Minggu, 21 September 2008

Menjaga Eksitensi Negara dengan Melindungi Tanah

I. Gambaran Umum

Kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh Pemerintah Orde Baru, menyisakan dampak yang tidak menguntungkan dari sisi ekologis. Sebelum dipaparkan kondisi nyata di lapangan, terlebih dahulu dikemukakan dalam kesempatan ini, bahwa kegiatan pembangunan telah membutakan kepentingan menjaga kelestarian lingkungan. Corak pemangunan yang tercipta adalah demi mengejar pertumbuhan ekonomi banyak sumberdaya alam dieksploitasi secara intensif dan besar-besaran bahkan melebih daya dukung bumi. Rakyat menjadi teringgirkan dalam urusan mengeksploitasi kekayaan alam, pemerintah masa lalu lebih memberi angin kepada para pemilik modal. Eksploitasi sumber daya alam khusus tanah dapat dilihat dari tingginya laju konversi kawasan pertanian yang umumnya tanah-tanah yang subur dan memiliki saluran irigasi teknis khususnya yang berada di dekat pusat kota membuat kualitas tanah pertanian menjadi rusak. Bahkan menimbulkan tanah kritis akibat keterlambatan pemanfaatannya, berkurangnya tanah subur menjadi ancaman tersendiri bagi dunia pertanian. Sektor industri diharapkan dapat mengejar pertumbuhan lebih tinggi daripada sektor pertanian. Ideologi pembangunan rezim Orde Baru adah mengejar pertumbuhan telah melahirkan semangat membela industrialisasi, meskipun telah mengorbankan aspek pertanahan selain hal di atas, kualitas lingkungan menjadi semakin memburuk akibat pencemaran terhadap air, udara dan tanah.
Penerapan konsep ekologi dalam pembangunan pertanahan di Indonesia, sebenarnya sudah diamanatkan dalam UU Nomor 5 tahun 1960, UU ini biasa disebut UUPA yang akan dijelaskan lebih rinci di bagian lain tulisan ini. Istilah ekologi diperoleh dari bahasa latin, oikos berarti rumah dan logy artinya ilmu. Bisa dipandang suatu llmu yang bersifat interdisiplin atau multi disiplin yang menggambarkan secara sistematis pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu aik terkait maupun tidak terkait sama sekali. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan yang dinamis antara organisme dan atau populasi dalam lingkungan organik dan anorganik. Hubungan lingkungan organik disebut biotik sedangkan anorganik disebut abiotik (Malik, 1986).
Rusaknya hutan akibat eksplotasi yang tidak dibarengi reboisasi menimbulkan lahan kritis dalam jumlah besar yang dapat mengancam kehidupan manusia dengan banjir, erosi, tanah longsor dan kekeringan yang berkepajangan. Tanah kritis masih disumbang dari kegiatan ekstraktif atau pertambangan, top soil yang kaya akan unsur hara tanah telah dipangkas untuk mengambil bahan tambang yang terdapat di bawahnya. Banyak ditemukan bekas daerah pertambangan menjadi lahan kritis, dimana bekas galian tambang setelah bahan tambang berharga diangkat dibiarkan menjadi kolam-kolam raksasa. Bisa dibayangan jika lokasi tambang tersebut dulunya adalah kawasan lindung. Hilangnya tanah subur atau hilangnya sumber daya alam khususnya tanah dapat mengancam keberlangsungan kehidupan manusia.
Tanah air bagi bangsa Indonesia adalah sebuah kesatuan yang bulat. Tanah air Indonesia lahir karena kemerdekaan dan itu tidak gratis, ada harga yang harus dibayar. Para pejuang telah berkorban untuk merebut dan mempertahankannya. Sebagai generasi penerus sudah sepantasnya tanah air dimanfaatkan dengan mengelola dengan arif untuk memperoleh kemakmuran, baik generasi sekarang dan yang akan datang (sustain). Kerusakan atau musnahnya tanah akibat eksploitasi alam seperti yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Sudah bisa dipastikan akibat pengeboran sumur gas oleh PT. Lapindo mengakibatkan ratusan hektar tanah menjadi musnah. Tanah tempat bermukim dan bertani bagi petani kini hilang, segala kehidupan yang dahulu dilakukan di atas tanah kini telah hilang. Hapusnya beberapa kelurahan pada peta Kabupaten Sidoarjo menjadi keniscayaan. Orang-orang harus dibangunkan bahwa tanah itu identik dengan eksistensi negara. Jika semburan lumpur terus menerus menenggelamkan kabupaten Sidoarjo maka satu kabupaten hilang. Tidak ternilai kerusakan lingkungan akibat keserakahan manusia mengekploitasi alam. Hal ini paradoks dengan usaha mengisi kemerdekaan, jangankan menjaga kelestarian tanah. Mempertahankan tanah saja tidak sanggup. Sedangkan dimasa perebutan kemerdekaan satu jengkal tanah diperjuangan dengan taruhan nyawa. Ketersinggungan kasus lumpur Lapindo dengan teori-teori pembangunan ekologi dapat ditemui pada bagian berikutnya.
Bagi rakyat Indonesia pada umumnya menganggap tanah memiliki hubungan khusus dengan manusia. Dari sisi pandangan spiritual manusia diciptakan dari debu tanah dan kembali menjadi tanah, bahkan tanah tidak semata dipandang unsur ekonomi semata, untuk beberapa masyarakat tertentu terdapat unsur budaya dan magis. Tanah tempat segala aktivitas manusia baik sosial, politik, ekonomi dan budaya. Keterkaitan mata pencarian mayoritas penduduk negeri ini sebagai petani menandakan tanah mempunyai posisi sentral dalam perekonomian masyarakat Indonesia.
Terlestariannya sumber daya alam khususnya tanah kiranya menjadi fokus perhatian para pihak yang mengelola pembangunan. Harus ada agenda bersama yang konsisten dikawal dalam aplikasinya di lapangan. Sekali negeri ini terlena maka kehilangan tanah sebagai sesuatu yang sangat berharga dan bisa menganggu eksistensi Negara Republik Indonesia. Penjualan tanah bercampur pasir dari pulau-pulau sekitar kepulauan Riau kepada Singapura dapat dianalisis. Pertama, negeri singa tersebut membutuhkan perluasan daratan untuk mendukung aktivitasnya dan keberlangsungan negara tersebut. Singapura akan terhapus dari peta dunia bukan karena diinvasi oleh negara lain melainkan jika pulau tersebut susut dan habis maka tamatlah riwayat negara Singapura. Berbagai usaha dilakukan untuk menjamin ketersedian tanah di negara Singapura. Salah satunya dengan reklamasi, dimana material penimbun lautnya didatangkan dari Indonesia. Demi menambah luas daratannya, pemerintah Singapura menghabiskan dollarnya untuk membeli material penimbun laut. Hasilnya daratan Singapura menjadi lebih luas akibat adanya tambahan tanah baru hasil reklamasi. Kedua, bertambahnya luas wilayah Singapura membawa dampak negatif bagi Indonesia, banyak pulau-pulau yang telah diambil tanah dan pasirnya menjadi kritis, hilangnya keanekaragaman hayati, bahkan sebagian besar hampir tenggelam. Sebuah harga yang mahal bagi Indonesia, bahwa hasil penjualan material ke singapura tidak bisa dinilai dengan uang semata. Kelestarian tanah yang terdapat di pulau-pulau yang hampir tenggelam harus dijaga, bila perlu perlu dilakukan pengembalian kepada kondisi awalnya. Meski ada penerimaan dana dari Singapura yang ditenggarai sebagai pemasukan bagi kas Pemda Kepulauan Riau namun kegiatan penjualan pasir dan tanah ke Singapura harus distop karena mengancam kelestarian lingkungan. Turunnya nilai pertumbuhan karena hilangnya pendapatan dari ekspor pasir dan tanah ke Singapura membawa dampak positif bagi lingkungan dengan terselamatkannya pulau-pulau yang lainnya.
Segala potensi yang bisa menambah pemasukan bagi pertumbuhan ekonomi digarap secara maksimal, tidak terlewatkan potensi hutan menjadi sasaran eksploitasi. Demi mengejar pertumbuhan ekonomi, menjadi sah kekayaan alam di dalam hutan diambil secara serakah. Banyak peraturan dilanggar pemegang HPH, laju kerusakan hutan ternyata lebih cepat pada kawasan hutan yang dimiliki pemegang HPH daripada kawasan hutan yang dihuni oleh masyarakat adat. Rusaknya jutaan ha hutan menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Munculnya lahan-lahan kritis yang bisa berpotensi menjadi gurun akibat keterlambatan kegiatan reboisasi. Selain dampak pemanasan global, perubahan iklim, masih ada dampak rutinitas yang akan merugikan rakyat sekitar hutan seperti bankir, tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan yang berkepanjangan saat musin kemarau.
Sebuah kebijakan pembangunan yang diambil dalam rangka menyelamatkan lahan-lahan kritis menjadi keharusan dan pada saat yang sama ijin untuk memanfaatkan hutan harus dilakukan secara selektif dan dibatasi sebagai langkah konservasi sumber daya alam. Penerimaan di sektor eksploitasi hutan memang akan menurun karena tertutupnya kegiatan eksploitasi karena masuk pada fase konservasi lingkungan dan sumber daya alam dimana hal tersebut akan menghasilkan kemampuan menahan laju pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah berkurangnya laju pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan berkurangnya kerusakan hutan dan tanah kritis.
Perang terhadap pembalakan liar (illegal logging) menjadi isu yang serius karena kejahatan pembalakan liar disejajarkan dengan korupsi. Penegakan hukum pada masa pemerintahan Reformasi terhadap pelaku kejahatan pembalakan liar telah menyentuh para pelaku intelektualnya, aparatur yang menjadi beking baik polisi, TNI dan kadis kehutanan yang terlibat pembalakan liar banyak yang sudah diproses secara hukum. Hanya komitmen dari pemimpin negeri dan dukungan segenap rakyat yang dapat memberantas pembalakan liar yang hanya menguntungkan segelintir orang tetapi merugikan negara dan generasi yang akan datang. Diharapkan agenda di atas dapat menahan laju kerusakan hutan yang pada akhirnya mengurangi lahan-lahan kritis yang berpotensi menjadi gurun. Negara tidak saja dirugikan akibat hilangnya pemasukan dari sektor industri kayu dan kondisi ini jelas merugikan generasi yang akan datang. Perhitungan dalil yang mengatakan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi agar laju kerusakan lingkungan bisa berkurang tidak berlaku dalam kondisi pembalakan luar karena negara tidak menerima pemasukan dalam rangka pertambahan pertumbuhan ekonomi. Sekalipun laju pertumbuhan ekonomi diperkecil, tanpa pemberantasan pembalakan liar laju kerusakan lingkungan tidak bisa ditekan.

II. Menjaga Kelestarian Tanah

Amanat mulia untuk melestarikan tanah terkandung dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria yang biasa disebut dengan UUPA. Aturan ini secara tegas mewajibkan para pemegang hak atas tanah tanpa terkecuali menjaga kelestarian tanahnya. Bahkan ada ancaman pidana bagi pemegang hak atas tanah yang terbukti lalai menjaga kelestarian tanahnya. Disini dapat dilihat Negara secara aktif menjaga kelestarian tanah bahkan diiring unsur paksaan. Kewajiban tersebut lahir pada saat hak atas tanahnya juga lahir. Para penyusun UUPA tersebut memandang tanah sebagai sumber daya alam yang sangat berharga oleh karena itu kelestarian tanah identik dengan kelestarian kehidupan rakyat termasuk keberlangsungan Negara Indonesia.
Tanah yang diterlantarkan oleh pemegang haknya dapat dicabut guna menghindari kerusakan tanah yang semakin parah. Terlepas dari apapun latar belakang penelantaran tanah adalah kegiatan kriminal, yang menghalangi akses orang lain mengelola tanah. Apalagi jika motif penelantaran tanah adalah sebagai obyek spekulasi semata maka pemerintah khususnya BPN RI dapat melakukan pemeriksaan dan status penelantaran dalam rangka pengendalian pertanahan. Langkah paling startegis adalah pencabutan hak atas tanah karena telah terjadi penelantaran tanah. Setelah status kepemilikan lahan dicabut maka lahan diberikan prioritas bagi rakyat yang aktif mengelolanya. Harapan yang muncul adalah tanah tidak diterlantarkan sehingga dapat bermanfaat dalam meningktakan produktivitas pertanian. Usaha pertanian yang dilakukan rakyat dalam skala kecil namun banyak tersebar dapat menciptakan keseimbangan produksi dengan daya dukung ekosistem daripada tanah dibiarkan terlantar.
Manusia yang secara alamiah adaptif terhadap perubahan, terkadap pengaruh adaptasinya sedemikian menjadi besar atau disebut maladaptif, kondisi ini tidak dapat diterima dalam mengelola lingkungan hidup. Perilaku manusia dapat meningkatkan daya dukung lingkungan atau menurunkannya. Perusakan hutan dengan cara tebang bakar dan penebangan hutan tanpa tebang pilih dengan membabat semua tegakan pohon, akibatnya terjadi penurunan tingkat kesuburan tanah, yang pada akhirnya penurunan pula daya dukung tanah. Sedangkan yang diharapkan dari peningkatan produksi adalah seperti di atas adalah menyeimbangkan daya dukung lingkungan.
Munculnya lahan-lahan terlantar baik itu yang diperkotaan, pedesaan dan bekas kawasan hutan menjadi keprihatinan tersendiri, selain hilangnya potensi ekonomi atas lahan-lahan tersebut aroma kerugian yang lebih besar akibat kritisnya lahan tersebut adalah musnahnya tanah-tanah yang sudah memasuki tahapan tanah kritis. Jika tanah sudah musnah maka tidak bisa kegiatan lain yang bisa dilakukan oleh umat manusia untuk mengembalikan tanah. Untuk tanah kritis saja diperlukan usaha yang maksimal dan sungguh-sunguh dengan memanfaatkan teknologi untuk mengembalikan unsur hara. Penegakan hukum atas penelantaran tanah merupakan salah satu agenda pembangunan untuk menjamin ketersediaan tanah bagi keberlanjutan kehidupan di Negara Indonesia. Keseriusan pemerintah dalam memberantas kegiatan penelantaran tanah adalah dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998 tentang Penertiban Tanah Terlantar. Hubungan biotik dan abiotik harus harmonis dalam mewujudkan keberlanjutan, disinilah peran negara untuk mewujudkan hubungan harmonis tersebut.
Sebagai negara yang banyak memiliki sumber daya alam yang melimpah, maka dari segi daya saing negara Indonesia telah memiliki peluang yang cukup besar, karena tidak tergantung dari negara lain untuk memperoleh sumber daya alam yang dibutuhkan. Seperti yang dipaparkan dibagian atas, bahwa tanah mempunyai nilai strategis. Dari sisi perekonomian negara Indonesia yang bercorak agraris, dimana mayoritas penduduknya mengantungkan mata pencarian dari mengolah tanah. Kemampuan mengolah tanah berbanding lurus dengan hasil produksi rumah tangga kaum tani. Peningkatan pendapatan kaum tani dapat ditingkatkan jika hasil panen mereka memiliki nilai ekonomis tinggi. Perlunya usaha pertanian yang mampu lebih banyak menghasilkan produksi panen agar peningkatan kesejahteraan petani dapat tercapai. Manusia memiliki tingkat ketergantungannya dengan tanah, yang dapat diterjemahkan terdapat ketergantungan ekonomis antara manusia dalam hal ini kaum tani terhadap lingkungan biofisiknya.
Hampir semua kegiatan manusia dilakukan di atas tanah, seperti bertani, bermukim, menghasilkan produksi, pelayanan jasa dan lain-lain. Munculnya kebudayaan masyarakat tergantung kepada pola kehidupan masyarakat dan kondisi lingkungan tempat bermukimnya. Budaya masyarakat pantai atau pesisir tentu berbeda dengan budaya masyarakat dataran tinggi (pegunungan). Manusia memiliki tingkat ketergantungannya dengan tanah tempat tinggalnya, yang dapat diterjemahkan terdapat ketergantungan budaya antara terhadap lingkungan biofisiknya.
Dari dua kondisi ketergantungan manusia baik dari sisi ekonomi dan budaya terhadap lingkungan biofisiknya. Terganggunya lingkungan biofisik akan mempengaruhi manusia baik dari sisi ekonomi dan budaya. Bisa dibayangkan jika lingkungan rusak, akan mempengaruhi kualitas kesuburan tanah, maka secara signifikan kesejahteraan petani menjadi ancaman serius karena lingkungan yang telah rusak tidak bisa menghasilkan hasil produksi pertanian yang maksimal, ancaman kegagalan panen sedemikian tinggi. Banjir, tanah longsor dan erosi adalah dampak ikutan dari kerusakan lingkungan, yang jika dibiarkan akan akan memusnahkan tanah maka ketersediaan tanah yang berkurang akan membawa dampak kesejahteraan juga semakin berkurang. Hubungan ekonomis manusia akan rusak diakibatkan keruskaan lingkungan. Demikian juga dari sisi budaya kerusakan lingkungan dapat mengancam kelestarian budaya yang telah tercipta dari generasi sebelumnya. Hubungan manusia dengan budayanya akan rusak diakibatkan rusaknya lingkungan. Kerusakan lingkungan dengan ditandai rusaknya tanah pertanian, maka para petani telah kehilangan budaya kaum tani, jika mereka meninggalkan lingkungan awalnya menuju lingkungan baru yang belum rusak maka budaya lama akan ditinggal. Adaptasi terhadap lingkungan baru akan menghasilkan budaya yang dapat berisi budaya lama bercampur budaya baru atau memang penciptaan murni budaya baru karena budaya lama tidak adaptif di lingkungan baru. Sekali lagi tercipta hubungan antara budaya baru dengan lingkungannya yang relatif baru, jika lingkungannya kembali rusak maka ancaman kerusakan budaya juga terjadi. Proses ini bisa dibayangkan seperti siklus berulang, pertanyaannya jika sampai satu titik tidak ada lagi lingkungan yang tidak rusak.
Langkah strategis untuk menghindari proses di atas adalah melakukan penerapan subsisten (usaha tani kecil) dimana pengetahuan tradisional budaya sebagai alternatif modernisasi ekologis. Menurut Lowe (1982), usaha pertanian kecil (subsisten) adalah lebih daripada suatu upaya mencari penghasilan. Kegiatan ini merupakan suatu gaya hidup dan karena itu, baik hambatan sosial maupun hambatan biologi, mempengaruhi perkembangannya. Lowe memberikan misal seperti pedesaan tradisional di Afrika, yang lahan dipandang sebagai sesuatu yang mendukung suatu masyarakat, dan bukan sekedar sebagai sekedar sumber keuntungan. Dalam usaha tani semacam itu ada semacam sistem masukan dan imbalan (reward). Ini berbeda dengan usaha tani komersil, yang menganut sistem masukan dan keluaran.
Upaya bertahun-tahun untuk merakit teknologi yang selaras untuk diterapkan pada usaha tani subsisten juga belum berhasil. Penerapan langsung teknologi yang ditawarkan di pasaran, yang dirakit untuk usaha tani maju di negeri maju, sering terjadi distosi dan sial. Hal ini disebabkan teknologi yang muncul di negara maju dirancang untuk menjawab tantangan kebutuhan pokok yang dihadapi masyarakat di negara maju, yaitu kelimpahan lahan dan modal bersamaan dengan kelangkaan tenaga kerja. Ketiga tantangan ini justru berlawanan dengan yang terdapat di negeri sedang berkembang ( Arulpragasam, 1985). Maka Ghildyal (1984) memunculkan istilah etnoteknologi sebagai asas teknologi yang selaras dengan usaha tani kecil. Dalam teknologi ini gatra ekologis dan sosial.
Farrell (1985) berpendapat bahwa kebijakan yang digariskan pemerintah Amerika Serikat dan emerintah negara-negara lain merupakan rangsangan bagi produsen untuk menggunakan teknologi yang kadang-kadang berakibat buruk pada lingkungan. Farrell mengunakan istilah determinisme teknologi untuk melukiskan kecenderungan penelitian pertanian menekankan sangat kuat, bahkan mungkin menekankan semata-mata, pada meninggikan produktivitas dan keluaran sektor pertanian. Meninggikan produktivitas dan keluaran sektor pertanian memang perlu, akan tetap itu bukan tujuan satu-satunya. Tiap teknologi selain memiliki matra produktivitas juga harus memiliki matra sumber daya dan lingkungan.
Pelajaran yang harus diambil dari negara maju adalah kegagalannya sehinga tidak mengulangi kesalahannya. Pada negeri maju usaha pertanian sudah merupakan bentuk industri pertanian. Bentuk pertanian semacam ini tidak membangun produktivtasnya menurut sistem usaha tani yang mendaur. Melainkan lebih menngantungkannya pada masukan banyak dari industri berupa pupuk dan pestisida. Sistem usaha tani industri cenderung menjadi ekosistem yang goyah. Potensi untuk mencapai hasil panen yang maksimum tidak dapat dilepaskan dari gandengannya dengan resiko yang menjadi kosekuensi ketidakmantapan ekosistem. Pengembangan pertanian ditujukan pada kuantitatif dan meninggalkan kualitatif.
Akibat samping negatif terhadap lingkungan dari usaha industri pertanian tidak boleh dianggap sepele. Intensifikasi pemupukan juga menimbulkan persoalan gawat mengenai kesuburan tanah. Padahal kesuburan tanah menjadi salah satu unsur penting. Penggunaan pupuk pabrik yang meningkat juga meningkatkan penyerapan unsur hara asli tanah berarti meningkatkan pengurasannya. Tanah subur lama-lama menjadi tidak subur dan bisa menjadi tanah kritis. Pentingnya mengembalikan dan menjaga unsur asli tanah
Keputusan politik berupa TAP MPR Nomor IX tahun 2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah mengamanatkan pemerintah untuk melakukan reforma agraria. Telah terjadinya ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam struktur agraria yang mengarah kepada kerusakan lingkungan, dapat dicegah oleh reforma agraria. Revolusi hijau yang pernah dijalankan hanya mengedepankan peningkatan hasil panen phisik dengan tidak melihat struktur produksi pertanian. Akhirnya revolusi hijau tidak selalu berhasil dalam skala pertanian tradisional. Potensi konflik yang tinggi antara petani tradisional dari segi ekonominya yang semakin hari semakin tersisih dengan petani pemilik modal. Belum lagi kualitas lingkungan yang semakin buruk akibat kelebihan masukan kepada ekosistem secara jelas merusak lingkungan phisik.
Kawasan bekas hutan yang telah rusak akibat kegiatan eksploitasi secara berlebihan cukup luas. Kondisi lahan kritis sudah didepan mata. Pemerintah hasil pemilu 2004, segera merespon dengan mengagendakan kegiatan reforma agraria di lahan bekas hutan sebanyak 8,15 juta Ha. Dengan reforma agraria tersebut harapan rehabilitasi tanah kritis dapat berjalan sesuai rencana dari sisi lingkungan menyelamatkan kemusnahan tanah, maka kesinambungan kehidupan berkelanjutan sebagai sarana pembangunan dapat tercapai.
Reforma Agraria harus Sustainable
Inti reforma agraria adalah land reform, namun dari perspektif HAM, refoma agraria itu bukan sekedar redistribusi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah melainkan harus ditunjang oleh seperangkat infrastruktur. Reforma agraria diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan, karena dari sisi perspektif ekonomi, mereka yang semula tunakisma atau petani gurem itu mampu menjadi pengusaha tani yang mandiri dan tidak terjerumus ke dalam utang. Seperangkat penunjang itu adalah:
(a) jaminan hukum atas hak yang diberikan
(b) tersedianya kredit yang terjangkau
(c) akses terhadap jasa-jasa advokasi
(d) akses terhadap informasi baru dan teknologi yang ramah lingkungan
(e) pendidikan dan latihan
(f) akses terhadap bermacam sarana produksi dan bantuan pemasaran.
Seperangkat penunjang tersebut barulah menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan erat dengan masalah kelembagaan. Aspek kelembagaan ini harus juga dipersiapkan kerangkanya, terutama kelembagaan yang memberi peluang bagi partisipsi rakyat. Penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah beserta seluruh paket penunjang tersebut secara lengkap itulah yang dimaksud sebagai “reforma agraria”.
Ada dua prinsip pokok yang harus diperhatikan agar reforma agraria sustainable, yatu:
Kebijakan reforma agraria harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Harapan adalah keberlangsungan produksi dapat mendukung lingkungan. Perubahan cara teknologi yang diadopsi oleh revolusi hijau menjadi dalam konteks ini, techno-farming merupakan bagian atau subordinat dari eco-farming. Tanah yang didistribusikan harus tanah-tanah yang produktif, bukan tanah-tanah marjinal yang hanya bisa produktif untuk jangka pendek dan rawan erosi. Demi hak-hak asasi generasi-generasi yang akan datang, diperlukan konservasi sumber daya. Sehingga terpeliharanya sumber daya produksi pangan, yaitu: tanah, air, dan keragaman hayati. Inilah kunci ketahanan pertanian, yang berarti ketahanan pangan. Bukan agribisnis yang dijalankan pemodal besar.
Dari aspek sosial-politik, sustainabilitas reforma agraria mensyaratkan dua hal: (a) Dalam berbagai programnya, reforma agraria tidak boleh diskriminatif. Kaum perempuan pedesaan harus dilibatkan peranannya; (b) Perlu diciptakan dan dipertahankan suasana demokratis yang menjamin kebebasan berserikat, dan penguatan organisasi-organisasi tani.
Kebijakan pemerintah yang berusaha mengejar ketahanan pangan, secara langsung menjaga keberadaan tanah pertanian. Pembangunan sektor pertanian dapat terus dilaksanakan akibat ketersediaan lahan. Jaminan kepada generasi yang akan datang semakin mengukuhkan relasi antara menjaga kelestarian tanah dengan keberlangsungan eksistensi negara.
Reforma agraria di atas dapat dijalankan sebagai penerapan teori pembangunan berkelanjutan, dimana seperti dijelaskan di atas adanya usaha melakukan pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Ada empat prinsip yang dipenuhi antara lain:
1. Pemenuhan kebutuhan manusia
2. Memelihara integrasi ekologi
3. Keadilan sosial
4. Kesempatan menentukan nasib sendiri
Berlangsungnya kegiatan reforma agraria dari sisi lain akan mengurangi dampak kerusakan lingkungan seperti diuraikan di atas. Jika kegiatan ini tidak dilaksanakan bisa diprediksi pemanfaatan tata guna lahan yang tidak sesuai, yang mengejar keuntungan semata akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Pelaku – pelaku agribisnis akan mengedepankan keuntungan dan percepatan pengembalian investasi tanpa melihat daya dukung lingkungan. Idealnya tercipta keharmonisan antara alam dan manusia atau manusia dengan lingkungan phisiknya. Keharmonisan adalah berbagai macam hubungan yang tidak merusak dalam batas-batas ekonomis dan penggunaan peluang-peluang teknologi ( Glaeser dan vyasulu, 1984). Tidak hanya sampai disitu, keharmonisan juga tercipta antara sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa kehadiran reforma agraria yang harus sustain maka tingkat keharmonisan tersbut akan semakin jauh, bahkan dititik tertentu akan menimbulkan konflik. Kerusakan lingkungan akan mengakibatkan pemisahan manusia dengan lingkungan phisiknya.
Sebuah harga yang mahal harus ditebus, ketidak mampuan menjaga lingkungan memaksa manusia menciptakan life space, keamanan personal memalui selubung phisik terdekatnya, yang selanjutnya membentuk gangguan sosial dan distrust antara masyarakat. Bisa dibayangkan reforma agraria yang sustain kondisi ini dapat berjalan akan menyelamatkan keadaan karena selama kegiatan reforma agraria tidak berjalan maka ancaman kerusakan lingkungan yang akan memisahkan manusia dari lingkungan phisiknya masih dapat menjadi kenyataan. Keberhasilan reforma agraria dapat meningkatkan manusia menjaga lingkungannya.
Belajar dari pengalaman buruk lumpur Lapindo, dapat dianalisis kerusakan lingkungan yang dapat diamati hancurnya tanah tempat peradaban manusia baik bermukim dan bertani serta aktivitas perekonomian lainnya telah memisahkan manusia dari lingkunganya. Hal ini dapat dilihat secara nyata dan proses musnahnya tanah di Sidoarjo terjadi secara perlahan dan pasti. Sehingga teori simbolisme lingkungan dapat diamati secara langsung.
Industrialisasi yang dibangun di Indonesia khususnya Jawa Timur membutuhkan energy dan bahan baku untuk produksi. Hal ini mendorong buruknya kualitas lingkungan sekitar kawasan industri, rakyat sekitar kawasan industri menerima dampak negatif, umumnya mereka adalah rakyat kaum bawah, sedangkan kelas atas menerima keuntungan industri dan mereka memiliki kemampuan untuk memilih lingkungan yang jauh dari industri dan lebih baik. Sekali lagi keserakahan manusia mengeksploitasi alam khususnya membangun sumur gas untuk kebutuhan industri telah membawa malapetaka bagi rakyat kecil, para penduduk, petani dan pekerja di Sidoarjo mendapatkan dampak yang sangat merugikan. Industrialisasi melahirkan resiko yang tidak terbatas ruang dan waktu. Sekali terjadi kesalahan maka hasilnya adalah rakyat kelas bawah menerima akibatnya mulai dari kehilangan mata pncaharian, harta berharga sampai kehilangan peradaban kehidupannya sedangkan elit kelas atas relatif terlindungi meski mereka yang dianggap penyebabnya. Pemilik Lapindo tetap aman-aman saja tidak terjangkau pengaruh buruk semburan Lumpur lapindo, bahkan beban kerusakan lingkungan dilimpahkan kepada negara, seandainya terjadi keuntungan dari proses Industrialisasi belum tentu Lapindo mau berusaha memberikan keuntungannya selain pajak kepada negara.



Rujukan :
Arulpragasam, L.C. 1985. ‘ Demand site’ Technology. Ceres 18 (6): 27-31
Farrell, K. 1985. Our pilicies have been strong incentives for produser to employ technologies that sometimes have adverse enviromental effects. Ceres 18 (6): 45-46
Ghildyal, B.P. 1984. Rethinking soil physics research. J. Indian Soc. soil Sci.32 : 556-574

Glaeser, B and V. Vyasulu. 1994. The Obsolescence of ecodevelopment. Dalam ecodevelopment : consepts, projects, strategies. Pergamon press, Oxfords. pp.1-6

Lowe, R.G. 1982. The deadline of the African peasantry. Ceres 15 (6): 36-39

Malik, S.L. 1986. Human ecology : biologycal. Dalam Aspects of Human Ecology. Northern book Center New Delhi. pp 1 - 45

Reforma Agraria untuk Kemakmuran Rakyat Indonesia

Reforma Agraria untuk Kemakmuran Rakyat Indonesia

I. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sumber daya alam. Kekayaan tersebut sangat bernilai ekonomi karena bersifat langka dimana tidak semua negara memilikinya, pada awalnya dinikmati penduduk pribumi sampai pada akhirnya bangsa asing tertarik menikmati. Belanda yang pada awalnya berniat berdagang datang ke Nusantara akhirnya tergoda untuk untuk menjajah negara yang kaya akan kekayaan alam. Ratusan tahun lamanya pemerintah penjajah Belanda menikmati kemakmuran dari mengeksploitasi alam Nusantara. Struktur pemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria sangat timpang khususnya tanah dimana pada pemerintah Belanda mengeluarkan produk hukum berupa Agraris Wet yang sangat merugikan kaum bumiputera. Selama masa penjajahan Belanda mayoritas penduduk pribumi mengalami kemiskinan yang hebat dan kelaparan.
Akhir Perang Dunia Kedua Indonesia merebut merdeka dan pemerintah penjajah Belanda dipaksa mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Para pendiri negara melihat sebagai bangsa yang bercorak kehidupan perekonomian agraris di tengah alam yang subur, alam yang kaya ternyata mayoritas penduduknya tetap miskin pasca kemerdekaan.
Kemiskinan mayoritas penduduk akibat ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Masih banyak tuan tanah dan perkebunan besar milik asing yang memiliki tanah luas secara berlebihan sedangkan para petani yang jumlahnya banyak hidup dari tanah garapan tuan tanah atau bekerja diperkebunan asing meskipun mereka bekerja keras tidak bisa meningkatkan kemakmurannya akibat tidak memiliki tanah (faktor produksi) untuk dikelola mereka dalam keluar dari jerat kemiskinan.
Asumsi di atas telah menggerakkan Pemerintah untuk melakukan serangkaian kegiatan yang dinamakan program Land Reform. Program ini telah memiliki landasan Undang-Undang yang disahkan tahun 1960 yaitu Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Prp Nomor 56 Tahun 1960 tentang Batas Maksimun Kepemilikan Tanah. Land Reform sebagai keputusan politik pemerintah telah mendapat dukungan dari Organisasi tani dan partai-partai politik yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan di atas.
Bergantinya kekuasaan Presiden Sukarno kepada Suharto yang ditandai kudeta dan pembantaian antar sesama anak bangsa telah membawa cita-cita memakmurkan rakyat tani dengan program landreform terkubur selama masa rejim ini berkuasa. Kekuasaan mengakhiri bulan madunya dengan mayoritas rakyat. Selama rejim Orde Baru berkuasa proses kemiskinan kaum tani semakin hebat, dengan selubung menaikkan kehidupan kaum tani program Revolusi Hijau dijalankan untuk menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi, angka-angka statistik menunjukkan peningkatan panen dan PD dari sektor pertanian menyumbang tingkat pertumbuhan ekonomi tetapi kaum tani (buruh tani, petani penggarap dan tani pemilik lahan kecil) mengalami kemiskinan yang hebat. Jurang kemiskinan semakin besar karena Revolusi Hijau hanya menguntungkan bagi pemilik modal (perusahaan pupuk ,bibit, pestisida). Tersedianya pangan yang murah hanya membela masyarakat kota. Petani tetap miskin dan maraknya konflik tanah dengan pemodal (perkebunan, pertambangan dan pengembang perumahan) telah menggusur rakyat keluar dari tanahnya dan semakin miskin.
Babak baru Reforma Agraria kembali membuka harapan dengan terbitnya TAP MPR Nomor IX tahun 2001, yang akan dipaparkan pada pembahasan dimana keputusan politik kembali diaplikasikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

II. Landasan Teori
Beberapa cara pandang dan landasan teori yang tertuang dalam tulisan ini terdiri atas dan teori ekonomi dan ekonomi politik, antara lain :
· Konsentrasi ilmu ekonomi berbicara alokasi sumber daya. Dalam tulisan ini menguraikan tentang sumber daya tanah bersifat langka, kelangkaan ini Bagaimana sumber daya digunakan dapat memaksimalkan keuntungan, maka dilakukan secara efisien.
· Dalam fenomena pasar, terjadi kegiatan penawaran dan permintaan. Berdasarkan teori permintaan dan penawaran, maka nilai tanah ditentukan hasil kesepakatan permintaan dan penawaran. Kondisi nyata yang terjadi adalah dari sisi penawaran akan sulit menambah jumlah tanah yang ditawarkan tetapi permintaan akan tanah semakin bertambah akibat perkembangan jumlah penduduk, hal ini mengakibatkan harga tanah menjadi mahal dari waktu ke waktu.
· Perilaku manusia ekonomi cenderung memaksimalkan memanfaatkan atau utilitas untuk dirinya sendiri karena kelangkaan sumberdaya yang dimilikinya.
· Cara pandang ekonomi, tanah adalah salah satu faktor produksi.
· Teori Pareto Maksimum, dimana kondisi seseorang hanya dapat meningkatkan kesejahteraanya dengan merugikan orang lain.
· Teori Pilihan Publik sebagai perspektif untuk bidang sosial dan politik yang lahir dari pengembangan dan penerapan perangat dan metode ilmu ekonomi

III. Pembahasan
A. Cara Pandang Ekonomi
Kemiskinan di Indonesia bukanlah sebuah untaian kata-kata yang mengalun dalam ruang seminar, ruang kerja dan diskusi-diskusi para politisi, akademisi atau segenap komponen bangsa. Kemiskinan hadir di ruang nyata dan daerah pedesaan lebih parah kondisinya daripada daerah perkotaan. Ketimpangan pemilikan tanah di desa yang dimiliki oleh tuan tanah, begitu eksploitasi terhadap buruh tani, mereka tidak memiliki nilai tawar di hadapan tuan tanah. Dengan cerik tuan tanah memanfaatkan secara maksimalisasi sumber daya yang langka berupa tanah untuk memingkatkan keuntungan. Terjadilah Pareto Maksimum, dimana jurang kemiskinan semakin luas antara buruh tani dengan tuan tanah karena untuk meningkatkan kesejateraan tuan tanah hanya bisa dilakukan dengan merugian buruh tani. Oleh karena itu Dari sisi pandang ekonomi akan dicoba dipaparkan Pemerintah Republik Indonesia berusaha meningkatkan martabat dan kehidupan perekonomian rakyat khususnya kaum tani sebagai langkah mengisi kemerdekaan dengan melaksanakan penataan sumber daya agraria khususnya tanah sekaligus memberikan akses bibit, pupuk, teknologi, perlindungan pasar dan lain-lain kepada petani. Kegiatan ini bertujuan agar para petani penggarap, buruh tani dan petani kecil memiliki tanah sebagai faktor produksi pertanian untuk dikelola agar mendapat meningkatkan pendapatan yang pada gilirannya meningkatkan kemakmuran kaum tani. Tanah sebagai faktor produksi yang mutlak bagi petani tanpa memiliki tanah yang cukup untuk dikelola maka kemampuan produksi hasil pertanian tidak akan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pemilikan tanah (faktor produksi) secara signifikan menaikkan hasil panen yang cukup untuk dikonsumsi dan kelebihannya disimpan selama masa menunggu panen berikutnya serta sisanya dijual menjadi tabungan. Kondisi surplus ini meningkatkan taraf hidup kaum tani. Semakin besar hasil panen dan berbading lurus dengan tingkat kemakmuran kehidupan kaum tani.
Secara makro, pasca Reforma Agraria selain kemakmuran kaum tani, negara dapat melakukan subsitusi impor hasil-hasil pertanian. Pasar hasil pertanian dalam negeri seperti beras, kedelai, gula, buah-buahan dan banyak lainnya selalu kekurangan sehingga dibutuhkan impor, dengan Reforma agraria ketahanan pangan tercapai dan pemerintah dapat menghemat biaya impor sehingga negara memiliki cadangan devisa yang besar (substitusi import). Pengembangan teknologi pasca panen dapat didorong dan dikembangkan sebagai strategi (outward looking) untuk ekspor sektor pertanian dapat meningkatkan penerimaan devisa yang dibutuhkan sebagai bamper (buffer).
Kondisi di atas telah mendorong modernisasi sektor pertanian dan devisa yang diperoleh dari ekspor dapat mendukung saat proses lepas landas (take off) sesuai teori Rostow sehingga rakyat Indonesia memasuki fase kedewasaan sebelum konsumsi tingkat tinggi.
Cita-cita mulia ini dapat membawa negeri tercinta tidak lagi dalam posisi pingiran (pheriferi), cepat atau lambat mendekati posisi negara Inti. Reforma Agraria dapat memotong ketergantungan (Teori Dependensi) dari negara penjajah atau negara maju untuk memulai pembangunan secara berdikari dimulai sektor pertanian, teknologi pertanian (sebelum dan pasca panen), lalu menjadi Industri dan Jasa yang landasannya adalah Reforma Agraria.
Rakyat Indonesia yang mayoritas petani (teori Regulasi Ekonomi) akan mendapatkan manfaat walaupun sepintas Teori Optimal Pareto tidak tercapai karena ada golongan tuan tanah yang dirugikan tetapi untuk jangka panjang golongan ini memperoleh kompensasi karena ruang ekonomi non pertanian telah terbuka untuk mereka isi.

B. Keputusan Politik yang Dilakukan
Terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Prp Nomor 56 Tahun 1960 tentang Batas Maksimun Kepemilikan Tanah. Land Reform sebagai keputusan politik pemerintah telah mendapat dukungan dari Organisasi tani dan partai-partai politik yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan di atas.
Kegiatan Landreform yang baru dijalankan pada tahun1960 belum sempat menata struktur ketimpangan agraria (tanah) seperti tanah kelebihan maksimum yang dimiliki tuan tanah, tanah-tanah bekas perkebunan asing yang hak-hak(hak barat) telah dihapus, tanah absentee (tanah dimana pemiliknya tidak tinggal dikecamatan yang sama). Suasana politik yang kacau pada tahun 1965 membuat proses Landreform macet, bahkan pemerintah Presiden Sukarno dipaksa turun. Komponen – komponen politik yang berpihak kepada rakyat dan sebagian besar berada dalam barisan pendukung/simpatisan politik Presiden Sukarno menjadi sasaran pembersihan penguasa Orde Baru (ORBA).
Pemerintah Orde Baru (ORBA) tidak meneruskan kegiatan Landreform, sebagai gantinya dibuatlah program Revolusi Hijau yang bertujuan menaikkan kehidupan kaum tani tanpa melakukan penataan struktur pemilikan tanah yang timpang. Selama 32 tahun Orde Baru (ORBA) berkuasa ternyata nasib kaum tani tidka mengalami perbaikan bahkan cenderung memburuk dengan semakin sedikitnya kaum tani yang memiliki tanah sendiri, sebagian tanah telah berpindah kepada pemilik modal, banyaknya tanah yang beralih fungsi diluar bidang pertanian semakin menjepit kehidupan petani dan ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah semakin besar dari saat pemerintahan Presiden Sukarno. Setelah rejim Orde Baru ditumbangkan akibat kegagalan dalam kontrak sosial dengan rakyat, maka semangat untuk kembali kepada keputusan politik tentang Reforma agraria yang sebenarnya adalah Land reform plus akses reforma karena konteks tahun 2001 berbeda dengan tahun 1960.
Sebagai antitesa kebijakan politik Orde Baru (ORBA), pemerintahan dimasa Reformasi berusaha mengembalikan tujuan mulia Landreform dengan disesuaikan perubahan jaman. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan keputusan politik berupa Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan yang harapannya kehidupan kaum tani bisa menjadi sejahtera. TAP ini menugaskan pemerintah untuk :
· Melaksanakan Landreform dan memberikan akses reform (teknologi, pasar, proteksi)
· Mengkaji peraturan perundang-undangan yang timpang tindih
· Melakukan penataan pengunaan tanah
Segenap bangsa Indonesia, baik suprastruktur politik ( eksekutif, legislatif, yudikatif) maupun infrastruktur politik (partai politik, LSM, organisasi massa rakyat) harus mendukung Reforma Agraria atau semakin hari bangsa ini semakin tergantung asing, makin terpinggirkan.

IV. Rekomendasi
Mayoritas penduduk Indonesia adalah petani, dalam iklim demokratisasi yang sedang berlangsung, mereka akan menentukan arah tujuan pembangunan dengan melakukan pertukaran politik lewat pemilu. Oleh karena itu elit politik menawarkan program Reforma Agraria untuk mengakomodir maksimalisasi kepentingan rakyat sekaligus rakyat akan memilih elit politik yang memperjuangan kepentingannya. Keputusan politik di atas memberikan rekomendasi seperti yang tertuang dalam TAP MPR Nomor IX Tahun 2001, agar Pemerintah melaksanakan kegiatan Reforma Agraria sebagai kegiatan strategis perintah yang bertujuan agar tercipta kemakmuran rakyat yang sejati.
Program yang diturunkan dari kegiatan strategis Reforma Agraria dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Program ini menjadi prioritas dalam terdokumnetasi Renstra 2007-2009 BPN RI. Untuk beberapa daerah sudah dilakukan kegiatan PPAN, mengingat kelangkaan sumber daya organisasi dan pemerintah maka prioritas adalah daerah yang paling timpang struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T).
Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
· Mengkaji ketimpangan antar peraturan dibidang agraria (pertanahan)
· Menginventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T)
· Menentukan dan memutuskan tanah yang termasuk Tanah obyek Landrefrom (TOL) yaitu tanah-tanah terlantar, kelebihan maksimum dan tanah absente
· Menyusun kriteria subyek reforma agraria dan menentukannya bersama-sama organisasi tani yang benar-benar satu haluan ideologi dengan BPN RI. Organisasi tani tersebut memiliki nilai yang mendkung pelaksanaan PPAN
· Membagikan/meredistribukan tanah obyek landreform kepada petani sesuai kriteri
· Membuka akses reform kepada petani penerima manfaat reforma agraria, yaitu akses terhadap pupuk, bibit, pestisida, irigasi, teknologi, pasar dan perlindungan serta akses lain yang berguna untuk meningkatkan kemakmurna kaum tani
· Memberdayakan petani dan kelembagaannya dengan memfasilitasi mereka dengan membuka serangkaian kerja sama yang dibutuhkan petani dan kelembagaannya, BPN menjadi fasilitator seperti terhadap lembaga perbankan, perusahaan perkebunan skala besar, pemda dan lain-lain
· Meningkatkan pembinaan partisipasi rakyat dan kelembagaannya dalam mensukseskan kegiatan PPAN, tanpa partisipasi maka kegagalan sudah di depan mata. BPN RI menganut paradigma bahwa rakyat itu yang paling paham akan kebutuhannya, sehingga peran-peran fasilitasi dan bina partisipasi sebagai ujung tombak keberhasilan




o.o.o Medeka 100%, Naar de Republik 1926 o.o.o

Senin, 08 September 2008

PILIH MAHIR TAKAKA UNTUK DPD SULSEL

PILIH MAHIR TAKAKA UNTUK DPD SULSEL 2009-2014

Saya mengajak segenap kawan-kawan yang mau suaranya tidak sia-sia oleh calon seperti kucing dalam karung agar menyuarakan haknya kepada MAHIR TAKAKA UNTUK DPD SULSEL 2009-2014.
Jika kawan-kawan percaya sama saya, maka rekomendasi saya adalah pilih MAHIR TAKAKA, karena calon-calon yang lain belum tentu sedekat kita dengan bung MAHIR TAKAKA, calon yang mapan biasanya hanya butuh kita 5 tahunan saja lalu lupa, garansi saya kepada kawan-kawan, BUNGA MAHIR TAKAKA berasal dari kita, oleh karena suara kita bisa terus mewarnai DPD........
VOTE MAHIR TAKAKA UNTUK DPD SULSEL 2009-2014

Minggu, 07 September 2008

Renstra BPN RI 2007-2009 Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Dasar Rakyat

Latar Belakang
Sebagai negara agraris sudah dapat dipastikan mayoritas penduduk Negara Indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Ironis jika terjadi Bencana kelaparan dan malnutrisi merupakan rural phenomenon, padahal sekitar 80 % manusia lapar di dunia ini tinggal di daerah pedesaan. Bencana kekurangan pangan hampir selalu terjadi di pedesaan tempat bahan pangan dihasilkan sedangkan di perkotaan selalu tersedia aneka ragam bahan pangan meskipun tidak ditemukan lahan pertanian. Perang dan bencana alam terkadang menyebabkan kekurangan pangan namun sebagian besar bencana kekurangan pangan pada dasarnya disebabkan oleh alasan-alasan buatan manusia (lihat Piere Spitz, 1979).
Kebijakan Pemerintah Orde Baru dari awal memang sudah salah karena tidak menjadikan masalah agraria sebagai basis pembangunan. Semboyan berdaulat dalam politik dan berdikari dalam perkonomian telah dilupakan. Arsitek pembangunan Orde Baru yang umumnya dinamakan mafia Barkeley mengedepankan teori modernisasi dalam kebijakan pembangunan. Pengejaran pertumbuhan ekonomi menjadi ambisi pemerintah Orde Baru. Kegiatan perekonomian diserahkan kepada segelintir orang yang berharap akan ada hasil menetes ke bawah, rakyat hanya menjadi penonton saja tidak dilibatkan sebagai aktor pembangunan. Dampaknya dapat dilihat dengan semakin timpangnya jurang kemiskinan, ancaman ketahanan pangan, kerusakan lingkungan, mental korupsi, kehidupan politik berjalan secara otoriter, pelaku perekonomian hanya mengejar perburuan rente dan ketimpangan struktur pemilikan tanah seiring munculnya konflik pertanahan yang membawa korban jiwa dari kaum tani. Tingginya angka pertumbuhan ekonomi yang tidak terdistribusi secara merata membawa dampak munculnya kelompok masyarakat marjinal yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dan pemerintah masa itu terkesan melakukan pembiaran meski konstitusi telah menjamin hak dasar rakyat khususnya tanah.
Rapuhnya landasan perekonomian akibat Pemerintah Orde Baru tunduk kepada kekuatan asing, lebih mengutamakan modal asing dan bantuan asing. Tujuan negara dikesampingkan demi melayani kepentingan asing, rakyat kebanyakan menjadi korban akibat politik rumah terbuka yang membuat kekuatan modal asing masuk mendesak rakyat mengakibatkan keadaan seperti keadaan di atas.
Pasca Keruntuhan Rezim Orde Baru yang ditandai peralihan kekuasaaan Rezim Orde Baru ke Reformasi membawa secercah harapan adanya perubahan. Di bawah ini akan dijelaskan bagaimana pemerintah pasca Orde Baru menjalankan strategi pembangunan untuk menperbaiki kebobrokan pembangunan Orde Baru, pemerintah hasil pemilu 2004 cq. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mencoba melakukan serangkaian perubahan yang dapat dilihat dalam Renstra BPN RI tahun 2007-2009.

Tujuan Pembangunan
Amanat konstitusi menegaskan agar politik dan kebijakan pertanahan diarahkan mewujudkan “ tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Arah kebijakan pembangunan harus sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yang didasarkan atas visi Negara Indonesia, yaitu : “ mewujudkan negara kebangsaan Indonesia modern yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta sejahtera dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan dan persatuan berdasarkan Pancasila dan UD 1945.
Tujuan utama renstra tersebut adalah peningkatan kesejahteraan rakyat serta penciptaan struktur sosial dan tatanan politik nasional yang lebih kokoh dimasa depan. Sejalan dengan amanat konstitusi di bidang pertanahan menuntut agar politik dan kebijakan pertanahan dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sesuai amanat Sila kelima Pancasila dalam pembukaan UUD 1945) dan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Nilai-nilai dasar inilah yang mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, terutama tanah. Sebagai negara yang bercorak agraris Tanah adalah kehidupan. Terbukanya akses rakyat terhadap tanah dan kuatnya hak rakyat atas tanah, maka kesempatan rakyat untuk memperbaiki sendiri kesejahteraan sosial-ekonominya akan semakin besar. Martabat sosialnya akan semakin meningkat. Hak-hak dasarnya akan terpenuhi. Rasa keadilan rakyat sebagai warganegara akan tercukupi. Harmoni sosial akan tercipta. Kesemuanya ini akan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Jaminan kebutuhan dasar rakyat atas tanah yang telah bermetamorfosis menjadi hak dasar rakyat masih dijamin dalan TAP MPR No. IX tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UU no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Perpres No. 10 Tahun 2006 mengenai Badan Pertanahan Nasional RI merupakan bentuk penguatan kelembagaan pertanahan nasional untuk mewujudkan amanat konstitusi dalam bidang pertanahan.
Usaha untuk membumikan amanat konstitusi diturunkan melalui misi BPN RI untuk peningkatan kondisi kehidupan dapat dilihat dari:
Sisi ekonomi adalah peningkatan kesejateraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan.
Sisi lingkungan phisik, peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) mengurangi kerusakan sumber daya tanah dan menjaga lingkungan hidup tetap lestari.
Sisi sosial, perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan pernagkat hukum dan sistem pengelolaan pertanhan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara dikemudian hari.
Sisi politik, menguatkan kelembagaan pertanahan sesuai jiwa sengata, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPA dan aspirasi rakyat secara luas
Sisi budaya, keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat

Sasaran Pembangunan
BPN RI melakukan dukungan politis dan teknis pertanahan melalui ketersediaan lahan pertanian yang memadai dalam rangka pemantapan ketahanan pangan, sehingga kebutuhan pangan dapat terpenuhi. Kegiatan konsolidasi tanah (land consolidation) sebagai bagian dari Program Pembaruan Agaria Nasional (PPAN) diperkotaan dan perencanaan penggunaan tanah untuk perumahan dapat memberikan akses tanah untuk kebutuhan dasar akan perumahan terpenuhi.
Untuk mengejar terciptanya kehidupan yang bermartabat, dalam renstra dapat dilihat dengan usaha untuk menciptakan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, dimana akses rakyat terhadap sumber penghidupan secara simultan terus dilakukan agar semakin banyak akses sumber penghidupan rakyat. Bahkan akses yang seluas-luasnya terhadap tanah juga dipikirkan akan diberikan pada generasi yang akan datang. Adanya semangat kebebasan dalam menentukan pilihan terhadap akses pertanahan bagi tiap warga negara baik laki-laki dan perempuan dijamin kebebasannya memiliki tanah dan mengolahnya di seluruh wilayah Republik Indonesia tanpa boleh dihalangi. Aspirasi rakyat secara luas adalah semangat dan prinsip dalam penguatan kelembagaan pertanahan. Oleh karena itu partisipasi rakyat menjadi bagian penting dan unsur utama yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Rapat kerja dengan komisi II DPR RI salah satu partisipasi rakyat yang dititipkan lewat wakilnya, hasil rekomendasi dengan DPR adalah bahan melakukan keputusan. Masih ada lagi saluran lain untuk memfasilitasi partisipasi dengan melakukan public hearing agar keputusan yang dikeluarkan berdasarkan partisipasi rakyat.

Sarana Pembangunan
Perluasan/perbaikan akses produksi kebutuhan hidup didekati dengan kegiatan penciptaan sumber-sumber baru kehidupan rakyat dan perbaikan akses produksi kehidupan disektor pertanian bagi petani dapat dilakukan dengan penataan ketimpangan P4T sehingga kemampuan produksi dapat ditingkatkan terutama kebutuhan pangan yang pada akhirnya tercukupinya kebutuhan pangan serta pemantapan ketahanan pangan.
Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertipikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia. Rakyat dapat mengakses kebutuhan informasi, kepastian hukum atas aset dan akses produksinya. Perbaikan layanan hidup dilakukan dengan memutakhirkan data-data pertanahan melalui kegiatan teknis rutin dan menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik diseluruh tanah air sehingga kualitas layanan publik dapat segera terpenuhi.
Membangun sistem informasi dan manajemen pertanahan nasional (SIMTANAS) dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia demi terwujudnya dukungan administrasi pertanahan. Rakyat secara aktif dapat memberikan informasi tentang pertanahan ke kantor lurah, camat dan PPAT dalam rangka memberikan dukungan administrasi sehingga SIMTANAS dapat dijadikan rujukan data pertanahan.


Dasar Teori Kebutuhan Dasar
Konstitusi menjamin hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, sejalan dengan ILO (1976), kewajiban negara diturunkan dalam kegiatan Proyek Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) dimana semakin terbukanya akses rakyat terhadap tanah maka penciptaan lapangan pekerjaan di sektor pertanian yang dapat mengurangi pengangguran
Hak dasar itu sudah given, dijamin konstitusi dan Tuhan namun jangan bermimpi tanpa usaha hak dasar tersebut dapat dipenuhi, bahkan diperlukan perjuangan untuk memperolehnya. Pemenuhan Hak Dasar bagi warga negara dapat dilihat dari renstra BPN RI 2007-2009 peningkatan ketahanan pangan, maka hak dasar terhadap akses pangan bagi rakyat akan terbuka. PPAN membuka akses kesempatan bekerja dan berusaha telah terpenuhi. Semua warga negara bahkan generasi akan datang diberikan akses terhadap tanah seluas-luasnya. Pertanahan mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh Indonesia akan membawa pada kondisi rasa aman. Akses partisipasi rakyat menjadi bagian penting dan unsur utama yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Akses terhadap sumber daya alam terutama tanah dan lingkungan hidup yang baik dipenuhi dengan pencarian sumber-sumber baru dan penataan P4T agar tidak terjadi kerusakan sumber daya tanah dan lingkungan.

Pembangunan Manusia dan MDGs
Ketahanan pangan membuat kelaparan tidak menjadi ancaman bagi kemanusiaan, sehingga angka kehidupan semakin tinggi. Adanya kesamaan renstra BPN RI 2004-2009 dengan MDGs adalah mengurnagi kemiskinan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan serta peningkatan ketahanan pangan. Keberlanjutan lingkungan hidup dilakukan dengan penataan P4T untuk akses seluas-luasnya bagi generasi yang akan datang (suistainability)


Komponen Human Development dalam renstra BPN RI (2007-2009)
Membuka sumber-sumber baru bagi kemakmuran, maka setiap orang dimampukan meningkatkan produktivitasnya, sehingga partisipasinya dalam menciptakan pendapatan dan memperoleh imbalan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. (produktivity)
Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan (setiap warga negara memiliki akses yang sama) dan bermartabat dalam kaitannya dengan P4T (equity)
Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistem kemasyarakatan,kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat (suistainability)

Permasalahan dalam pencapaian
Hak dasar rakyat dikelompokkan menjadi dua : given (dijamin UUD 1945 dan Tuhan) dan Rights ( hak-hak yang diperjuangkan). Kondisinya, bahkan hak dasar yang terberi dari Tuhanpun tak terpenuhkan bagi rakyat. Adanya eksploitasi manusia terhadap manusia bermotif ekonomi dan politik. Selama negara dan pemerintah berpihak kepada rakyat maka hak dasar dapat terpenuhi namun jika pemihakan kepada pemodal maka disitulah muncul permasalahan dalam pencapaiannya

Rabu, 03 September 2008

Pemerintah Memberontak kepada Negara

Pemerintah tidak identik dengan Negara. Sudah jelas bahwa Negara Indonesia dibentuk untuk melayani rakyat yang juga salah satu unsur pembentuk negara. Dalam proses perjalanan sejarah RI wacana pemberontak selalu ditujukan kepada Rakyat yang tidak puas. Jika kita jeli melihat permasalahannya dapat dianasilis penyebab ketidakpuasan. Pemerintah yang berjalan sesuai konstitusi tentu tidak menghasilkan penyebab ketidakpuasan.
Pemerintah yang tidak konsisten menjalankan roda pemerintahan sesuai pembukaan UUD 45 maka pemerintah sudah memberontak kepada Negara. Jika pilihan kebijakan pemerintah dalam pembangunan lebih merugikan rakyat makan pemerintah sudah memberontak kepada Negara, Rakyat yang seharusnya menjadi prioritas dalam bentuk negara Republik, diluar kondisi itu, misalnya Pemerintah lebih berpihak kepada sektor swasta dan merugikan kepetingan rakyat, bisa dikatakan Pemerintah MENGKUDETA RAKYAT sekaligus memberontak kepada Negara.
Agar pemerintah taat kepada negara dan tetap setia kepada rakyat sebagai pemilik sah republik maka semua mata harus memastikan roda pemerintahan sudah sesuai amanat kostitusi UUD 1945, yang hasilnya adalah terciptanya tujuan negara seperti diamanatkan dipembukaan UUD 1945.

Kebutuhan Dasar Rakyat

Sudah saatnya segala teori atau saran dari negara kapitalis ditinggalkan, ORBA yg arsiteknya dari AS dan Barat sudah gagal.
saatnya kebutuhan dasar dipenuhi oleh Negara, seperti
  1. Pangan
  2. Sandang
  3. Perumahan
  4. Pendidikan
  5. Kesehatan

Jika rakyat kenyang, cukup pakaian, perumahan terjangkau, pendidikan dan kesehatan bukan barang mewah, pemerintah sudah sukses.

Tuntutan kebutuhan dasar sudah amanat dari Pembukaan UUD 1945

Negara ini dibentuk untuk melayani rakyat itu kontrak sosialnya, jika gagal maka negara gagal, tapi diperiksa juga jangan2 pemerintah yang gagal. jika pemerintah tidak berhasil memenuhi hak dasar, artinya pemerintah melanggar konstitusi, yaaa pemerintah dapat dijatuhkan lewat parlemen atau parlemen jalanan