Minggu, 21 September 2008

Reforma Agraria untuk Kemakmuran Rakyat Indonesia

Reforma Agraria untuk Kemakmuran Rakyat Indonesia

I. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sumber daya alam. Kekayaan tersebut sangat bernilai ekonomi karena bersifat langka dimana tidak semua negara memilikinya, pada awalnya dinikmati penduduk pribumi sampai pada akhirnya bangsa asing tertarik menikmati. Belanda yang pada awalnya berniat berdagang datang ke Nusantara akhirnya tergoda untuk untuk menjajah negara yang kaya akan kekayaan alam. Ratusan tahun lamanya pemerintah penjajah Belanda menikmati kemakmuran dari mengeksploitasi alam Nusantara. Struktur pemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria sangat timpang khususnya tanah dimana pada pemerintah Belanda mengeluarkan produk hukum berupa Agraris Wet yang sangat merugikan kaum bumiputera. Selama masa penjajahan Belanda mayoritas penduduk pribumi mengalami kemiskinan yang hebat dan kelaparan.
Akhir Perang Dunia Kedua Indonesia merebut merdeka dan pemerintah penjajah Belanda dipaksa mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Para pendiri negara melihat sebagai bangsa yang bercorak kehidupan perekonomian agraris di tengah alam yang subur, alam yang kaya ternyata mayoritas penduduknya tetap miskin pasca kemerdekaan.
Kemiskinan mayoritas penduduk akibat ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Masih banyak tuan tanah dan perkebunan besar milik asing yang memiliki tanah luas secara berlebihan sedangkan para petani yang jumlahnya banyak hidup dari tanah garapan tuan tanah atau bekerja diperkebunan asing meskipun mereka bekerja keras tidak bisa meningkatkan kemakmurannya akibat tidak memiliki tanah (faktor produksi) untuk dikelola mereka dalam keluar dari jerat kemiskinan.
Asumsi di atas telah menggerakkan Pemerintah untuk melakukan serangkaian kegiatan yang dinamakan program Land Reform. Program ini telah memiliki landasan Undang-Undang yang disahkan tahun 1960 yaitu Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Prp Nomor 56 Tahun 1960 tentang Batas Maksimun Kepemilikan Tanah. Land Reform sebagai keputusan politik pemerintah telah mendapat dukungan dari Organisasi tani dan partai-partai politik yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan di atas.
Bergantinya kekuasaan Presiden Sukarno kepada Suharto yang ditandai kudeta dan pembantaian antar sesama anak bangsa telah membawa cita-cita memakmurkan rakyat tani dengan program landreform terkubur selama masa rejim ini berkuasa. Kekuasaan mengakhiri bulan madunya dengan mayoritas rakyat. Selama rejim Orde Baru berkuasa proses kemiskinan kaum tani semakin hebat, dengan selubung menaikkan kehidupan kaum tani program Revolusi Hijau dijalankan untuk menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi, angka-angka statistik menunjukkan peningkatan panen dan PD dari sektor pertanian menyumbang tingkat pertumbuhan ekonomi tetapi kaum tani (buruh tani, petani penggarap dan tani pemilik lahan kecil) mengalami kemiskinan yang hebat. Jurang kemiskinan semakin besar karena Revolusi Hijau hanya menguntungkan bagi pemilik modal (perusahaan pupuk ,bibit, pestisida). Tersedianya pangan yang murah hanya membela masyarakat kota. Petani tetap miskin dan maraknya konflik tanah dengan pemodal (perkebunan, pertambangan dan pengembang perumahan) telah menggusur rakyat keluar dari tanahnya dan semakin miskin.
Babak baru Reforma Agraria kembali membuka harapan dengan terbitnya TAP MPR Nomor IX tahun 2001, yang akan dipaparkan pada pembahasan dimana keputusan politik kembali diaplikasikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

II. Landasan Teori
Beberapa cara pandang dan landasan teori yang tertuang dalam tulisan ini terdiri atas dan teori ekonomi dan ekonomi politik, antara lain :
· Konsentrasi ilmu ekonomi berbicara alokasi sumber daya. Dalam tulisan ini menguraikan tentang sumber daya tanah bersifat langka, kelangkaan ini Bagaimana sumber daya digunakan dapat memaksimalkan keuntungan, maka dilakukan secara efisien.
· Dalam fenomena pasar, terjadi kegiatan penawaran dan permintaan. Berdasarkan teori permintaan dan penawaran, maka nilai tanah ditentukan hasil kesepakatan permintaan dan penawaran. Kondisi nyata yang terjadi adalah dari sisi penawaran akan sulit menambah jumlah tanah yang ditawarkan tetapi permintaan akan tanah semakin bertambah akibat perkembangan jumlah penduduk, hal ini mengakibatkan harga tanah menjadi mahal dari waktu ke waktu.
· Perilaku manusia ekonomi cenderung memaksimalkan memanfaatkan atau utilitas untuk dirinya sendiri karena kelangkaan sumberdaya yang dimilikinya.
· Cara pandang ekonomi, tanah adalah salah satu faktor produksi.
· Teori Pareto Maksimum, dimana kondisi seseorang hanya dapat meningkatkan kesejahteraanya dengan merugikan orang lain.
· Teori Pilihan Publik sebagai perspektif untuk bidang sosial dan politik yang lahir dari pengembangan dan penerapan perangat dan metode ilmu ekonomi

III. Pembahasan
A. Cara Pandang Ekonomi
Kemiskinan di Indonesia bukanlah sebuah untaian kata-kata yang mengalun dalam ruang seminar, ruang kerja dan diskusi-diskusi para politisi, akademisi atau segenap komponen bangsa. Kemiskinan hadir di ruang nyata dan daerah pedesaan lebih parah kondisinya daripada daerah perkotaan. Ketimpangan pemilikan tanah di desa yang dimiliki oleh tuan tanah, begitu eksploitasi terhadap buruh tani, mereka tidak memiliki nilai tawar di hadapan tuan tanah. Dengan cerik tuan tanah memanfaatkan secara maksimalisasi sumber daya yang langka berupa tanah untuk memingkatkan keuntungan. Terjadilah Pareto Maksimum, dimana jurang kemiskinan semakin luas antara buruh tani dengan tuan tanah karena untuk meningkatkan kesejateraan tuan tanah hanya bisa dilakukan dengan merugian buruh tani. Oleh karena itu Dari sisi pandang ekonomi akan dicoba dipaparkan Pemerintah Republik Indonesia berusaha meningkatkan martabat dan kehidupan perekonomian rakyat khususnya kaum tani sebagai langkah mengisi kemerdekaan dengan melaksanakan penataan sumber daya agraria khususnya tanah sekaligus memberikan akses bibit, pupuk, teknologi, perlindungan pasar dan lain-lain kepada petani. Kegiatan ini bertujuan agar para petani penggarap, buruh tani dan petani kecil memiliki tanah sebagai faktor produksi pertanian untuk dikelola agar mendapat meningkatkan pendapatan yang pada gilirannya meningkatkan kemakmuran kaum tani. Tanah sebagai faktor produksi yang mutlak bagi petani tanpa memiliki tanah yang cukup untuk dikelola maka kemampuan produksi hasil pertanian tidak akan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pemilikan tanah (faktor produksi) secara signifikan menaikkan hasil panen yang cukup untuk dikonsumsi dan kelebihannya disimpan selama masa menunggu panen berikutnya serta sisanya dijual menjadi tabungan. Kondisi surplus ini meningkatkan taraf hidup kaum tani. Semakin besar hasil panen dan berbading lurus dengan tingkat kemakmuran kehidupan kaum tani.
Secara makro, pasca Reforma Agraria selain kemakmuran kaum tani, negara dapat melakukan subsitusi impor hasil-hasil pertanian. Pasar hasil pertanian dalam negeri seperti beras, kedelai, gula, buah-buahan dan banyak lainnya selalu kekurangan sehingga dibutuhkan impor, dengan Reforma agraria ketahanan pangan tercapai dan pemerintah dapat menghemat biaya impor sehingga negara memiliki cadangan devisa yang besar (substitusi import). Pengembangan teknologi pasca panen dapat didorong dan dikembangkan sebagai strategi (outward looking) untuk ekspor sektor pertanian dapat meningkatkan penerimaan devisa yang dibutuhkan sebagai bamper (buffer).
Kondisi di atas telah mendorong modernisasi sektor pertanian dan devisa yang diperoleh dari ekspor dapat mendukung saat proses lepas landas (take off) sesuai teori Rostow sehingga rakyat Indonesia memasuki fase kedewasaan sebelum konsumsi tingkat tinggi.
Cita-cita mulia ini dapat membawa negeri tercinta tidak lagi dalam posisi pingiran (pheriferi), cepat atau lambat mendekati posisi negara Inti. Reforma Agraria dapat memotong ketergantungan (Teori Dependensi) dari negara penjajah atau negara maju untuk memulai pembangunan secara berdikari dimulai sektor pertanian, teknologi pertanian (sebelum dan pasca panen), lalu menjadi Industri dan Jasa yang landasannya adalah Reforma Agraria.
Rakyat Indonesia yang mayoritas petani (teori Regulasi Ekonomi) akan mendapatkan manfaat walaupun sepintas Teori Optimal Pareto tidak tercapai karena ada golongan tuan tanah yang dirugikan tetapi untuk jangka panjang golongan ini memperoleh kompensasi karena ruang ekonomi non pertanian telah terbuka untuk mereka isi.

B. Keputusan Politik yang Dilakukan
Terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Prp Nomor 56 Tahun 1960 tentang Batas Maksimun Kepemilikan Tanah. Land Reform sebagai keputusan politik pemerintah telah mendapat dukungan dari Organisasi tani dan partai-partai politik yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan di atas.
Kegiatan Landreform yang baru dijalankan pada tahun1960 belum sempat menata struktur ketimpangan agraria (tanah) seperti tanah kelebihan maksimum yang dimiliki tuan tanah, tanah-tanah bekas perkebunan asing yang hak-hak(hak barat) telah dihapus, tanah absentee (tanah dimana pemiliknya tidak tinggal dikecamatan yang sama). Suasana politik yang kacau pada tahun 1965 membuat proses Landreform macet, bahkan pemerintah Presiden Sukarno dipaksa turun. Komponen – komponen politik yang berpihak kepada rakyat dan sebagian besar berada dalam barisan pendukung/simpatisan politik Presiden Sukarno menjadi sasaran pembersihan penguasa Orde Baru (ORBA).
Pemerintah Orde Baru (ORBA) tidak meneruskan kegiatan Landreform, sebagai gantinya dibuatlah program Revolusi Hijau yang bertujuan menaikkan kehidupan kaum tani tanpa melakukan penataan struktur pemilikan tanah yang timpang. Selama 32 tahun Orde Baru (ORBA) berkuasa ternyata nasib kaum tani tidka mengalami perbaikan bahkan cenderung memburuk dengan semakin sedikitnya kaum tani yang memiliki tanah sendiri, sebagian tanah telah berpindah kepada pemilik modal, banyaknya tanah yang beralih fungsi diluar bidang pertanian semakin menjepit kehidupan petani dan ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah semakin besar dari saat pemerintahan Presiden Sukarno. Setelah rejim Orde Baru ditumbangkan akibat kegagalan dalam kontrak sosial dengan rakyat, maka semangat untuk kembali kepada keputusan politik tentang Reforma agraria yang sebenarnya adalah Land reform plus akses reforma karena konteks tahun 2001 berbeda dengan tahun 1960.
Sebagai antitesa kebijakan politik Orde Baru (ORBA), pemerintahan dimasa Reformasi berusaha mengembalikan tujuan mulia Landreform dengan disesuaikan perubahan jaman. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan keputusan politik berupa Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan yang harapannya kehidupan kaum tani bisa menjadi sejahtera. TAP ini menugaskan pemerintah untuk :
· Melaksanakan Landreform dan memberikan akses reform (teknologi, pasar, proteksi)
· Mengkaji peraturan perundang-undangan yang timpang tindih
· Melakukan penataan pengunaan tanah
Segenap bangsa Indonesia, baik suprastruktur politik ( eksekutif, legislatif, yudikatif) maupun infrastruktur politik (partai politik, LSM, organisasi massa rakyat) harus mendukung Reforma Agraria atau semakin hari bangsa ini semakin tergantung asing, makin terpinggirkan.

IV. Rekomendasi
Mayoritas penduduk Indonesia adalah petani, dalam iklim demokratisasi yang sedang berlangsung, mereka akan menentukan arah tujuan pembangunan dengan melakukan pertukaran politik lewat pemilu. Oleh karena itu elit politik menawarkan program Reforma Agraria untuk mengakomodir maksimalisasi kepentingan rakyat sekaligus rakyat akan memilih elit politik yang memperjuangan kepentingannya. Keputusan politik di atas memberikan rekomendasi seperti yang tertuang dalam TAP MPR Nomor IX Tahun 2001, agar Pemerintah melaksanakan kegiatan Reforma Agraria sebagai kegiatan strategis perintah yang bertujuan agar tercipta kemakmuran rakyat yang sejati.
Program yang diturunkan dari kegiatan strategis Reforma Agraria dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Program ini menjadi prioritas dalam terdokumnetasi Renstra 2007-2009 BPN RI. Untuk beberapa daerah sudah dilakukan kegiatan PPAN, mengingat kelangkaan sumber daya organisasi dan pemerintah maka prioritas adalah daerah yang paling timpang struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T).
Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
· Mengkaji ketimpangan antar peraturan dibidang agraria (pertanahan)
· Menginventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T)
· Menentukan dan memutuskan tanah yang termasuk Tanah obyek Landrefrom (TOL) yaitu tanah-tanah terlantar, kelebihan maksimum dan tanah absente
· Menyusun kriteria subyek reforma agraria dan menentukannya bersama-sama organisasi tani yang benar-benar satu haluan ideologi dengan BPN RI. Organisasi tani tersebut memiliki nilai yang mendkung pelaksanaan PPAN
· Membagikan/meredistribukan tanah obyek landreform kepada petani sesuai kriteri
· Membuka akses reform kepada petani penerima manfaat reforma agraria, yaitu akses terhadap pupuk, bibit, pestisida, irigasi, teknologi, pasar dan perlindungan serta akses lain yang berguna untuk meningkatkan kemakmurna kaum tani
· Memberdayakan petani dan kelembagaannya dengan memfasilitasi mereka dengan membuka serangkaian kerja sama yang dibutuhkan petani dan kelembagaannya, BPN menjadi fasilitator seperti terhadap lembaga perbankan, perusahaan perkebunan skala besar, pemda dan lain-lain
· Meningkatkan pembinaan partisipasi rakyat dan kelembagaannya dalam mensukseskan kegiatan PPAN, tanpa partisipasi maka kegagalan sudah di depan mata. BPN RI menganut paradigma bahwa rakyat itu yang paling paham akan kebutuhannya, sehingga peran-peran fasilitasi dan bina partisipasi sebagai ujung tombak keberhasilan




o.o.o Medeka 100%, Naar de Republik 1926 o.o.o

Tidak ada komentar: