Kamis, 30 Oktober 2008

Antara Teori Modernisasi dan Dependensi

Teori Modernisasi Klasik

Bangsa Amerika Utara dan Eropa mendesain sebuah teori yang melibatkan ilmuwan, psikolog dan ahli-ahli sosial lainnya untuk mengatasi masalah pembangunan di negara dunia ketiga. Teori Modernisasi bernuansa Eropa sentris. Semua yang di Barat dianggap paling ideal dan negara dunia ketiga jika ingin modern harus memakai resep modernisasi ala Barat. Dengan kemampuan propagandanya, teori ini juga bertujuan membendung serbuan komunisme sejak perang dunia kedua sampai berakhirnya perang dingin, paradigma modernisasi telah diadopsi banyak negara dunia ketiga dalam melakukan pembangunan. Hal ini dipermudah karena teori ini merekomendasikan perlunya bantuan bagi negara berkembang dalam bidang ekonomi, tehnologi dan para ahli dari Amerika. Kemiskinan dan keterbelakangan di negara ketiga disebabkan faktor internal (budaya dan kultur) yang diidentifikasikan sebagai nilai-nilai tradisional. Budaya dan kultur di negara dunia ketiga dianggap sebagai penghambat terjadinya perkembangan masyarakat menuju modern. Warisan pemikiran teori modernisasi yaitu teori evolusi yang menggambarkan perkembangan dan perubahan sosisal merupakan gerakan searah dan seperti garis lurus. Masyarakat berkembang dari tradisonal menuju modern. Teori evolusi juga beranggapan perubahan secara lambat dan bertahap. Untuk perbaikannya perubahan harus menyentuh kultur dan struktur meninggalkan nilai-nilai tradisional dan mengadopsi nilai modern (Barat) hal inilah yang disebut modernisasi.
Beberapa ahli melakukan kajian antara lain dari sisi dimensi sosiologis, modernisasi menekankan pada perlunya diferensiasi struktural, masyarakat hanya menjalankan satu fungsi saja yang lebih khusus. Hal ini akan meningkatan fungsional kelembagaan dan meningkatkan efisiensi dan efektif dalam mencapai tujuan (Smelser, 1969). Dari sisi ekonomi, ada lima tahapan pembangunan ekonomi yang dialami negara maju, sehingga negara berkembang juga harus melewati tahapan tersebut. Fase yang kritis adalah fase lepas landas (Rostow, 1960). Transformasi ekonomi dapat berjalan dengan baik jika ada pembentukan modal untuk investasi, jika hal ini tidak ditemui di dalam negeri makan modernisasi menganjurkan bantuan dana pembangunan bagi negara berkembang untuk menggerakkan investasi. Sisi dimensi psikologis, modernisasi membutuhkan motivasi kebutuhan atau kebutuhan berprestasi, semakin tinggi kebutuhan berpretasi semakin modern suatu negara begitu juga sebaliknya. Dengan tingginya kebutuhan berprestasi akan menghasilkan kelompok wiraswastawan yang akan menggerakkan ekonomi modern (McClelland, 1964).
Melihat kondisi di atas maka implikasi dari kebijakan pembangunan adalah :
Secara implisit pebenaran hubungan kekuatan yang bertolak belakang antara masyarakat modern dan tradisional. Amerika Serikat dan Eropa sebagai negara maju, maka dijadikan sebagai model/panutan pembangunan. Negara dunia ketiga sebagai negara tradisional, miskin dna terbelakang
Ideologi komunisme sebagai ancaman pembangunan negara dunia ketiga
Modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang perlunya bantuan asing khususnya dari Amerika Serikat.

Hasil pembangunan saat diimplementasikan adalah menguatnya pembangunan ekonomi sebagai arus utama (main-stream) dari proses modernisasi. Ideologi pembangunan adalah pertumbuhan yang tinggi, efisiensi dan kompetisi. Ukuran kesuksesan pembangunan adalah angka-angka GDP, devisa negara, tingkat pertumbuhan dan lain – lain, dimana kenaikan angka tersebut dapat diartikan suksesnya pembangunan. Rakyat hanya penonton saja berharap dari tetesan yang mengalir dari atas, aktor utama adalah pemerintah, lembaga pembangunan asing, konsultan asing dan perusahan MNC.
Realitasnya pembangunan ini banyak gagal dibanyak negara berkembang khususnya Indonesia yang pada masa Orde Baru dengan mentah-mentah menelan obat modernisasi sebagai main-stream pembangunan. Hasilnya kemiskinan tidak berkurang, kerusakan alam yang luas, hutang luar negeri yang banyak, pengangguran meningkat, munculnya kediktatoran yang mengawal modal baik asing dan pengusahan lokal pemburu rente. Kritik yang muncul adalah:
Negara dunia ketiga harus meniru Barat. Hal ini adalah gejala etnosentris yang meletakkan negara dunia ketiga sebagai negara tradisional/primitif sedangkan negara maju/modern adalah negara Barat. Pelabelan ini sarat ideologis yang mengesahkan superioritas Barat
Teori Modenisasi mengabaikan kemungkinan dunia ketiga mencari dan mengembangkan alternatif pembangunannya sendiri
Para peneliti teori modernisasi terlalu optimis

Kritik ideologis lebih dalam lagi menyikapi, teori modernisasi adalah baju ilmiah yang dipakai Amerika Serikat untuk menutupi ideologi yang disembunyikan dibaliknya. Ideologi modernisasi menjadi senjata Amerika Serikat menghantam komunisme selama masa perang dingin. Teori ini juga melegalkan dominasi asing dengan bantuan uang, modal dan teknologi seakan melupakan sejarah bahwa negara dunia ketiga baru lepas dari jeratan kolonialisme yang dilakukan negara-negara Eropa. Dimana keterbelakangan negara dunia ketiga ditenggarai akibat politik kolonialisme. Hal ini dapat dilihat banyak negara sebelum mengalami kolonialisasi dadalah negara maju dan kaya, semenjak dijajah lama-lama menjadi miskin dan terbelakang sementara itu negara penjajah mengalami kemajuan yang pesat dan hidup dalam kemakmuran. Hal yang sangat ironis. Tiba-tiba negara bekas penjajah menjadi malaikat penolong bagi negara bekas jajahannya, saat kemerdekaan harus direbut secara paksa.
Teori Modernisasi Baru
Teori ini melihat interaksi nilai tradisional dengan nilai Barat, serta peran nilai tradisional dalam proses menunjang modernisasi. Di sini nilai tradisional yang selama ini sebagai penghambat pembangunan menurut teori modernisasi telah diakui sebagai hal penting dan tidak diposisikan sebagai dua hal yang saling bertentangan. Nilai tradisional tidak harus untuk ditinggalkan oleh negara dunia ketiga bahkan dianggap sebagai hal positif bagi pembangunan.
Peran nilai tradisional kembali direvitalisasi, pendekatan di atas banyak dipengaruhi dengan konsep baru seperti usaha familisme, teori barikade dan budaya lokal. Hubungan nepotisme yang diteliti di Hongkong ternyata nilai tradisional familisme mampu mendorong pembangunan ekonomi (Wong, 1988). Di Indonesia budaya tradisional merupakan hal dinamis dan selalu mengalami perubahan. Oleh karena itu budaya tradisional tidak menghalangi proses pembanguna (Dove, 1988).
Teori modernisasi baru kembali melihat peran sejarah, memberikan perhatian yang lebih terhadap keunikan dari proses pembangunan yang diamati. Apa yang diamati Wong belum tentu bisa dijelaskan dengan hal serua di Korea, Jepang dan negara dunia ketiga lainnya. Sejarah perkembangan dan tahapan yang dilalui pembangunan demokrasi tiap negara pasti berbeda. Proses demokrasi di Inggris dengan model linier tentu berbeda dengan proses demokrasi di Amerika Latin yang terbiasa dengan model siklus, yang ditunjukan dengan adanya pergantian secara teratur dari munculnya demokrasi dan despotisme sampai model dialektis, pemerintahan demokratis diganti diktator lalu tidka lama berganti menjadi transisi menuju demokrasi kembali seperti di Jerman, Spanyol dan Italia (Huntington, 1976).
Analisa dan pernyataan yang simplistik dihindari. Analisa dari lebih dari satu variabel lebih diutamakan dan dilakukan secara simultan terhadap berbagai pranata sosial yang ada (sosial, budaya, politik dan ekonomi), berbagai kemungkinan arah pembangunan dan interaksi antara faktor internal dan eksternal.

Teori Dependensi Klasik

Teori ini menjadi anti thesa dari pembangunan yang menggunakan teori modernisasi. Kegagalan KEPBBAL membuat kepercayaan terhadap teori modernisasi hilang. Faktor internal dari sebuah negara merupakan hal pokok yang membuat kemiskinan dan perkembangan. Paradigma dependensi melihat dari sudut yang berbeda, kemiskinan dan keterbelakangan bukan semata disebabkan faktor internal tetapi faktor eksternal berupa eksploitasi yang dilakukan negara maju terhadap negara berkembang. Maka solusi keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan bagi negara berkembang adalah memutus hubungan dengan negara maju.
Dalam teori ini ada dua kubu negara, satu kubu adalah negara pusat/metropolis dan kubu yang lain pinggiran/peri-pheri. Eksploitasi yang dilakukan negara metropolis terhadap negeri peri-pheri merupakan akar kemiskinan (Baran, 1957; Frank, 1967). Rekomendasi adalah memutus hubungan dengan dengan negara inti jika ingin terbebas dari kemiskinan dan keterbelakangan. Dimana bentuk hubungan inti-pinggiran tercipta model pembagian kerja internasional yang bersifat vertikal, negara maju yang memproduksi barang industri memiliki nilai tambah yang tinggi berbanding terbalik dengan negara pingiran yang memproduksi produk pertanian yang nilai tambahnya rendah (Prebish, 1953; Galtung, 1971). Perbedaan inilah yang membuat kemiskinan dan keterbelakangan. KEPBBAL, memberikan kritik tentang keusangan konsep pembagian kerja internasional (IDL). Kondisi ini juga yang memuluskan penghisapan surplus negara pinggiran kepada negara inti. Teori ini juga memandang bahwa kemiskinan dan keterbelakangan negara berkembang disebabkan oleh penghisapan surplus atas negara pinggiran melalui pengembalian bantuan kapital, teknologi dan SDM (Dos Santos, 1971).
Teori modernisasi dikritik sebagai cara untuk memuluskan penghisapan dari negara berkembang kepada negara maju. Semua inefisiensi negara maju dibebankan kepada negara pinggiran. Tidak hanya sampai disitu, negara yang paling dekat hubungannya dengan negara maju maka negara tersebut paling miskin dan terbelakang, meski sebelum berhubungan dengan negara inti, negara berkembang tersebut merupakan negara kaya. Kekayaan negara maju bisa dipastikan berasal dari pundi-pundi kekayaan negar apinggiran yang dihisapnya secara sistematis.
Implikasi kebijakan pembangunan dengan melakukan revolusi sosialis guna memotong hubungan dengan negara maju. Revolusi ini dibutuhkan karena elit berkuasa di negara pinggiran selama ini diuntungkan dengan pola ketergantungan dari negara maju. Elit berkuasa tersebut yang merupakan kelompok mapan (birokrat, militer, pendeta dan tokoh masyarakat) akan menghalangi pemutusan hubungan dengan negara inti, karena posisi mereka terancam. Berkaca pada pengalaman Revolusi Cina dan Kuba tanpa melewati 2 tahapan revolusi, mereka melewati tahapan Revolusi Borjuis, langsung menuju Revolusi Sosialis dan terbukti menang. Elit yang sebelumnya berkuasa lewat revolusi sosialis harus diganti oleh kekuatan rakyat tertindas. Rezim baru yang dipimpin oleh kaum tertindas akan dapat melakukan pemutusan hubungan dengan negara inti. Pelaku pembangunan bagi paradigma dependensi adalah rakyat kaum tertindas.

Teori Dependensi Baru

Teori ini lebih moderat dalam melihat hubungan penghisapan antara negara maju dan pinggiran. Rasa optimisme dari hubungan yang tergantung dapat menggeser posisi pinggiran menjadi ke tengah bahkan dapat menjadi inti (Hopskin dan Wallerstein, 1977). Tidak selamanya hubungan yang tergantung selalu merugikan negara pinggiran. Kedua belah pihak dapat mengambil keuntungan meski negara pinggiran dalam posisi tergantung masih dimungkinkan melakukan pembangunan. Hubungan inti-pinggiran bersifat dinamis tersebut tidak ditanggapi dengan negatif seperti pandangan dependensi klasik. Negara berkembang dapat mencapai kemajuan industrialisasi, proses ini disebut dependent devolopment . Teori ini merekomendasi bahwa hubungan inti-pinggiran tidak menjadi masalah sepanjang, ada harapan negara pinggiran mencapai kemajuan (Cordoso, 1973).
Elit militer dan politisi lokal yang memenangkan pertarungan politik dapat mempengaruhi ketergantungan dengan banyak memanfaatkan kerjasama modal nasional dan internasional, pola pembangunan tergantung berjalan meski mengorbankan kepentingan gerakan kerakyatan. Seperti yang ditegaskan dari penelitian Cordoso, O’Donnell dan Mas’oed.
Ketergantungan pembangunan yang dilakukan Taiwan yang diteliti Gold, ternyata membawa keuntungan dengan berhasil keluar dari krisis ekonomi. Pola ketergantungan lain yang dilakukan negara Korea Selatan yang diteliti Koo, membawa negara tersebut menjadi negara baru dijajaran negara Industri.

Senin, 13 Oktober 2008

Pembangunan Populer

Gambaran Umum

Konsep pembangunan yang dijalankan oleh Masyarakat Dunia Ketiga sangat kompleks dan beragam. Banyaknya persoalan yang muncul meski pembangunan telah mengadopsi konsep dan metode baru yang telah mendesain untuk mengatasi kelemahan yang paling serius dari perkembangan kerangka berpikir. Banyak orang mencari cara untuk memajukan kekayaan tradisi perkembangan alternatif yang telah disusun beberapa tahun belakangan ini.
Perhatian penuh terhadap kontektualitas perkembangan pada berbagai macam skala, termasuk faktor yang mempengaruhi yang komples dan berubah-ubah menyangkut urusan yang bersifat obyektif dan subyektif.

Penolakan terhadap berbagai Teori Hebat dan Prasangka Eurosentrik

Perkembangan penelitian dan ilmu pengetahuan semula membawa harapan baik ternyata berakhir dengan kekecewaan. Kelemahan yang bersifat teoritis dan praktis telah mendorong pemikiran digagas kembali mengenai konsep pembangunan.
Grand teories yang mendominasi berasal dari pemikiran lama Keynesian dan dikembangkan paradigma neo liberal telah merumuskan model valid dasar dan resmi bersifat universal bertentangan dengan pengalaman dan potensi alternatif pembangunan di negara-negara berkembang. Kecenderungan terhadap pembuatan teori besar harus ditolak karena tidak sesuai dengan analisis perbedaan dan perubahan yang membuat perkembangan menjadi ebuah proses pokok multilinear terhadap pembatas dna kesempatan yang berbeda menurut kompleksitas saling mempengaruhi baik faktor obyektif san subyektif.
Teorisasi yang hebat dan pemusatan disiplin ilmu “disiplin-centrism” sering diasosiasikan dengan Eurosentrism. Nilai-nilai barat diuniversalkan dan dihubungkan dengan kemajuan, sementara itu nilai-nilai tradisional dunia ketiga (negara-negara berkembang) diperburuk dan diikat kedalam stagnasi/kebosanan dan ketertinggalan. Dalam prosesnya nilai-nilai tradisional dan adat kebiasaan seringkali meningkatan ketegangan, ketidaktentuan dan perasaan standar yang bertentangan dengan dunia barat dengan demikian usaha untuk menghadapi segala macam masalah, hendaklah dibutuhkan perubahan struktur sosial ekonomi. Strategi pembangunan yang tepat harus memberikan perhatian penuh terhadap sejarah peninggalan yang diciptakan oleh masyarakat negara-negara berkembang terhadap faktor sosial budaya dan faktor khusus dari masyarakat tersebut dan membuat perkembangan sepanjang garis klasik dunia barat yang sangat tidak dapat dipercaya.

Penghubung antara Teori dan Praktek

Didalam pembangunan mengakibatkan makin kuatnya jurang antara teori dan praktek. Banyak penelitian yang bersifat teoritis hanya sedikit digunakan oleh praktisi pembangunan di lapangan, sementara pembangunan yang bersifat praktis sering kekurangan petunjuk atau mengulangi kesalahan dalam mengandaskan suatu teori agar lebih kokoh seperti yang diinginkan. Sementara itu, ada sebuah kumpulan kekayaan ilmu pengetahuan praktis diperoleh dari pengalaman keseharian dan pelatihan yang kurang baik dalam memberi informasi teori kepustakaan. Salah satu sumber yang bernilai dari teori perkembangan harus menjadi pengalaman perkembangan itu sendiri, sebagaimana yang dirasa dan dipraktekkan oleh berbagai macam kelompok masyarakat. Oleh karena itu, teori pembangunan harus lebih fleksibel dan responsif terhadap kondisi yang berubah Banyak masalah dunia ketiga sekarang ini menunjukkan krisis teori pembangunan hanya karena tidak tersedianya ide dan alat yang tepat untuk memecahkannya.
Penelitian harusnya mampu menerjemahkan pemahaman lain mengenai dunia ini tanpa mempertimbangkan berbagai dugaan dan konsepsi yang ada. Bertentangan terhadap banyak penelitian pembangunan, hal ini harusnya tidak diterima bahwa satu faktor (khususnya ekonomi) bersifat dominan atau proses sosial menyesuaikan diri dengan beberapa jenis antisipasi logika universal. Kemudian menjadi terang bahwa teori pembangunan harus memperdalam pemahamanya akan apa yang seharusnya menjadi ciri manusia. Hampir sebagian besar masyarakat di negara-negara berkembang, dalam hal ‘profesionalisasi’ dari pelaksanaan pembangunan, diluar dari kerangka pemikiran Eurosentris, sehingga pengaturan akan pengetahuan ini oleh golongan atas berdasarkan perhatian mereka sendiri. Akibatnya, devaluasi sumber alternatif dari ilmu yang populer telah mencegah partisipasi masyarakat secara luas didalam pembuatan keputusan pembangunan.
Perubahan manusia kepada pengantar terhadap pembangunan mereka sendiri, yang mana harus menjadi titik lokal dari setiap strategi pembangunan demokratis yang lebih luas, telah diperlambat oleh teori eksklusionari dan penganut faham elit. Pada saat yang sama, para ahli teori dicegah untuk mengerti banyak hal mengenai dunia nyata dalam arti yang lebih umum, terhadap pembangunan yang secara pura-pura dipimpin, karena ‘ahli’ ini telah jauh dari realitas dunia itu sendiri. Karena pengetahuan diasosiasikan dengan pendidikan formal pelatihan dunia barat, konsep dan metode yang asli diabaikan dan diturunkan ke posisi subordinate secara keras. Penelitian pembangunan yang tidak menyesuaikan diri dengan teori dan metode yang diterima oleh dunia barat diabaikan, seperti halnya wawasan baru, pemahaman, dan solusi kreatif mengenai sumber lokal lainnya terhadap masalah pembangunan.

Realisme Baru Versus Dikotomi Lama

Bergerak melewati model pembangunan yang ketingalan zaman, yang mana telah hidup lebih lama dari sejarah fungsi mereka, membuat mereka cenderung terhadap rangkaian dikotomi yang salah sehingga menghasilkan pertentangan akan agenda pembangunan pasca perang. Sebagai contoh dari dikotomi ini adalah keadaan perencanaan versus pasar, orientasi pembangunan batin versus orientasi pembangunan lahir, industrialisasi perkotaan versus pertanian di pedesaan, sentralisasi dari atas ke bawah versus desentralisasi dari bawah keatas.
Dikotomi lama antara Keynesian dan neo liberalisme telah berlangsung sengit saling menyalahkan akibat kegagalan pasar dan intervensi pemerintah namun telah terjadi versus realisme baru seperti bukti terbaru dari Asia Timur (Asian NIC) dan beberapa wilayah di kawasan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kekuatan pasar tepatguna tidak perlu menghalangi rencana pembangunan pemerintah. Keadaan campur tangan yang selektif dan secara hati-hati dan selaras dapat merubah pasar kearah pencapaian hasil pembangunan yang secara efisien memberikan pelayanan. Akan tetapi, persoalan utama sedang mencari solusi yang pantas dari keadaan pasar dan pemerintah, dan kemudian menemukan seperangkat pengaturan yang terorganisir dan bersifat institusional yang cocok dengan campuran ini. Baik pemerintah ataupun pasar bukanlah merupakan institusi netral, keduanya dapat bekerja untuk sesuatu yang baik, bahkan hal yang buruk sekalipun. Strategi pembangunan harus dipertimbangkan dibawah kondisi suatu negara dan pasar agar dapat bekerja untuk melayani pemba
Pertentangan sentralisasi dan desentralisasi dalam rencana pembangunan telah terjadi serius dan mengorbankan energi. apa tidak lebih baik memberlakukannya sebagai realisme baru dengan saling melengkapi. Kegagalan sentralisasi pada awal pasca perang dunia kedua telah mendorong usaha desentralisasi tahun 1960-1970an yang hasilnya juga gagal menghasilkan hasil yang diidamkan. Apa tidak lebih baik memberlakukannya sebagai realisme baru dengan saling melengkapi.

Pembangunan yang Seimbang dan Berkelanjutan

Meluasnya biaya sosial dan lingkungan dari pembangunan sekarang ini telah menyediakan perhatian untuk sebagian besar penelitian demi menopang pembangunan. Banyak penelitian menekankan tingginya ‘biaya kesempatan’ dihubungkan dengan kerusakan lingkungan yang tak dapat diubah dengan menyita pilihan pembangunan kedepan.
Telah ditegaskan bahwa pembangunan tidak dapat diukur dengan indikator GNP yang hanya berfokus pada pertumbuhan perekonomian. Malahan, perhatian harus diarahkan kepada persoalan mengenai hukum redistribusi dan etika egalitarian, pengembangan sumber daya manusia, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan spesis yang masih bertahan, dan perbedaan kepentingan dan hasrat dari kelompok yang terabaikan. Strategi yang dapat membangkitkan pertumbuhan yang tinggi tetapi juga dapat menghasilkan pemindahan hak milik orang lain yang meluas dan perbedaan penyaluran harus dihindari. Demikian juga, strategi yang berorientasi kearah pertumbuhan yang menghasilkan mutu yang tak diharapkan dari gangguan lingkungan harus ditinggalkan untuk mendapatkan pendekatan alternatf yang mengarah kepada perlunya memelihara lingkungan ekosistem dan pemeliharaan flora dan fauna.
Beberapa tahun belakangan ini, keuntungan ide-ide dan praktek yang bersifat baru dalam pembangunan yang berkelanjutan sangat terbantu dengan adanya pergerakan lingkungan hidup masyarakat di beberapa negara di Kawasan negara berkembang. Banyak dari kelompok ini mengambil rancangan alternatif pembangunan yang menghubungkan masalah lingkungan hidup dengan persoalan persediaan kebutuhan pokok, persamaan keadilan dan keadilan masyarakat, kepercayaan lokal terhadap diri sendiri, dan kekuatan populer. Sepanjang di negara-negara Kawasan Selatan, tuntutan yang dibuat oleh pergerakan lingkungan lokal menunjukkan sebuah benturan kesamaan: hak terhadap keamanan kebutuhan pokok; hak terhadap pemilikan tanah dan sumber penghasilan, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak untuk mewakili diri sendiri melalui lembaga mereka sendiri. Banyak pekerja pembangunan telah lama menyadari bahwa pengaturan sumber penghasilan yang berhasil tidak dapat dicapai tanpa kehendak baik dan kerjasama masyarakat lokal yang dapat berjalan. Dengan mengenal dan mempertemukan perubahan kebutuhan sosial dengan sumber penghasilan lokal, tentunya membutuhkan partisipasi yang efektif dari organisasi masyarakat pedesaan.
Pada akhirnya, krisis lingkungan di Kawasan Selatan juga merupakan krisis partisipasi politik dan kepercayaan. Bagaimanapun, saat persoalan lingkungan hidup dapat menawarkan kesempatan untuk memperluas partisipasi lokal dan membangun penggabungan masyarakat pedesaan, pergerakan populer juga harus menemukan cara untuk ‘meningkatkan’ usaha mereka untuk melawan pengrusakan strategi pembangunan yang mengacuh kepada ekologi dan masyarakat. Jika tidak, tuntutan akan hak demokratis dan pemindahan sumber penghasilan terhadap masyarakat lokal akan berlanjut dihalangi oleh minat yang kuat yang menguntungkan paling banyak dari strategi pembangunan top-down.

Pelaksanan Pembangunan secara Lokal

Perlunya memikirkan teori dan metode yang lebih tepat terhadap kekhususan masyarakat di Kawasan negara berkembang telah berfokus kepada peningkatan perhatian terhadap konsep dan praktek pembangunan yang bersifat lokal. Pemikiran pelaksanaan pembangunan secara lokal telah menjadi unsur utama dari percobaan untuk menciptakan pendekatan yang lebih luas dan cocok. Proses pembangunan yang bersifat lokal ini termasuk diantaranya penciptaan lembaga pemantau dan praktek untuk menaikkan kinerja pembangunan yang kritis dan independen. Secara tidak langsung dinyatakan bahwa emansipasi intelektual dan penaksiranlah yang mendasari paradigma pembangunan Dunia Barat. Hal ini menganggap bahwa bentuk yang baru dari pembangunan yang berdasar atas pengetahuan dan keperluan masyarakat negara-negara berkembang itu sendiri daripada ‘keahlian’ orang-orang luar lebih pantas diterapkan. Hal ini menolak usaha untuk membentuk kembali masyarakat lain menurut model etnosentris ‘universal’ dan standar yang telah ditetapkan.
Belajar mengenai kelompok sosial dan budaya lain, mengambil sebuah perhatian dalam pengetahuan lokal dan praktek kebudayaan sebagai dasar untuk melukiskan kembali pendekatan pembangunan, mengadopsi sebuah sikap mental yang lebih kritis dengan menghormati teori dan metode yang telah ditetapkan, dan memajukan partisipasi organisasi populer yang berasal dari kelompok lokal di semua tahap inisiatip pembangunan.
Konsep lokal dan metode berdasarkan pengalaman pembangunan dan tradisi intelektual mereka sendiri. Banyak dari pendekatan alternatif ini mencari bantuan partisipasi dan wewenang dengan menciptakan perasaan berharga diantara masyarakat negara-negara berkembang melewati penemuan kembali dan pengkajian ulang sejarah lokal dan tradisi budaya. Sebelum orang-orang dapat menentukan masa depan mereka sendiri, mereka terlebih dahulu harus melihat kembali kebelakang, mana yang paling sering hilang atau terbuang oleh gangguan dari model pembangunan asing. Meningkatnya penggunaan pengetahuan lokal dapat membuat program pembangunan lebih pantas, penyediaan solusi inovatif untuk masalah tertentu, menyumbangkan rasa penghargaan terhadap diri sendiri dan rasa harga diri dan mempertinggi partisipasi populer dan kekuatan. Untuk mengambil keuntungan dari kemungkinan ini, program pembangunan harusnya dimulai dengan dasar pikiran bahwa masyarakat lokal berpengetahuan dan memiliki keahlian yang dapat mengatur lingkungan mereka sendiri meskipun paksaan kerap mereka sering harus hadapi. Apabila disediakan dengan sumber penghasilan yang cukup, pengetahuan dan keahlian mereka menempatkan pada posisi yang ideal untuk memikirkan solusi yang tepat secara lokal terhadap masalah pembangunan mereka sendiri.





Ruang dan Tempat dalam Pembangunan

Rancangan pembangunan yang telah membongkar tegangan utama antara teori pembangunan sekarang ini dengan anggapan dari masyarakat bagian Utara, dan realitas pembangunan masyarakat di bagian Selatan. Seperti di banyak bidang lain, ada sebuah benturan kecenderungan dalam perencanaan yang bersifat kedaerahan untuk memberi penghormatan terhadap teori yang berpengaruh sebelumnya daripada menggagas kerangka baru yang lebih tepat. Realitas masyarakat di bagian Selatan secara berkelanjutan dicocokkan terhadap teori daripada melakukan pengujian yang belakangan atas yang sebelumnya. Akibatnya, kebijakan ruang dan tempat sering menggunakan pemikiran dan pelaksanaan yang dipinjam dari Utara yang sering tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di Bagian Selatan.
Pelaksanaan perencanaan harusnya memfasilitasi proses pembelajaran dua cara, dengan kata lain, penyebarluasan informasi dan teknik, mengijinkan pemikiran lokal, perspektif, dan metode untuk menginformasikan pembuatan keputusan dan prosedur pelaksanaan.
Usaha untuk memperluas partisipasi lokal menegaskan fakta bahwa perencanaan regional/spasial, seperti semua aspek pembangunan, dengan tak terpisahkan bersifat politis. Ruang, dalam pengertian yang nyata adalah secara politis mengadakan perlombaan pembentukan daerah kekuasaan. Perencanaan tidak dapat menjadi efektif apabila mencoba menyembunyikan masalah spasial dari perasaan territorial dari hubungan kekuasaan. Pembicaraan dan perdebatan atas strategi spasial harusnya dibarengi oleh sebuah analisa tentang konteks politik yang lebih luas dimana strategi ini berlangsung. Ini berarti melebihi konsep perencanaan spasial sebagai sebuah teknik semata-mata, sebagai sebuah proses politik.

Persoalan-Persoalan Mengenai Kemampuan

Prakarsa pembangunan yang mutakhir maupun alternatif tidak memberikan perhatian yang banyak terhadap masalah perekonomian, politik dan susunan sosial kebudayaan. Hanya sedikit perhatian diberikan kepada organisasi dan institusi lokal, yang mana seringkali menjadi tidak demokratis dan meniadakan kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kelas, gender, suku, dan patokan lain. Sebagai hasil, banyak usaha pembangunan, termasuk bagian yang besar dari rancangan bottom-up pura-pura didisain untuk mempertinggi partisipasi lokal, telah menjadi begitu terpisah dari yang lain dalam prakteknya. Sayang sekali, prakarsa pembangunan ini telah mengabaikan fakta bahwa rancangan yang memberi manfaat dapat dimonopoli oleh kelompok elit atau kalangan pegawai negeri dan pimpinan proyek, sehingga dapat menjadi sekutu dengan kelompok yang menentang perhatian kalangan masayarakat miskin dan yang kurang beruntung.
Kecenderungan di sebagian besar rancangan pembangunan adalah untuk melihat komunitas dalam keadaaan homogen, dengan cara memberi batasan berbagai kemungkinan terhadap perbedaan kebutuhan dan perhatian pada berbagai kelas, gender, suku dan batasan lainnya. Sumber yang tepat dari ketidaksamaan dan diskriminasi diabaikan, dan dianggap bahwa rancangan yang diatur secara lokal yang luas akan berkuasa. Persoalan mengenai bagaimana organisasi dan komunitas lokal dihubungkan terhadap susunan politik dan sosial kebudayaan diabaikan. Seringkali, rancangan mendapat ganngguan dari sindrom ‘peluru sihir’, dimana cukup sederhana, solusi yang rapi (biasanya diatur oleh para ahli/teknokrat) terhadap masalah pembangunan dilihat gagal terhadap tanggungan untuk kompleksitas susunan masyarakat lokal. Akantetapi, masyarakat miskin umumnya menghadapi rintangan yang besar terhadap perbaikan masyarakat mereka dan perbaikan taraf perekonomian (contohnya: hubungan kekuasaan yang tersudutkan, distribusi pendapatan yang tidak seimbang). Lagipula, kemajuan kelompok marginal dapat dihalangi oleh halangan tertentu (berdasarkan susunan gender, suku, agama dan bahasa). Selama rintangan ini tak diabaikan, rancangan pembangunan mempunayi sedikit kesempatan untuk menemukan apa sebenarnya kebutuhan dan perhatian pokok dari kelompok masyarakat miskin dan marginal.
Diantara kelompok marginal dari masyarakat negara-negara berkembang ini, kelompok wanita miskin telah diabaikan oleh usaha-usaha pembangunan – tidak hanya program yang bersifat makroekonomi seperti penyesuaian struktur, tetapi juga oleh rancangan pembangunan lokal yang lebih spesifik. Dengan sikap acuh tak acuh terhadap pengaruh perbedaan gender dalam pembuatan kebijakan, para pembuat kebijakan sering jahat terhadap masalah yang hebat yang dialami oleh kelompok wanita miskin. Karena hampir semua kelompok perempuan berada pada tingkat yang dirugikan dalam hubungannya dengan pria (dalam hal pendapatan, modal, pendidikan dan pengaruh politik), kebijakan ‘kesetaraan-gender’ lebih lanjut sering memarjinalkan perempuan dengan memperlemah posisi mereka khususnya dalam kelompok sosial dan sektor perekonomian. Karena hampir kebijakan kesetaraan-gender memasukkan dan menguntungkan pria.

Pembangunan yang Kuat dan Berorientasi kepada Rakyat

Kegagalan pembangunan jaman sekarang untuk mencapai kepentingan yang populer menegaskan perlunya untuk menemukan pendekatan yang beorientasi kepada kemanusiaan yang mana lebih berfokus terhadap kemampuan akan partisipasi. Pengalaman menunjukkan bahwa masalah seperti ketertinggalan pembangunan, ketidaksamarataan, dan kemiskinan tidak dapat memecahkan strategi top-down seperti paham yang diacungkan oleh neoliberalisme dan keynesianisme, tetapi membutuhkan perubahan dari pendekatan alternatif berdasarkan atas kemampuan populer. Dari pandangan ini, prakarsa pembangunan dapat menjadi lebih efektif apabila mereka berpindah dari sebuah fokus dan sasaran yang telah ditetapkan secara ekstenal, kearah yang lebih fleksibel, ‘memungkinkan’ orientasi didisain untuk meningkatkan intelektual, moral, manajerial, dan kemampuan teknis dari masyarakat lokal. Kemampuan menjadi sebuah proses yang beraneka ragam, termasuk kelompok sumber penghasilan untuk mencapai kekuatan yang kolektif untuk menentang susunan penganut kaum elit. Hal ini memerlukan kemampuan bagi masyarakat lokal atas kemampuan manual dan teknis mereka; administratif, manajerial, dan kapasitas perencanaan; dan kemampuan analitis dan reflektif. Dengan memasukkan semua unsur ini, proses pemberian wewenang dapat menyumbangkan bentuk baru dari pembangunan yang mana pemenuhan atas kesanggupan kemanusiaan dan kemampuan lebih khusus bersifat penting.
Peningkatan partisipatori pergerakan dan organisasi sekarang ini telah dihubungkan dengan banyak negara terhadap kemunculan subjektivitas yang baru. Bahkan jika alasan mereka mungkin secara meluas mengenai ekonomi, sebagian besar anggota dari pergerakan populer tidak memahami perjuangan mereka yang semata-mata berdasarkan ekonomi dan kelas. Secara teori dan praktis, hasil telah menjadi sebuah perpecahan dalam ruang politik yang bersatu pada kelompok lain yang mana sebelumnya diwarnai oleh sebuah hak pokok – yaitu kelas pekerja. Kesatuan ini telah dipecahkan untuk membuat ruang untuk pluralitas dari sekelompok pelaku yang membuat sektor yang populer. Konsepsi orang-oramg desa yang baru telah dikembangkan dimana melihat masyarakat sebagai sebuah entitas yang berbeda dan multidimensi yang diproduksi melalui konstruksi identitas yang kolektif oleh pelaku sosial yang berbeda menurut pandangan dan minat yang beranekaragam.
Mereka telah menghasilkan sebuah gaya baru yang plural, bottom-up, tidak mengikat satu aktivitas partai politik yang dengan lambat merevitalisasi sayap kiri dibanyak negara dengan melakukan perubahan yang paling alami dengan mengangkat praktek politik yang berkembang.
Munculnya subjektivitas populer yang baru seringkali dimajukan oleh pendidikan populer dan usaha ‘pencerdasan’. Ini telah menjadi penting khususnya dalam menanamkan kepercayaan diri dan membangkitkan semangat ungkapan diri diantara kelompok marginal – tanpa adanya mobilisasi sumberdaya manusia, pembuatan keputusan partisipatori, dan kemampuan sejati hal ini tidak mungkin dicapai. Proses pencerdasan dapat dimengerti sebagai proses transformasi kognitif dan evaluatif, khususnya bagi kelompok yang tertinggal dan termarjinalkan, yang mana mencari cara untuk menciptakan manusia yang lebih baik yang mampu membuat perubahan, pilihan yang bertanggung jawab dan mempunyai pendirian dan kekuatan dari dalam untuk bertindak dengan tegas dan dengan jelas atas diri mereka sendiri.

Keadaan Politik dan Negara yang Baru

Dalam menciptakan kestabilan sosial, demokratisasi yang merupakan sasaran pembangunan yang serius, sehingga cukup jelas bahwa pendekatan alternatif harus ditemukan untuk SAP neoliberal dan strategi top-down lainnya.
Masyarakat sosial yang kuat dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan pada tingkat lokal, regional dan tingkat nasional, yang memungkinkan sebuah konsensus atau ‘kontrak sosial’ untuk dibangun atas bagaimana pembangunan diproses. Ini berarti penguatan organisasi populer dan hubungan kelompok lainnya, sehingga mereka dapat memainkan sebuah bagian yang aktif dan bertanggung jawab didalam proses pembuatan keputusan. Sosial kontrak yang secara luas diakui dan dihormati tidak dapat dicapai, khususnya dalam meningkatkan sadar politik masyarakat di negara-negara berkembang, jika kelompok sosial yang penting tidak mampu menggunakan pengaruh yang tegas terhadap pemerintah mereka untuk memastikan perhatian mereka diambil dan dirumuskan kedalam sistem politik. Ini selanjutnya SAP atau program pembangunan lainnya perlu memasukkan pilihan yang sulit atas bagaimana biaya atau manfaat pembangunan didistribusikan, serta strategi pembangunan apa saja yang harus dengan jelas didasarkan pada tingkat yang adil dari konsensus sosial jika dengan berhasil berlanjut tanpa mengambil jalan kearah yang bersifat otoriter.
Rancangan pembangunan lokal telah berfokus terhadap masalah yang asing dari kelangsungan hidup, mengabaikan persoalan mendasar mengenai sistem yang menciptakan kemiskinan dan ketidakseimbangan dalam tempat yang pertama. Jawaban masyarakat lokal terhadap masalah spesifik, kedalam bidang makro dari penciptaan organisasi nasional yang populer yang bersifat efektif dengan cakap memasang jawaban yang bersatu untuk menekan persoalan pembangunan. Sebagai hasilnya, mereka mendapat resiko dalam menciptakan masyarakat yang tersusun dari masyarakat yang buta politik yang tak berhubungan.
Untuk menghindari masalah demikian, pergerakan populer lokal perlu ‘scale up’ operasi mereka dengan membangun jaringan mikro-makro yang dapat mempengaruhi kerangka kebijakan pembangunan secara keseluruhan. Partisipasi dan kemampuan yang sungguh-sungguh dalam pembuatan keputusan pembangunan tidak dapat tetap tergantung hanya kepada tekanan kelompok lokal atau rancangan pembiayaan NGO. Malahan, susunan demokrasi populer perlu diciptakan agar dapat mewujudkan keputusan dari bawah kedalam perubahan yang diinginkan dalam kebijakan makro. Rancangan kebijakan pembangunan untuk menyajikan kebutuhan dan perhatian mayoritas masyarakat mengharuskan pemindahan rintangan kearah partisipasi populer yang melekat didalam metode top-down dari perumusan kebijakan yang ada. Tetapi hanya meningkatkan arus komunikasi dan informasi melalui desentralisasi administratif yang tidak cukup; juga perlu menjadi komitmen politik untuk memastikan bahwa proses ini berlangsung, dan ini hanya bisa dipastikan melalui kewaspadaan yang tetap dari kelompok masyarakat desa yang teratur secara politis.
Pergerakan populer sering melihat negara sebagai sebuah musuh, didominasi oleh kelompok elit yang bersekutu melawan kepentingan mayoritas. Apabila diatur dengan baik, kerjasama yang meningkat antara NGO dengan organisasi populer dapat membuat pelayanan masyarakat lebih tepat guna dan tidak memakan banyak biaya, tanpa perlu kerja keras dari pemerintah untuk mendorong tanggung jawab untuk kehidupan yang lebih baik dari masyarakat miskin kedalam ekonomi yang tak resmi. Kelompok lokal seringkali mampu untuk menjawab dengan baik terhadap perubahan keadaan daripada institusi pemerintah. Dalam banyak hal, kekuatan negara dapat menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi yang dikembangkan pada tingkat lokal oleh pihak NGO dan kelompok lainnya. Dengan semua keuntungan yang diberikan ini, pemerintah mungkin ingin memperlakukan rancangan pembangunan bottom-up sebagai sebuah jenis ‘industri amatir’ yang jika dipelihara oleh dukungan pemerintah, maka dapat menghasilkan pertumbuhan yang lebih pantas oleh perangkat yang secara relatif murah.

Institusi Internasional dan Kerjasama Internasional

Perlunya memperluas prakarsa pembangunan populer menyatakan secara tidak langsung unutk membentuk perhatian tidak hanya terhadap struktur politik nasional, tetapi juga terhadap forum dan institusi internasional. Ini melibatkan penciptaan metode baru untuk organisasi populer dan menghubungkan berbagai macam kelompok kearah pertukaran informasi dan menyediakan dukungan bersama. Ini juga memerlukan bentuk kerjasama internasional yang baru dan segar melalui perbaikan/restrukturisasi institusi internasional dan penciptaan perimbangan yang baru dan populer. Akan ada banyak kekuatan untuk meningkatkan kerjasama internasional, termasuk hubungan negara-negara di Kawasan Utara-Selatan, Selatan-Selatan dan hubungan antar wilayah.
Selain itu, pengaruh interaksi antara negara yang lebih banyak berkembang dan kurang berkembang dapat menjadi positif bahkan negatif, dan umumnya dibedakan secara sosial berdasarkan kelas, gender, dan faktor lainnya. Keadaan geografis dan sejarah yang berbeda dihadapi oleh banyak negara berkembang, oleh karena itu strategi partsipasi selektif internasional harus menitikberatkan fleksibilitas.
Strategi pembangunan perlu menjauhkan diri dari universalisme demi mencapai pemikiran dan metode yang fleksibel yang dapat menyapa kekhususan dalam struktur sosial yang mempengaruhi dampak perdagangan dan hubungan internasional lain terhadap kelompok masyarakat. Perbedaan demikian tidak dapat ditanggung oleh satu rekonstruksi saja dari agenda pembangunan; malahan, rekonstruksi ‘polisentris’ dibutuhkan, berdasarkan kondisi objektif yang bervariasi dan perhatian subjektif terhadap masyarakat yang berbeda.
Sebagai tambahan dalam menyelidiki kemungkinan untuk memperluas dan mentransformasikan perdagangan dengan masyarakat di Kawasan Utara, diversifikasi perekonomian juga harus ditantang dengan mencari cara baru untuk merangsang hubungan perdagangan di Kawasan Selatan-Selatan. Dalam banyak kasus, sasaran ini dapat dimajukan dengan memperkuat posisi perdagangan regional dan pasar bersama yang mana sering kali hanya muncul ‘diatas kertas’ atau dalam bentuk yang cukup terbatas. Untuk menemukan metode dalam memfasilitasi perdagangan yang lebih luas di Kawasan Selatan, cukup membuka kemungkinan perluasan pasar dengan cepat untuk perusahaan yang sebelumnya telah dibatasi terhadap pasar domestik yang kecil secara relatif. Selain itu, kerjasama ekonomi regional yang dipertinggi harus dibolehkan untuk pertukaran produk yang bermanfaat satu sama lain.
Kerjasama yang saling menguntungkan dapat diimpikan pada tingkatan yang berbeda, meliputi subregional dan kelompok regional bahkan seluruh Negara di kawasan Selatan. Pada waktu yang sama, mekanisme yang baru untuk kerjasama dan saling ketergantungan harus diciptakan. Ini harus melingkupi jaringan informasi internasional, yang ditujukan pada organsasi populer dan kelompok yang berhubungan, untuk membantu penyebaran ilmu pengetahuan dan sumber berita teknis. Jaringan demikian dapat diiringi dengan lembaga pembangunan dan pusat pembelajaran yang independen, mungkin dibawah pengawasan PBB atau beberapa organisasi lain yang sepadan, untuk memajukan dialog yang lebih bermakna antara negara-negara di Kawasan Utara-Selatan dan Selatan-Selatan. Penekanan harus ditempatkan untuk mempertinggi kemampuan yang bersifat lokal dari lembaga pembangunan populer dan pusat pembelajaran di Kawasan Selatan itu sendiri. Ini akan berjalan kearah penanggulangan pelemahan ketergantungan Kawasan Selatan atas kerangka pembangunan di Kawasan Utara dan akan menolong untuk memasang perasaan kepercayaan diri diantara masyarakat negara-negara berkembang untuk menggunakan pengetahuan lokal mereka dalam menegaskan jalan yang terang bagi pembangunan agar sesuai dengan kebutuhan dan perhatian mereka.
Harus ditekankan bahwa tidak instan pembangunan populer tiba-tiba muncul diamana-mana dalam beberapa bentuk yang jadi. Lingkungan sulit yang diberikan dihadapi oleh sektor populer di Kawasan Selatan, seperti pengharapan yang idealistik.
Para penganut faham elit mencoba untuk menjatuhkan kondisi khusus dari pembangunan masyarakat lokal. Pembangunan populer harus dilihat sebagai proses yang hanya dapat terjadi melalui perjuangan politis yang panjang pada tingkat yang berbeda. Walaupun kemajuan telah dibuat pada wilayah ini, khususnya melalui usaha pergerakan populer dalam skala yang lebih luas di hampir semua Negara, perjuangan ini baru saja dimulai.

Selasa, 07 Oktober 2008

Badan Pertananahan Nasional RI sebagai Lembaga Pengelola Pertanahan untuk Sebesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat

I. Pendahuluan

Pemerintah memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memakmurkan rakyatnya. Tujuan tersebut terdokumentasi pada pembukaan UUD 1945. Sejurus dengan hal tersebut bentuk negara yang disepakati oleh para bapak pendiri bangsa adalah berbentuk Republik, kembali menegaskan bahwa titik perhatian pemerintah adalah rakyat. Definisi rakyat disini adalah mayoritas penduduk yang baru saja terlepas dari penjajahan Belanda. Rakyat itulah kaum tani, merekalah yang jumlahnya mayoritas, dimana corak perekonomian sebagai negara agraris. Mayoritas penduduk tinggal di pedesan, aktif melakukan pengelolaan tanah untuk kebutuhan keluarganya dan mewarnai perekonomian nasional. Selama masa kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan berlangsung revolusi phisik I dan II, golongan tersebut yang banyak menyumbangkan tenaga sebagai pasukan sukarelawan, laskar rakyat, membantu perang gerilya, menyediakan dukungan logistik, lokasi persembunyian saat terdesak Belanda dan dukungan moral.
Permasalahan pertanahan yang ditinggalkan oleh penjajah tidak mencerminkan rasa keadilan rakyat. Penjajah merampas tanah-tanah rakyat dan menerapkan hukum sesuai kepentingan pemerintahan jajahan. Kaum tani yang hidup di desa yang paling menderita selama penjajahan, sehingga dukungan mereka seperti yang dijelaskan di atas lebih besar selama Republik hamil tua ketibang masyarakat perkotaan sebagai masyarakat kelas yang terbela oleh penjajah. Bahkan di Yogjakarta, rakyat lebih memilih Belanda kembali berkuasa dengan harapan mereka kembali bekerja setelah PHK massal saat pendudukan Jepang. Dalam rangka mengisi kemerdekaan, pemerintah berusaha memakmurkan rakyat. BPN RI sebagai satu-satunya lembaga resmi pemerintah menjalankan amanat mulia tersebut melalui pengelolaan pertanahan.
Jatuh bangunnya pemerintahan secara signifikan mempengaruhi cara kerja, ideologi, dan kebijakan dalam mengelola pertanahan. Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, pengelolaan pertanahan bersifat populistik. Melaksanakan land reform dengan mencabut hak barat, menertibkan tanah kelebihan maksimum, tanah absentee yang umumnya milik tuan tanah, orang-orang asing dan petani penghisap untuk didistribusikan kepada buruh tani, petani miskin dan petani marhaen. Pemerintahan ini secara tegas mencabut hukum barat, agraris wet yang merugikan dan menghisap kaum tani dengan diterbitkannya UU nomor 5 tahun 1960 sebagai pengganti hukum yang lebih berpihak kepada rakyat demi terwujudnya kemakmuran. Jatuhnya pemerintahan Sukarno yang pro kepada rakyat kecil digantikan pemerintahan orde baru yang menjerat posisi rakyat kecil karena lebih berpihak kepada pemodal. Agenda land reform yang bersahabat dengan rakyat tani kecil menjadi agenda terlarang yang dibumbui aroma komunisme. UUPA masuk peti es sampai rejim Orde Baru ditumbangkan rakyat. Pada masa pemerintahan ini terjadi ketimpangan penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah (P4T) yang ditandai maraknya konflik pertanahan yang merugikan rakyat sampai terjadi pelanggaran HAM, sehingga rakyat tani seperti kembali ke alam penjajahan tetapi yang dihadapi adalah bangsa sendiri. Pemerintahan reformasi yang lahir dari Revolusi Mei 1998, melahirkan TAP MPR No. IX tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan SDA. Land reform kembali mendapatkan dukungan politik untuk memperbaiki nasib rakyat. Agenda pembangunan yang menempatkan Reforma Agraria sebagai Land reform plus sebagai solusi untuk menjawab keterpurukan yang dijalankan oleh rejim ORBA agar rakyat kembali memilik harkat dan martabat sekaligus meningkatkan kemakmurannya.

II. Potensi

Pemerintah cq BPN RI ditugaskan melaksanakan amanat mulia untuk mengelola pertanahan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat memiliki beberapa potensi. Pembukaan UUD 1945 yang memuat tujuan negara untuk memakmurkan rakyat. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang biasa disebut UUPA. Secara tegas menunjuk BPN RI sebagai pemangku amanat mulia tersebut, hal tersebut menjadi potensi karena tidak semua instansi negara menerima amanat secara jelas dari sisi konstitusional sampai level operasional untuk mengelola sumber daya agraria tidak sebatas tanah semata. Di saat yang sama UU tentang kehutanan, UU tentang pertambangan hanya sebatas sektoral dan potensi strategis untuk mengkoordinasikan antar sektor agraria.
Peran BPN RI menjadi sangat strategis karena tanah (wilayah) adalah salah satu unsur pembentuk negara. Dimana jumlah tanah semakin berkurang karena kerusakan tanah akibat ulah manusia seperti tanah longsor, lumpur lapindo yang menghapus beberapa kecamatan dari peta kabupaten Sidoarjo dan bencana alam sedangkan jumlah penduduk semakin besar akibat ledakan pertumbuhan penduduk. Kondisi ini membuat tanah semakin memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena sifat kelangkaannya.
BPN RI memiliki jaringan yang mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Organisasi besar yang bersifat vertikal, yang menjamin roda organisasi bekerja menjangkau seluruh wilayah Indonesia dimana saat otonomi daerah, banyak instansi pemerintah yang didesentaralisasikan. BPN RI memiliki potensi yang harus dimaksimalkan karena pemerintah menjamin keberlangsungan organisasi BPN RI tetap vertikal sesuai Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Kelembagaan Badan Pertanahan Nasional, disaat yang sama pemerintah daerah berusaha menarik kewenangan pada BPN RI untuk menjadi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sebagai organisasi besar maka sumber daya yang dimilikinya juga cukup besar, yaitu :
· Sumber daya manusia sebesar 23.000 yang tersebar di seluruh wilayah RI sampai tingkat kabupaten/kota.
· Memiliki infrastruktur kantor yang tersebar di seluruh wilayah RI sampai tingkat kabupaten/kota.
· Memiliki kemampuan teknis pertanahan, penataan, konsolidasi lahan, pemetaan, pengukuran dan pensertipikatan.
· Memiliki data tanah yang menjadi rujukan secara hukum (yuridis).


III. Permasalahan

Peran BPN RI yang sangat strategis tersebut sulit untuk menjalankan amanat konstitusi untuk memakmurkan rakyat karena :
· Politik agraria pemerintah yang berkuasa harus tergantung selera penguasa.
· Mentalitas PNS BPN RI yang belum menerapkan pelayanan prima terutama di kantor kabupaten/kota yang melayani masyarakat karena imbalan, belum sampai level pengabdian yang mencerminkan nilai/norma yang tidak sesuai pekerja republik.
· Ketidaksejajaran lembaga BPN di daerah oleh Pemda dalam rangka otonomi daerah karena perbedaan eselon
· Semangat korupsi masih tinggi dan dedikasi bekerja yang masih rendah.
· Ketimpangan P4T yang sangat besar karena selama 32 tahun tidak ditertibkan.
· Data pertanahan yang sering tumpang tindih, dengan adanya sertipikat ganda.
· Belum semua bidang tanah telah didaftar, baru sekitar 30 % dari seluruh wilayah RI.






IV. Kebutuhan dan Cara Pencapainya

BPN RI yang sangat membutuhkan beberapa hal di bawah ini untuk menjalankan amanat konstitusi untuk memakmurkan rakyat sebagai berikut :
· Politik agraria pemerintah yang berkuasa harus konsisten dengan amanat konstitusi, jangan sampai pemerintah kudeta kepada negara karena melanggar konstitusi sehingga fokus tetap kepada kaum tani miskin untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakya.
· Nilai/norma baru yang terbentuk dari perubahan paradigma PNS BPN RI sebagai pegawai republik harus melayani rakyat bukan pegawai kerajaan yang melayani raja dan melupakan rakyat. Sehingga muncul semangat pengabdian karena semua kebutuhan sudah ditanggung rakyat, konsentrasi bekerja akan meningkat jika didiringi pendapatan yang memadai.
· Kesejajaran lembaga BPN di daerah oleh Pemda dalam rangka otonomi daerah. Perlunya dari segi organisasi kepala kantor BPN Kabupaten/kota diberi eselon II agar sejajar dengan kepala dinas, begitu juga dilevel provinsi agar diberikan eselon I agar sejajar dengan kadis provinsi.
· Pemberantasan korupsi secara konsisten, dengan pengawasan ketat dan penegakan hukum tanpa pandang bulu karena sudah ditingkatkan kesejahteraannya
· Menghilangkan ketimpangan P4T yang sangat besar dengan melakukan penataan pertanahan sesuai aturan UU. Aparatur BPN RI tidak boleh lagi bermain dengan adanya imbalan dari para pelanggar P4T karena rakyat sudah menanggung kehidupan para PNS BPN RI lewat APBN
· Memperbaiki, mengupdate dan memvalidasi data pertanahan yang sering tumpang tindih dan menghilangkan sertipikat ganda.
· Mendaftar semua bidang tanah seluruh wilayah RI dengan mengerahkan semua sumber daya