnya mengembalikan dan menjaga unsur asli tanah
Keputusan politik berupa TAP MPR Nomor IX tahun 2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah mengamanatkan pemerintah untuk melakukan reforma agraria. Telah terjadinya ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam struktur agraria yang mengarah kepada kerusakan lingkungan, dapat dicegah oleh reforma agraria. Revolusi hijau yang pernah dijalankan hanya mengedepankan peningkatan hasil panen phisik dengan tidak melihat struktur produksi pertanian. Akhirnya revolusi hijau tidak selalu berhasil dalam skala pertanian tradisional. Potensi konflik yang tinggi antara petani tradisional dari segi ekonominya yang semakin hari semakin tersisih dengan petani pemilik modal. Belum lagi kualitas lingkungan yang semakin buruk akibat kelebihan masukan kepada ekosistem secara jelas merusak lingkungan phisik.
Kawasan bekas hutan yang telah rusak akibat kegiatan eksploitasi secara berlebihan cukup luas. Kondisi lahan kritis sudah didepan mata. Pemerintah hasil pemilu 2004, segera merespon dengan mengagendakan kegiatan reforma agraria di lahan bekas hutan sebanyak 8,15 juta Ha. Dengan reforma agraria tersebut harapan rehabilitasi tanah kritis dapat berjalan sesuai rencana dari sisi lingkungan menyelamatkan kemusnahan tanah, maka kesinambungan kehidupan berkelanjutan sebagai sarana pembangunan dapat tercapai.
Reforma Agraria harus Sustainable
Inti reforma agraria adalah land reform, namun dari perspektif HAM, refoma agraria itu bukan sekedar redistribusi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah melainkan harus ditunjang oleh seperangkat infrastruktur. Reforma agraria diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan, karena dari sisi perspektif ekonomi, mereka yang semula tunakisma atau petani gurem itu mampu menjadi pengusaha tani yang mandiri dan tidak terjerumus ke dalam utang. Seperangkat penunjang itu adalah:
(a) jaminan hukum atas hak yang diberikan
(b) tersedianya kredit yang terjangkau
(c) akses terhadap jasa-jasa advokasi
(d) akses terhadap informasi baru dan teknologi yang ramah lingkungan
(e) pendidikan dan latihan
(f) akses terhadap bermacam sarana produksi dan bantuan pemasaran.
Seperangkat penunjang tersebut barulah menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan erat dengan masalah kelembagaan. Aspek kelembagaan ini harus juga dipersiapkan kerangkanya, terutama kelembagaan yang memberi peluang bagi partisipsi rakyat. Penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah beserta seluruh paket penunjang tersebut secara lengkap itulah yang dimaksud sebagai “reforma agraria”.
Ada dua prinsip pokok yang harus diperhatikan agar reforma agraria sustainable, yatu:
Kebijakan reforma agraria harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Harapan adalah keberlangsungan produksi dapat mendukung lingkungan. Perubahan cara teknologi yang diadopsi oleh revolusi hijau menjadi dalam konteks ini, techno-farming merupakan bagian atau subordinat dari eco-farming. Tanah yang didistribusikan harus tanah-tanah yang produktif, bukan tanah-tanah marjinal yang hanya bisa produktif untuk jangka pendek dan rawan erosi. Demi hak-hak asasi generasi-generasi yang akan datang, diperlukan konservasi sumber daya. Sehingga terpeliharanya sumber daya produksi pangan, yaitu: tanah, air, dan keragaman hayati. Inilah kunci ketahanan pertanian, yang berarti ketahanan pangan. Bukan agribisnis yang dijalankan pemodal besar.
Dari aspek sosial-politik, sustainabilitas reforma agraria mensyaratkan dua hal: (a) Dalam berbagai programnya, reforma agraria tidak boleh diskriminatif. Kaum perempuan pedesaan harus dilibatkan peranannya; (b) Perlu diciptakan dan dipertahankan suasana demokratis yang menjamin kebebasan berserikat, dan penguatan organisasi-organisasi tani.
Kebijakan pemerintah yang berusaha mengejar ketahanan pangan, secara langsung menjaga keberadaan tanah pertanian. Pembangunan sektor pertanian dapat terus dilaksanakan akibat ketersediaan lahan. Jaminan kepada generasi yang akan datang semakin mengukuhkan relasi antara menjaga kelestarian tanah dengan keberlangsungan eksistensi negara.
Reforma agraria di atas dapat dijalankan sebagai penerapan teori pembangunan berkelanjutan, dimana seperti dijelaskan di atas adanya usaha melakukan pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Ada empat prinsip yang dipenuhi antara lain:
1. Pemenuhan kebutuhan manusia
2. Memelihara integrasi ekologi
3. Keadilan sosial
4. Kesempatan menentukan nasib sendiri
Berlangsungnya kegiatan reforma agraria dari sisi lain akan mengurangi dampak kerusakan lingkungan seperti diuraikan di atas. Jika kegiatan ini tidak dilaksanakan bisa diprediksi pemanfaatan tata guna lahan yang tidak sesuai, yang mengejar keuntungan semata akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Pelaku – pelaku agribisnis akan mengedepankan keuntungan dan percepatan pengembalian investasi tanpa melihat daya dukung lingkungan. Idealnya tercipta keharmonisan antara alam dan manusia atau manusia dengan lingkungan phisiknya. Keharmonisan adalah berbagai macam hubungan yang tidak merusak dalam batas-batas ekonomis dan penggunaan peluang-peluang teknologi ( Glaeser dan vyasulu, 1984). Tidak hanya sampai disitu, keharmonisan juga tercipta antara sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa kehadiran reforma agraria yang harus sustain maka tingkat keharmonisan tersbut akan semakin jauh, bahkan dititik tertentu akan menimbulkan konflik. Kerusakan lingkungan akan mengakibatkan pemisahan manusia dengan lingkungan phisiknya.
Sebuah harga yang mahal harus ditebus, ketidak mampuan menjaga lingkungan memaksa manusia menciptakan life space, keamanan personal memalui selubung phisik terdekatnya, yang selanjutnya membentuk gangguan sosial dan distrust antara masyarakat. Bisa dibayangkan reforma agraria yang sustain kondisi ini dapat berjalan akan menyelamatkan keadaan karena selama kegiatan reforma agraria tidak berjalan maka ancaman kerusakan lingkungan yang akan memisahkan manusia dari lingkungan phisiknya masih dapat menjadi kenyataan. Keberhasilan reforma agraria dapat meningkatkan manusia menjaga lingkungannya.
Belajar dari pengalaman buruk lumpur Lapindo, dapat dianalisis kerusakan lingkungan yang dapat diamati hancurnya tanah tempat peradaban manusia baik bermukim dan bertani serta aktivitas perekonomian lainnya telah memisahkan manusia dari lingkunganya. Hal ini dapat dilihat secara nyata dan proses musnahnya tanah di Sidoarjo terjadi secara perlahan dan pasti. Sehingga teori simbolisme lingkungan dapat diamati secara langsung.
Industrialisasi yang dibangun di Indonesia khususnya Jawa Timur membutuhkan energy dan bahan baku untuk produksi. Hal ini mendorong buruknya kualitas lingkungan sekitar kawasan industri, rakyat sekitar kawasan industri menerima dampak negatif, umumnya mereka adalah rakyat kaum bawah, sedangkan kelas atas menerima keuntungan industri dan mereka memiliki kemampuan untuk memilih lingkungan yang jauh dari industri dan lebih baik. Sekali lagi keserakahan manusia mengeksploitasi alam khususnya membangun sumur gas untuk kebutuhan industri telah membawa malapetaka bagi rakyat kecil, para penduduk, petani dan pekerja di Sidoarjo mendapatkan dampak yang sangat merugikan. Industrialisasi melahirkan resiko yang tidak terbatas ruang dan waktu. Sekali terjadi kesalahan maka hasilnya adalah rakyat kelas bawah menerima akibatnya mulai dari kehilangan mata pncaharian, harta berharga sampai kehilangan peradaban kehidupannya sedangkan elit kelas atas relatif terlindungi meski mereka yang dianggap penyebabnya. Pemilik Lapindo tetap aman-aman saja tidak terjangkau pengaruh buruk semburan Lumpur lapindo, bahkan beban kerusakan lingkungan dilimpahkan kepada negara, seandainya terjadi keuntungan dari proses Industrialisasi belum tentu Lapindo mau berusaha memberikan keuntungannya selain pajak kepada negara.



Rujukan :
Arulpragasam, L.C. 1985. ‘ Demand site’ Technology. Ceres 18 (6): 27-31
Farrell, K. 1985. Our pilicies have been strong incentives for produser to employ technologies that sometimes have adverse enviromental effects. Ceres 18 (6): 45-46
Ghildyal, B.P. 1984. Rethinking soil physics research. J. Indian Soc. soil Sci.32 : 556-574

Glaeser, B and V. Vyasulu. 1994. The Obsolescence of ecodevelopment. Dalam ecodevelopment : consepts, projects, strategies. Pergamon press, Oxfords. pp.1-6

Lowe, R.G. 1982. The deadline of the African peasantry. Ceres 15 (6): 36-39

Malik, S.L. 1986. Human ecology : biologycal. Dalam Aspects of Human Ecology. Northern book Center New Delhi. pp 1 - 45

Reforma Agraria untuk Kemakmuran Rakyat Indonesia

Reforma Agraria untuk Kemakmuran Rakyat Indonesia

I. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sumber daya alam. Kekayaan tersebut sangat bernilai ekonomi karena bersifat langka dimana tidak semua negara memilikinya, pada awalnya dinikmati penduduk pribumi sampai pada akhirnya bangsa asing tertarik menikmati. Belanda yang pada awalnya berniat berdagang datang ke Nusantara akhirnya tergoda untuk untuk menjajah negara yang kaya akan kekayaan alam. Ratusan tahun lamanya pemerintah penjajah Belanda menikmati kemakmuran dari mengeksploitasi alam Nusantara. Struktur pemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria sangat timpang khususnya tanah dimana pada pemerintah Belanda mengeluarkan produk hukum berupa Agraris Wet yang sangat merugikan kaum bumiputera. Selama masa penjajahan Belanda mayoritas penduduk pribumi mengalami kemiskinan yang hebat dan kelaparan.
Akhir Perang Dunia Kedua Indonesia merebut merdeka dan pemerintah penjajah Belanda dipaksa mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Para pendiri negara melihat sebagai bangsa yang bercorak kehidupan perekonomian agraris di tengah alam yang subur, alam yang kaya ternyata mayoritas penduduknya tetap miskin pasca kemerdekaan.
Kemiskinan mayoritas penduduk akibat ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Masih banyak tuan tanah dan perkebunan besar milik asing yang memiliki tanah luas secara berlebihan sedangkan para petani yang jumlahnya banyak hidup dari tanah garapan tuan tanah atau bekerja diperkebunan asing meskipun mereka bekerja keras tidak bisa meningkatkan kemakmurannya akibat tidak memiliki tanah (faktor produksi) untuk dikelola mereka dalam keluar dari jerat kemiskinan.
Asumsi di atas telah menggerakkan Pemerintah untuk melakukan serangkaian kegiatan yang dinamakan program Land Reform. Program ini telah memiliki landasan Undang-Undang yang disahkan tahun 1960 yaitu Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Prp Nomor 56 Tahun 1960 tentang Batas Maksimun Kepemilikan Tanah. Land Reform sebagai keputusan politik pemerintah telah mendapat dukungan dari Organisasi tani dan partai-partai politik yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan di atas.
Bergantinya kekuasaan Presiden Sukarno kepada Suharto yang ditandai kudeta dan pembantaian antar sesama anak bangsa telah membawa cita-cita memakmurkan rakyat tani dengan program landreform terkubur selama masa rejim ini berkuasa. Kekuasaan mengakhiri bulan madunya dengan mayoritas rakyat. Selama rejim Orde Baru berkuasa proses kemiskinan kaum tani semakin hebat, dengan selubung menaikkan kehidupan kaum tani program Revolusi Hijau dijalankan untuk menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi, angka-angka statistik menunjukkan peningkatan panen dan PD dari sektor pertanian menyumbang tingkat pertumbuhan ekonomi tetapi kaum tani (buruh tani, petani penggarap dan tani pemilik lahan kecil) mengalami kemiskinan yang hebat. Jurang kemiskinan semakin besar karena Revolusi Hijau hanya menguntungkan bagi pemilik modal (perusahaan pupuk ,bibit, pestisida). Tersedianya pangan yang murah hanya membela masyarakat kota. Petani tetap miskin dan maraknya konflik tanah dengan pemodal (perkebunan, pertambangan dan pengembang perumahan) telah menggusur rakyat keluar dari tanahnya dan semakin miskin.
Babak baru Reforma Agraria kembali membuka harapan dengan terbitnya TAP MPR Nomor IX tahun 2001, yang akan dipaparkan pada pembahasan dimana keputusan politik kembali diaplikasikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

II. Landasan Teori
Beberapa cara pandang dan landasan teori yang tertuang dalam tulisan ini terdiri atas dan teori ekonomi dan ekonomi politik, antara lain :
· Konsentrasi ilmu ekonomi berbicara alokasi sumber daya. Dalam tulisan ini menguraikan tentang sumber daya tanah bersifat langka, kelangkaan ini Bagaimana sumber daya digunakan dapat memaksimalkan keuntungan, maka dilakukan secara efisien.
· Dalam fenomena pasar, terjadi kegiatan penawaran dan permintaan. Berdasarkan teori permintaan dan penawaran, maka nilai tanah ditentukan hasil kesepakatan permintaan dan penawaran. Kondisi nyata yang terjadi adalah dari sisi penawaran akan sulit menambah jumlah tanah yang ditawarkan tetapi permintaan akan tanah semakin bertambah akibat perkembangan jumlah penduduk, hal ini mengakibatkan harga tanah menjadi mahal dari waktu ke waktu.
· Perilaku manusia ekonomi cenderung memaksimalkan memanfaatkan atau utilitas untuk dirinya sendiri karena kelangkaan sumberdaya yang dimilikinya.
· Cara pandang ekonomi, tanah adalah salah satu faktor produksi.
· Teori Pareto Maksimum, dimana kondisi seseorang hanya dapat meningkatkan kesejahteraanya dengan merugikan orang lain.
· Teori Pilihan Publik sebagai perspektif untuk bidang sosial dan politik yang lahir dari pengembangan dan penerapan perangat dan metode ilmu ekonomi

III. Pembahasan
A. Cara Pandang Ekonomi
Kemiskinan di Indonesia bukanlah sebuah untaian kata-kata yang mengalun dalam ruang seminar, ruang kerja dan diskusi-diskusi para politisi, akademisi atau segenap komponen bangsa. Kemiskinan hadir di ruang nyata dan daerah pedesaan lebih parah kondisinya daripada daerah perkotaan. Ketimpangan pemilikan tanah di desa yang dimiliki oleh tuan tanah, begitu eksploitasi terhadap buruh tani, mereka tidak memiliki nilai tawar di hadapan tuan tanah. Dengan cerik tuan tanah memanfaatkan secara maksimalisasi sumber daya yang langka berupa tanah untuk memingkatkan keuntungan. Terjadilah Pareto Maksimum, dimana jurang kemiskinan semakin luas antara buruh tani dengan tuan tanah karena untuk meningkatkan kesejateraan tuan tanah hanya bisa dilakukan dengan merugian buruh tani. Oleh karena itu Dari sisi pandang ekonomi akan dicoba dipaparkan Pemerintah Republik Indonesia berusaha meningkatkan martabat dan kehidupan perekonomian rakyat khususnya kaum tani sebagai langkah mengisi kemerdekaan dengan melaksanakan penataan sumber daya agraria khususnya tanah sekaligus memberikan akses bibit, pupuk, teknologi, perlindungan pasar dan lain-lain kepada petani. Kegiatan ini bertujuan agar para petani penggarap, buruh tani dan petani kecil memiliki tanah sebagai faktor produksi pertanian untuk dikelola agar mendapat meningkatkan pendapatan yang pada gilirannya meningkatkan kemakmuran kaum tani. Tanah sebagai faktor produksi yang mutlak bagi petani tanpa memiliki tanah yang cukup untuk dikelola maka kemampuan produksi hasil pertanian tidak akan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pemilikan tanah (faktor produksi) secara signifikan menaikkan hasil panen yang cukup untuk dikonsumsi dan kelebihannya disimpan selama masa menunggu panen berikutnya serta sisanya dijual menjadi tabungan. Kondisi surplus ini meningkatkan taraf hidup kaum tani. Semakin besar hasil panen dan berbading lurus dengan tingkat kemakmuran kehidupan kaum tani.
Secara makro, pasca Reforma Agraria selain kemakmuran kaum tani, negara dapat melakukan subsitusi impor hasil-hasil pertanian. Pasar hasil pertanian dalam negeri seperti beras, kedelai, gula, buah-buahan dan banyak lainnya selalu kekurangan sehingga dibutuhkan impor, dengan Reforma agraria ketahanan pangan tercapai dan pemerintah dapat menghemat biaya impor sehingga negara memiliki cadangan devisa yang besar (substitusi import). Pengembangan teknologi pasca panen dapat didorong dan dikembangkan sebagai strategi (outward looking) untuk ekspor sektor pertanian dapat meningkatkan penerimaan devisa yang dibutuhkan sebagai bamper (buffer).
Kondisi di atas telah mendorong modernisasi sektor pertanian dan devisa yang diperoleh dari ekspor dapat mendukung saat proses lepas landas (take off) sesuai teori Rostow sehingga rakyat Indonesia memasuki fase kedewasaan sebelum konsumsi tingkat tinggi.
Cita-cita mulia ini dapat membawa negeri tercinta tidak lagi dalam posisi pingiran (pheriferi), cepat atau lambat mendekati posisi negara Inti. Reforma Agraria dapat memotong ketergantungan (Teori Dependensi) dari negara penjajah atau negara maju untuk memulai pembangunan secara berdikari dimulai sektor pertanian, teknologi pertanian (sebelum dan pasca panen), lalu menjadi Industri dan Jasa yang landasannya adalah Reforma Agraria.
Rakyat Indonesia yang mayoritas petani (teori Regulasi Ekonomi) akan mendapatkan manfaat walaupun sepintas Teori Optimal Pareto tidak tercapai karena ada golongan tuan tanah yang dirugikan tetapi untuk jangka panjang golongan ini memperoleh kompensasi karena ruang ekonomi non pertanian telah terbuka untuk mereka isi.

B. Keputusan Politik yang Dilakukan
Terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Prp Nomor 56 Tahun 1960 tentang Batas Maksimun Kepemilikan Tanah. Land Reform sebagai keputusan politik pemerintah telah mendapat dukungan dari Organisasi tani dan partai-partai politik yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan di atas.
Kegiatan Landreform yang baru dijalankan pada tahun1960 belum sempat menata struktur ketimpangan agraria (tanah) seperti tanah kelebihan maksimum yang dimiliki tuan tanah, tanah-tanah bekas perkebunan asing yang hak-hak(hak barat) telah dihapus, tanah absentee (tanah dimana pemiliknya tidak tinggal dikecamatan yang sama). Suasana politik yang kacau pada tahun 1965 membuat proses Landreform macet, bahkan pemerintah Presiden Sukarno dipaksa turun. Komponen – komponen politik yang berpihak kepada rakyat dan sebagian besar berada dalam barisan pendukung/simpatisan politik Presiden Sukarno menjadi sasaran pembersihan penguasa Orde Baru (ORBA).
Pemerintah Orde Baru (ORBA) tidak meneruskan kegiatan Landreform, sebagai gantinya dibuatlah program Revolusi Hijau yang bertujuan menaikkan kehidupan kaum tani tanpa melakukan penataan struktur pemilikan tanah yang timpang. Selama 32 tahun Orde Baru (ORBA) berkuasa ternyata nasib kaum tani tidka mengalami perbaikan bahkan cenderung memburuk dengan semakin sedikitnya kaum tani yang memiliki tanah sendiri, sebagian tanah telah berpindah kepada pemilik modal, banyaknya tanah yang beralih fungsi diluar bidang pertanian semakin menjepit kehidupan petani dan ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah semakin besar dari saat pemerintahan Presiden Sukarno. Setelah rejim Orde Baru ditumbangkan akibat kegagalan dalam kontrak sosial dengan rakyat, maka semangat untuk kembali kepada keputusan politik tentang Reforma agraria yang sebenarnya adalah Land reform plus akses reforma karena konteks tahun 2001 berbeda dengan tahun 1960.
Sebagai antitesa kebijakan politik Orde Baru (ORBA), pemerintahan dimasa Reformasi berusaha mengembalikan tujuan mulia Landreform dengan disesuaikan perubahan jaman. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan keputusan politik berupa Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan yang harapannya kehidupan kaum tani bisa menjadi sejahtera. TAP ini menugaskan pemerintah untuk :
· Melaksanakan Landreform dan memberikan akses reform (teknologi, pasar, proteksi)
· Mengkaji peraturan perundang-undangan yang timpang tindih
· Melakukan penataan pengunaan tanah
Segenap bangsa Indonesia, baik suprastruktur politik ( eksekutif, legislatif, yudikatif) maupun infrastruktur politik (partai politik, LSM, organisasi massa rakyat) harus mendukung Reforma Agraria atau semakin hari bangsa ini semakin tergantung asing, makin terpinggirkan.

IV. Rekomendasi
Mayoritas penduduk Indonesia adalah petani, dalam iklim demokratisasi yang sedang berlangsung, mereka akan menentukan arah tujuan pembangunan dengan melakukan pertukaran politik lewat pemilu. Oleh karena itu elit politik menawarkan program Reforma Agraria untuk mengakomodir maksimalisasi kepentingan rakyat sekaligus rakyat akan memilih elit politik yang memperjuangan kepentingannya. Keputusan politik di atas memberikan rekomendasi seperti yang tertuang dalam TAP MPR Nomor IX Tahun 2001, agar Pemerintah melaksanakan kegiatan Reforma Agraria sebagai kegiatan strategis perintah yang bertujuan agar tercipta kemakmuran rakyat yang sejati.
Program yang diturunkan dari kegiatan strategis Reforma Agraria dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Program ini menjadi prioritas dalam terdokumnetasi Renstra 2007-2009 BPN RI. Untuk beberapa daerah sudah dilakukan kegiatan PPAN, mengingat kelangkaan sumber daya organisasi dan pemerintah maka prioritas adalah daerah yang paling timpang struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T).
Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
· Mengkaji ketimpangan antar peraturan dibidang agraria (pertanahan)
· Menginventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T)
· Menentukan dan memutuskan tanah yang termasuk Tanah obyek Landrefrom (TOL) yaitu tanah-tanah terlantar, kelebihan maksimum dan tanah absente
· Menyusun kriteria subyek reforma agraria dan menentukannya bersama-sama organisasi tani yang benar-benar satu haluan ideologi dengan BPN RI. Organisasi tani tersebut memiliki nilai yang mendkung pelaksanaan PPAN
· Membagikan/meredistribukan tanah obyek landreform kepada petani sesuai kriteri
· Membuka akses reform kepada petani penerima manfaat reforma agraria, yaitu akses terhadap pupuk, bibit, pestisida, irigasi, teknologi, pasar dan perlindungan serta akses lain yang berguna untuk meningkatkan kemakmurna kaum tani
· Memberdayakan petani dan kelembagaannya dengan memfasilitasi mereka dengan membuka serangkaian kerja sama yang dibutuhkan petani dan kelembagaannya, BPN menjadi fasilitator seperti terhadap lembaga perbankan, perusahaan perkebunan skala besar, pemda dan lain-lain
· Meningkatkan pembinaan partisipasi rakyat dan kelembagaannya dalam mensukseskan kegiatan PPAN, tanpa partisipasi maka kegagalan sudah di depan mata. BPN RI menganut paradigma bahwa rakyat itu yang paling paham akan kebutuhannya, sehingga peran-peran fasilitasi dan bina partisipasi sebagai ujung tombak keberhasilan




o.o.o Medeka 100%, Naar de Republik 1926 o.o.o

Senin, 08 September 2008

PILIH MAHIR TAKAKA UNTUK DPD SULSEL

PILIH MAHIR TAKAKA UNTUK DPD SULSEL 2009-2014

Saya mengajak segenap kawan-kawan yang mau suaranya tidak sia-sia oleh calon seperti kucing dalam karung agar menyuarakan haknya kepada MAHIR TAKAKA UNTUK DPD SULSEL 2009-2014.
Jika kawan-kawan percaya sama saya, maka rekomendasi saya adalah pilih MAHIR TAKAKA, karena calon-calon yang lain belum tentu sedekat kita dengan bung MAHIR TAKAKA, calon yang mapan biasanya hanya butuh kita 5 tahunan saja lalu lupa, garansi saya kepada kawan-kawan, BUNGA MAHIR TAKAKA berasal dari kita, oleh karena suara kita bisa terus mewarnai DPD........
VOTE MAHIR TAKAKA UNTUK DPD SULSEL 2009-2014

Minggu, 07 September 2008

Renstra BPN RI 2007-2009 Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Dasar Rakyat

Latar Belakang
Sebagai negara agraris sudah dapat dipastikan mayoritas penduduk Negara Indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Ironis jika terjadi Bencana kelaparan dan malnutrisi merupakan rural phenomenon, padahal sekitar 80 % manusia lapar di dunia ini tinggal di daerah pedesaan. Bencana kekurangan pangan hampir selalu terjadi di pedesaan tempat bahan pangan dihasilkan sedangkan di perkotaan selalu tersedia aneka ragam bahan pangan meskipun tidak ditemukan lahan pertanian. Perang dan bencana alam terkadang menyebabkan kekurangan pangan namun sebagian besar bencana kekurangan pangan pada dasarnya disebabkan oleh alasan-alasan buatan manusia (lihat Piere Spitz, 1979).
Kebijakan Pemerintah Orde Baru dari awal memang sudah salah karena tidak menjadikan masalah agraria sebagai basis pembangunan. Semboyan berdaulat dalam politik dan berdikari dalam perkonomian telah dilupakan. Arsitek pembangunan Orde Baru yang umumnya dinamakan mafia Barkeley mengedepankan teori modernisasi dalam kebijakan pembangunan. Pengejaran pertumbuhan ekonomi menjadi ambisi pemerintah Orde Baru. Kegiatan perekonomian diserahkan kepada segelintir orang yang berharap akan ada hasil menetes ke bawah, rakyat hanya menjadi penonton saja tidak dilibatkan sebagai aktor pembangunan. Dampaknya dapat dilihat dengan semakin timpangnya jurang kemiskinan, ancaman ketahanan pangan, kerusakan lingkungan, mental korupsi, kehidupan politik berjalan secara otoriter, pelaku perekonomian hanya mengejar perburuan rente dan ketimpangan struktur pemilikan tanah seiring munculnya konflik pertanahan yang membawa korban jiwa dari kaum tani. Tingginya angka pertumbuhan ekonomi yang tidak terdistribusi secara merata membawa dampak munculnya kelompok masyarakat marjinal yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dan pemerintah masa itu terkesan melakukan pembiaran meski konstitusi telah menjamin hak dasar rakyat khususnya tanah.
Rapuhnya landasan perekonomian akibat Pemerintah Orde Baru tunduk kepada kekuatan asing, lebih mengutamakan modal asing dan bantuan asing. Tujuan negara dikesampingkan demi melayani kepentingan asing, rakyat kebanyakan menjadi korban akibat politik rumah terbuka yang membuat kekuatan modal asing masuk mendesak rakyat mengakibatkan keadaan seperti keadaan di atas.
Pasca Keruntuhan Rezim Orde Baru yang ditandai peralihan kekuasaaan Rezim Orde Baru ke Reformasi membawa secercah harapan adanya perubahan. Di bawah ini akan dijelaskan bagaimana pemerintah pasca Orde Baru menjalankan strategi pembangunan untuk menperbaiki kebobrokan pembangunan Orde Baru, pemerintah hasil pemilu 2004 cq. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mencoba melakukan serangkaian perubahan yang dapat dilihat dalam Renstra BPN RI tahun 2007-2009.

Tujuan Pembangunan
Amanat konstitusi menegaskan agar politik dan kebijakan pertanahan diarahkan mewujudkan “ tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Arah kebijakan pembangunan harus sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yang didasarkan atas visi Negara Indonesia, yaitu : “ mewujudkan negara kebangsaan Indonesia modern yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta sejahtera dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan dan persatuan berdasarkan Pancasila dan UD 1945.
Tujuan utama renstra tersebut adalah peningkatan kesejahteraan rakyat serta penciptaan struktur sosial dan tatanan politik nasional yang lebih kokoh dimasa depan. Sejalan dengan amanat konstitusi di bidang pertanahan menuntut agar politik dan kebijakan pertanahan dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sesuai amanat Sila kelima Pancasila dalam pembukaan UUD 1945) dan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Nilai-nilai dasar inilah yang mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, terutama tanah. Sebagai negara yang bercorak agraris Tanah adalah kehidupan. Terbukanya akses rakyat terhadap tanah dan kuatnya hak rakyat atas tanah, maka kesempatan rakyat untuk memperbaiki sendiri kesejahteraan sosial-ekonominya akan semakin besar. Martabat sosialnya akan semakin meningkat. Hak-hak dasarnya akan terpenuhi. Rasa keadilan rakyat sebagai warganegara akan tercukupi. Harmoni sosial akan tercipta. Kesemuanya ini akan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Jaminan kebutuhan dasar rakyat atas tanah yang telah bermetamorfosis menjadi hak dasar rakyat masih dijamin dalan TAP MPR No. IX tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UU no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Perpres No. 10 Tahun 2006 mengenai Badan Pertanahan Nasional RI merupakan bentuk penguatan kelembagaan pertanahan nasional untuk mewujudkan amanat konstitusi dalam bidang pertanahan.
Usaha untuk membumikan amanat konstitusi diturunkan melalui misi BPN RI untuk peningkatan kondisi kehidupan dapat dilihat dari:
Sisi ekonomi adalah peningkatan kesejateraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan.
Sisi lingkungan phisik, peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) mengurangi kerusakan sumber daya tanah dan menjaga lingkungan hidup tetap lestari.
Sisi sosial, perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan pernagkat hukum dan sistem pengelolaan pertanhan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara dikemudian hari.
Sisi politik, menguatkan kelembagaan pertanahan sesuai jiwa sengata, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPA dan aspirasi rakyat secara luas
Sisi budaya, keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat

Sasaran Pembangunan
BPN RI melakukan dukungan politis dan teknis pertanahan melalui ketersediaan lahan pertanian yang memadai dalam rangka pemantapan ketahanan pangan, sehingga kebutuhan pangan dapat terpenuhi. Kegiatan konsolidasi tanah (land consolidation) sebagai bagian dari Program Pembaruan Agaria Nasional (PPAN) diperkotaan dan perencanaan penggunaan tanah untuk perumahan dapat memberikan akses tanah untuk kebutuhan dasar akan perumahan terpenuhi.
Untuk mengejar terciptanya kehidupan yang bermartabat, dalam renstra dapat dilihat dengan usaha untuk menciptakan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, dimana akses rakyat terhadap sumber penghidupan secara simultan terus dilakukan agar semakin banyak akses sumber penghidupan rakyat. Bahkan akses yang seluas-luasnya terhadap tanah juga dipikirkan akan diberikan pada generasi yang akan datang. Adanya semangat kebebasan dalam menentukan pilihan terhadap akses pertanahan bagi tiap warga negara baik laki-laki dan perempuan dijamin kebebasannya memiliki tanah dan mengolahnya di seluruh wilayah Republik Indonesia tanpa boleh dihalangi. Aspirasi rakyat secara luas adalah semangat dan prinsip dalam penguatan kelembagaan pertanahan. Oleh karena itu partisipasi rakyat menjadi bagian penting dan unsur utama yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Rapat kerja dengan komisi II DPR RI salah satu partisipasi rakyat yang dititipkan lewat wakilnya, hasil rekomendasi dengan DPR adalah bahan melakukan keputusan. Masih ada lagi saluran lain untuk memfasilitasi partisipasi dengan melakukan public hearing agar keputusan yang dikeluarkan berdasarkan partisipasi rakyat.

Sarana Pembangunan
Perluasan/perbaikan akses produksi kebutuhan hidup didekati dengan kegiatan penciptaan sumber-sumber baru kehidupan rakyat dan perbaikan akses produksi kehidupan disektor pertanian bagi petani dapat dilakukan dengan penataan ketimpangan P4T sehingga kemampuan produksi dapat ditingkatkan terutama kebutuhan pangan yang pada akhirnya tercukupinya kebutuhan pangan serta pemantapan ketahanan pangan.
Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertipikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia. Rakyat dapat mengakses kebutuhan informasi, kepastian hukum atas aset dan akses produksinya. Perbaikan layanan hidup dilakukan dengan memutakhirkan data-data pertanahan melalui kegiatan teknis rutin dan menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik diseluruh tanah air sehingga kualitas layanan publik dapat segera terpenuhi.
Membangun sistem informasi dan manajemen pertanahan nasional (SIMTANAS) dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia demi terwujudnya dukungan administrasi pertanahan. Rakyat secara aktif dapat memberikan informasi tentang pertanahan ke kantor lurah, camat dan PPAT dalam rangka memberikan dukungan administrasi sehingga SIMTANAS dapat dijadikan rujukan data pertanahan.


Dasar Teori Kebutuhan Dasar
Konstitusi menjamin hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, sejalan dengan ILO (1976), kewajiban negara diturunkan dalam kegiatan Proyek Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) dimana semakin terbukanya akses rakyat terhadap tanah maka penciptaan lapangan pekerjaan di sektor pertanian yang dapat mengurangi pengangguran
Hak dasar itu sudah given, dijamin konstitusi dan Tuhan namun jangan bermimpi tanpa usaha hak dasar tersebut dapat dipenuhi, bahkan diperlukan perjuangan untuk memperolehnya. Pemenuhan Hak Dasar bagi warga negara dapat dilihat dari renstra BPN RI 2007-2009 peningkatan ketahanan pangan, maka hak dasar terhadap akses pangan bagi rakyat akan terbuka. PPAN membuka akses kesempatan bekerja dan berusaha telah terpenuhi. Semua warga negara bahkan generasi akan datang diberikan akses terhadap tanah seluas-luasnya. Pertanahan mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh Indonesia akan membawa pada kondisi rasa aman. Akses partisipasi rakyat menjadi bagian penting dan unsur utama yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Akses terhadap sumber daya alam terutama tanah dan lingkungan hidup yang baik dipenuhi dengan pencarian sumber-sumber baru dan penataan P4T agar tidak terjadi kerusakan sumber daya tanah dan lingkungan.

Pembangunan Manusia dan MDGs
Ketahanan pangan membuat kelaparan tidak menjadi ancaman bagi kemanusiaan, sehingga angka kehidupan semakin tinggi. Adanya kesamaan renstra BPN RI 2004-2009 dengan MDGs adalah mengurnagi kemiskinan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan serta peningkatan ketahanan pangan. Keberlanjutan lingkungan hidup dilakukan dengan penataan P4T untuk akses seluas-luasnya bagi generasi yang akan datang (suistainability)


Komponen Human Development dalam renstra BPN RI (2007-2009)
Membuka sumber-sumber baru bagi kemakmuran, maka setiap orang dimampukan meningkatkan produktivitasnya, sehingga partisipasinya dalam menciptakan pendapatan dan memperoleh imbalan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. (produktivity)
Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan (setiap warga negara memiliki akses yang sama) dan bermartabat dalam kaitannya dengan P4T (equity)
Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistem kemasyarakatan,kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat (suistainability)

Permasalahan dalam pencapaian
Hak dasar rakyat dikelompokkan menjadi dua : given (dijamin UUD 1945 dan Tuhan) dan Rights ( hak-hak yang diperjuangkan). Kondisinya, bahkan hak dasar yang terberi dari Tuhanpun tak terpenuhkan bagi rakyat. Adanya eksploitasi manusia terhadap manusia bermotif ekonomi dan politik. Selama negara dan pemerintah berpihak kepada rakyat maka hak dasar dapat terpenuhi namun jika pemihakan kepada pemodal maka disitulah muncul permasalahan dalam pencapaiannya