Minggu, 21 September 2008

Menjaga Eksitensi Negara dengan Melindungi Tanah

I. Gambaran Umum

Kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh Pemerintah Orde Baru, menyisakan dampak yang tidak menguntungkan dari sisi ekologis. Sebelum dipaparkan kondisi nyata di lapangan, terlebih dahulu dikemukakan dalam kesempatan ini, bahwa kegiatan pembangunan telah membutakan kepentingan menjaga kelestarian lingkungan. Corak pemangunan yang tercipta adalah demi mengejar pertumbuhan ekonomi banyak sumberdaya alam dieksploitasi secara intensif dan besar-besaran bahkan melebih daya dukung bumi. Rakyat menjadi teringgirkan dalam urusan mengeksploitasi kekayaan alam, pemerintah masa lalu lebih memberi angin kepada para pemilik modal. Eksploitasi sumber daya alam khusus tanah dapat dilihat dari tingginya laju konversi kawasan pertanian yang umumnya tanah-tanah yang subur dan memiliki saluran irigasi teknis khususnya yang berada di dekat pusat kota membuat kualitas tanah pertanian menjadi rusak. Bahkan menimbulkan tanah kritis akibat keterlambatan pemanfaatannya, berkurangnya tanah subur menjadi ancaman tersendiri bagi dunia pertanian. Sektor industri diharapkan dapat mengejar pertumbuhan lebih tinggi daripada sektor pertanian. Ideologi pembangunan rezim Orde Baru adah mengejar pertumbuhan telah melahirkan semangat membela industrialisasi, meskipun telah mengorbankan aspek pertanahan selain hal di atas, kualitas lingkungan menjadi semakin memburuk akibat pencemaran terhadap air, udara dan tanah.
Penerapan konsep ekologi dalam pembangunan pertanahan di Indonesia, sebenarnya sudah diamanatkan dalam UU Nomor 5 tahun 1960, UU ini biasa disebut UUPA yang akan dijelaskan lebih rinci di bagian lain tulisan ini. Istilah ekologi diperoleh dari bahasa latin, oikos berarti rumah dan logy artinya ilmu. Bisa dipandang suatu llmu yang bersifat interdisiplin atau multi disiplin yang menggambarkan secara sistematis pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu aik terkait maupun tidak terkait sama sekali. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan yang dinamis antara organisme dan atau populasi dalam lingkungan organik dan anorganik. Hubungan lingkungan organik disebut biotik sedangkan anorganik disebut abiotik (Malik, 1986).
Rusaknya hutan akibat eksplotasi yang tidak dibarengi reboisasi menimbulkan lahan kritis dalam jumlah besar yang dapat mengancam kehidupan manusia dengan banjir, erosi, tanah longsor dan kekeringan yang berkepajangan. Tanah kritis masih disumbang dari kegiatan ekstraktif atau pertambangan, top soil yang kaya akan unsur hara tanah telah dipangkas untuk mengambil bahan tambang yang terdapat di bawahnya. Banyak ditemukan bekas daerah pertambangan menjadi lahan kritis, dimana bekas galian tambang setelah bahan tambang berharga diangkat dibiarkan menjadi kolam-kolam raksasa. Bisa dibayangan jika lokasi tambang tersebut dulunya adalah kawasan lindung. Hilangnya tanah subur atau hilangnya sumber daya alam khususnya tanah dapat mengancam keberlangsungan kehidupan manusia.
Tanah air bagi bangsa Indonesia adalah sebuah kesatuan yang bulat. Tanah air Indonesia lahir karena kemerdekaan dan itu tidak gratis, ada harga yang harus dibayar. Para pejuang telah berkorban untuk merebut dan mempertahankannya. Sebagai generasi penerus sudah sepantasnya tanah air dimanfaatkan dengan mengelola dengan arif untuk memperoleh kemakmuran, baik generasi sekarang dan yang akan datang (sustain). Kerusakan atau musnahnya tanah akibat eksploitasi alam seperti yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Sudah bisa dipastikan akibat pengeboran sumur gas oleh PT. Lapindo mengakibatkan ratusan hektar tanah menjadi musnah. Tanah tempat bermukim dan bertani bagi petani kini hilang, segala kehidupan yang dahulu dilakukan di atas tanah kini telah hilang. Hapusnya beberapa kelurahan pada peta Kabupaten Sidoarjo menjadi keniscayaan. Orang-orang harus dibangunkan bahwa tanah itu identik dengan eksistensi negara. Jika semburan lumpur terus menerus menenggelamkan kabupaten Sidoarjo maka satu kabupaten hilang. Tidak ternilai kerusakan lingkungan akibat keserakahan manusia mengekploitasi alam. Hal ini paradoks dengan usaha mengisi kemerdekaan, jangankan menjaga kelestarian tanah. Mempertahankan tanah saja tidak sanggup. Sedangkan dimasa perebutan kemerdekaan satu jengkal tanah diperjuangan dengan taruhan nyawa. Ketersinggungan kasus lumpur Lapindo dengan teori-teori pembangunan ekologi dapat ditemui pada bagian berikutnya.
Bagi rakyat Indonesia pada umumnya menganggap tanah memiliki hubungan khusus dengan manusia. Dari sisi pandangan spiritual manusia diciptakan dari debu tanah dan kembali menjadi tanah, bahkan tanah tidak semata dipandang unsur ekonomi semata, untuk beberapa masyarakat tertentu terdapat unsur budaya dan magis. Tanah tempat segala aktivitas manusia baik sosial, politik, ekonomi dan budaya. Keterkaitan mata pencarian mayoritas penduduk negeri ini sebagai petani menandakan tanah mempunyai posisi sentral dalam perekonomian masyarakat Indonesia.
Terlestariannya sumber daya alam khususnya tanah kiranya menjadi fokus perhatian para pihak yang mengelola pembangunan. Harus ada agenda bersama yang konsisten dikawal dalam aplikasinya di lapangan. Sekali negeri ini terlena maka kehilangan tanah sebagai sesuatu yang sangat berharga dan bisa menganggu eksistensi Negara Republik Indonesia. Penjualan tanah bercampur pasir dari pulau-pulau sekitar kepulauan Riau kepada Singapura dapat dianalisis. Pertama, negeri singa tersebut membutuhkan perluasan daratan untuk mendukung aktivitasnya dan keberlangsungan negara tersebut. Singapura akan terhapus dari peta dunia bukan karena diinvasi oleh negara lain melainkan jika pulau tersebut susut dan habis maka tamatlah riwayat negara Singapura. Berbagai usaha dilakukan untuk menjamin ketersedian tanah di negara Singapura. Salah satunya dengan reklamasi, dimana material penimbun lautnya didatangkan dari Indonesia. Demi menambah luas daratannya, pemerintah Singapura menghabiskan dollarnya untuk membeli material penimbun laut. Hasilnya daratan Singapura menjadi lebih luas akibat adanya tambahan tanah baru hasil reklamasi. Kedua, bertambahnya luas wilayah Singapura membawa dampak negatif bagi Indonesia, banyak pulau-pulau yang telah diambil tanah dan pasirnya menjadi kritis, hilangnya keanekaragaman hayati, bahkan sebagian besar hampir tenggelam. Sebuah harga yang mahal bagi Indonesia, bahwa hasil penjualan material ke singapura tidak bisa dinilai dengan uang semata. Kelestarian tanah yang terdapat di pulau-pulau yang hampir tenggelam harus dijaga, bila perlu perlu dilakukan pengembalian kepada kondisi awalnya. Meski ada penerimaan dana dari Singapura yang ditenggarai sebagai pemasukan bagi kas Pemda Kepulauan Riau namun kegiatan penjualan pasir dan tanah ke Singapura harus distop karena mengancam kelestarian lingkungan. Turunnya nilai pertumbuhan karena hilangnya pendapatan dari ekspor pasir dan tanah ke Singapura membawa dampak positif bagi lingkungan dengan terselamatkannya pulau-pulau yang lainnya.
Segala potensi yang bisa menambah pemasukan bagi pertumbuhan ekonomi digarap secara maksimal, tidak terlewatkan potensi hutan menjadi sasaran eksploitasi. Demi mengejar pertumbuhan ekonomi, menjadi sah kekayaan alam di dalam hutan diambil secara serakah. Banyak peraturan dilanggar pemegang HPH, laju kerusakan hutan ternyata lebih cepat pada kawasan hutan yang dimiliki pemegang HPH daripada kawasan hutan yang dihuni oleh masyarakat adat. Rusaknya jutaan ha hutan menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Munculnya lahan-lahan kritis yang bisa berpotensi menjadi gurun akibat keterlambatan kegiatan reboisasi. Selain dampak pemanasan global, perubahan iklim, masih ada dampak rutinitas yang akan merugikan rakyat sekitar hutan seperti bankir, tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan yang berkepanjangan saat musin kemarau.
Sebuah kebijakan pembangunan yang diambil dalam rangka menyelamatkan lahan-lahan kritis menjadi keharusan dan pada saat yang sama ijin untuk memanfaatkan hutan harus dilakukan secara selektif dan dibatasi sebagai langkah konservasi sumber daya alam. Penerimaan di sektor eksploitasi hutan memang akan menurun karena tertutupnya kegiatan eksploitasi karena masuk pada fase konservasi lingkungan dan sumber daya alam dimana hal tersebut akan menghasilkan kemampuan menahan laju pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah berkurangnya laju pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan berkurangnya kerusakan hutan dan tanah kritis.
Perang terhadap pembalakan liar (illegal logging) menjadi isu yang serius karena kejahatan pembalakan liar disejajarkan dengan korupsi. Penegakan hukum pada masa pemerintahan Reformasi terhadap pelaku kejahatan pembalakan liar telah menyentuh para pelaku intelektualnya, aparatur yang menjadi beking baik polisi, TNI dan kadis kehutanan yang terlibat pembalakan liar banyak yang sudah diproses secara hukum. Hanya komitmen dari pemimpin negeri dan dukungan segenap rakyat yang dapat memberantas pembalakan liar yang hanya menguntungkan segelintir orang tetapi merugikan negara dan generasi yang akan datang. Diharapkan agenda di atas dapat menahan laju kerusakan hutan yang pada akhirnya mengurangi lahan-lahan kritis yang berpotensi menjadi gurun. Negara tidak saja dirugikan akibat hilangnya pemasukan dari sektor industri kayu dan kondisi ini jelas merugikan generasi yang akan datang. Perhitungan dalil yang mengatakan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi agar laju kerusakan lingkungan bisa berkurang tidak berlaku dalam kondisi pembalakan luar karena negara tidak menerima pemasukan dalam rangka pertambahan pertumbuhan ekonomi. Sekalipun laju pertumbuhan ekonomi diperkecil, tanpa pemberantasan pembalakan liar laju kerusakan lingkungan tidak bisa ditekan.

II. Menjaga Kelestarian Tanah

Amanat mulia untuk melestarikan tanah terkandung dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria yang biasa disebut dengan UUPA. Aturan ini secara tegas mewajibkan para pemegang hak atas tanah tanpa terkecuali menjaga kelestarian tanahnya. Bahkan ada ancaman pidana bagi pemegang hak atas tanah yang terbukti lalai menjaga kelestarian tanahnya. Disini dapat dilihat Negara secara aktif menjaga kelestarian tanah bahkan diiring unsur paksaan. Kewajiban tersebut lahir pada saat hak atas tanahnya juga lahir. Para penyusun UUPA tersebut memandang tanah sebagai sumber daya alam yang sangat berharga oleh karena itu kelestarian tanah identik dengan kelestarian kehidupan rakyat termasuk keberlangsungan Negara Indonesia.
Tanah yang diterlantarkan oleh pemegang haknya dapat dicabut guna menghindari kerusakan tanah yang semakin parah. Terlepas dari apapun latar belakang penelantaran tanah adalah kegiatan kriminal, yang menghalangi akses orang lain mengelola tanah. Apalagi jika motif penelantaran tanah adalah sebagai obyek spekulasi semata maka pemerintah khususnya BPN RI dapat melakukan pemeriksaan dan status penelantaran dalam rangka pengendalian pertanahan. Langkah paling startegis adalah pencabutan hak atas tanah karena telah terjadi penelantaran tanah. Setelah status kepemilikan lahan dicabut maka lahan diberikan prioritas bagi rakyat yang aktif mengelolanya. Harapan yang muncul adalah tanah tidak diterlantarkan sehingga dapat bermanfaat dalam meningktakan produktivitas pertanian. Usaha pertanian yang dilakukan rakyat dalam skala kecil namun banyak tersebar dapat menciptakan keseimbangan produksi dengan daya dukung ekosistem daripada tanah dibiarkan terlantar.
Manusia yang secara alamiah adaptif terhadap perubahan, terkadap pengaruh adaptasinya sedemikian menjadi besar atau disebut maladaptif, kondisi ini tidak dapat diterima dalam mengelola lingkungan hidup. Perilaku manusia dapat meningkatkan daya dukung lingkungan atau menurunkannya. Perusakan hutan dengan cara tebang bakar dan penebangan hutan tanpa tebang pilih dengan membabat semua tegakan pohon, akibatnya terjadi penurunan tingkat kesuburan tanah, yang pada akhirnya penurunan pula daya dukung tanah. Sedangkan yang diharapkan dari peningkatan produksi adalah seperti di atas adalah menyeimbangkan daya dukung lingkungan.
Munculnya lahan-lahan terlantar baik itu yang diperkotaan, pedesaan dan bekas kawasan hutan menjadi keprihatinan tersendiri, selain hilangnya potensi ekonomi atas lahan-lahan tersebut aroma kerugian yang lebih besar akibat kritisnya lahan tersebut adalah musnahnya tanah-tanah yang sudah memasuki tahapan tanah kritis. Jika tanah sudah musnah maka tidak bisa kegiatan lain yang bisa dilakukan oleh umat manusia untuk mengembalikan tanah. Untuk tanah kritis saja diperlukan usaha yang maksimal dan sungguh-sunguh dengan memanfaatkan teknologi untuk mengembalikan unsur hara. Penegakan hukum atas penelantaran tanah merupakan salah satu agenda pembangunan untuk menjamin ketersediaan tanah bagi keberlanjutan kehidupan di Negara Indonesia. Keseriusan pemerintah dalam memberantas kegiatan penelantaran tanah adalah dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998 tentang Penertiban Tanah Terlantar. Hubungan biotik dan abiotik harus harmonis dalam mewujudkan keberlanjutan, disinilah peran negara untuk mewujudkan hubungan harmonis tersebut.
Sebagai negara yang banyak memiliki sumber daya alam yang melimpah, maka dari segi daya saing negara Indonesia telah memiliki peluang yang cukup besar, karena tidak tergantung dari negara lain untuk memperoleh sumber daya alam yang dibutuhkan. Seperti yang dipaparkan dibagian atas, bahwa tanah mempunyai nilai strategis. Dari sisi perekonomian negara Indonesia yang bercorak agraris, dimana mayoritas penduduknya mengantungkan mata pencarian dari mengolah tanah. Kemampuan mengolah tanah berbanding lurus dengan hasil produksi rumah tangga kaum tani. Peningkatan pendapatan kaum tani dapat ditingkatkan jika hasil panen mereka memiliki nilai ekonomis tinggi. Perlunya usaha pertanian yang mampu lebih banyak menghasilkan produksi panen agar peningkatan kesejahteraan petani dapat tercapai. Manusia memiliki tingkat ketergantungannya dengan tanah, yang dapat diterjemahkan terdapat ketergantungan ekonomis antara manusia dalam hal ini kaum tani terhadap lingkungan biofisiknya.
Hampir semua kegiatan manusia dilakukan di atas tanah, seperti bertani, bermukim, menghasilkan produksi, pelayanan jasa dan lain-lain. Munculnya kebudayaan masyarakat tergantung kepada pola kehidupan masyarakat dan kondisi lingkungan tempat bermukimnya. Budaya masyarakat pantai atau pesisir tentu berbeda dengan budaya masyarakat dataran tinggi (pegunungan). Manusia memiliki tingkat ketergantungannya dengan tanah tempat tinggalnya, yang dapat diterjemahkan terdapat ketergantungan budaya antara terhadap lingkungan biofisiknya.
Dari dua kondisi ketergantungan manusia baik dari sisi ekonomi dan budaya terhadap lingkungan biofisiknya. Terganggunya lingkungan biofisik akan mempengaruhi manusia baik dari sisi ekonomi dan budaya. Bisa dibayangkan jika lingkungan rusak, akan mempengaruhi kualitas kesuburan tanah, maka secara signifikan kesejahteraan petani menjadi ancaman serius karena lingkungan yang telah rusak tidak bisa menghasilkan hasil produksi pertanian yang maksimal, ancaman kegagalan panen sedemikian tinggi. Banjir, tanah longsor dan erosi adalah dampak ikutan dari kerusakan lingkungan, yang jika dibiarkan akan akan memusnahkan tanah maka ketersediaan tanah yang berkurang akan membawa dampak kesejahteraan juga semakin berkurang. Hubungan ekonomis manusia akan rusak diakibatkan keruskaan lingkungan. Demikian juga dari sisi budaya kerusakan lingkungan dapat mengancam kelestarian budaya yang telah tercipta dari generasi sebelumnya. Hubungan manusia dengan budayanya akan rusak diakibatkan rusaknya lingkungan. Kerusakan lingkungan dengan ditandai rusaknya tanah pertanian, maka para petani telah kehilangan budaya kaum tani, jika mereka meninggalkan lingkungan awalnya menuju lingkungan baru yang belum rusak maka budaya lama akan ditinggal. Adaptasi terhadap lingkungan baru akan menghasilkan budaya yang dapat berisi budaya lama bercampur budaya baru atau memang penciptaan murni budaya baru karena budaya lama tidak adaptif di lingkungan baru. Sekali lagi tercipta hubungan antara budaya baru dengan lingkungannya yang relatif baru, jika lingkungannya kembali rusak maka ancaman kerusakan budaya juga terjadi. Proses ini bisa dibayangkan seperti siklus berulang, pertanyaannya jika sampai satu titik tidak ada lagi lingkungan yang tidak rusak.
Langkah strategis untuk menghindari proses di atas adalah melakukan penerapan subsisten (usaha tani kecil) dimana pengetahuan tradisional budaya sebagai alternatif modernisasi ekologis. Menurut Lowe (1982), usaha pertanian kecil (subsisten) adalah lebih daripada suatu upaya mencari penghasilan. Kegiatan ini merupakan suatu gaya hidup dan karena itu, baik hambatan sosial maupun hambatan biologi, mempengaruhi perkembangannya. Lowe memberikan misal seperti pedesaan tradisional di Afrika, yang lahan dipandang sebagai sesuatu yang mendukung suatu masyarakat, dan bukan sekedar sebagai sekedar sumber keuntungan. Dalam usaha tani semacam itu ada semacam sistem masukan dan imbalan (reward). Ini berbeda dengan usaha tani komersil, yang menganut sistem masukan dan keluaran.
Upaya bertahun-tahun untuk merakit teknologi yang selaras untuk diterapkan pada usaha tani subsisten juga belum berhasil. Penerapan langsung teknologi yang ditawarkan di pasaran, yang dirakit untuk usaha tani maju di negeri maju, sering terjadi distosi dan sial. Hal ini disebabkan teknologi yang muncul di negara maju dirancang untuk menjawab tantangan kebutuhan pokok yang dihadapi masyarakat di negara maju, yaitu kelimpahan lahan dan modal bersamaan dengan kelangkaan tenaga kerja. Ketiga tantangan ini justru berlawanan dengan yang terdapat di negeri sedang berkembang ( Arulpragasam, 1985). Maka Ghildyal (1984) memunculkan istilah etnoteknologi sebagai asas teknologi yang selaras dengan usaha tani kecil. Dalam teknologi ini gatra ekologis dan sosial.
Farrell (1985) berpendapat bahwa kebijakan yang digariskan pemerintah Amerika Serikat dan emerintah negara-negara lain merupakan rangsangan bagi produsen untuk menggunakan teknologi yang kadang-kadang berakibat buruk pada lingkungan. Farrell mengunakan istilah determinisme teknologi untuk melukiskan kecenderungan penelitian pertanian menekankan sangat kuat, bahkan mungkin menekankan semata-mata, pada meninggikan produktivitas dan keluaran sektor pertanian. Meninggikan produktivitas dan keluaran sektor pertanian memang perlu, akan tetap itu bukan tujuan satu-satunya. Tiap teknologi selain memiliki matra produktivitas juga harus memiliki matra sumber daya dan lingkungan.
Pelajaran yang harus diambil dari negara maju adalah kegagalannya sehinga tidak mengulangi kesalahannya. Pada negeri maju usaha pertanian sudah merupakan bentuk industri pertanian. Bentuk pertanian semacam ini tidak membangun produktivtasnya menurut sistem usaha tani yang mendaur. Melainkan lebih menngantungkannya pada masukan banyak dari industri berupa pupuk dan pestisida. Sistem usaha tani industri cenderung menjadi ekosistem yang goyah. Potensi untuk mencapai hasil panen yang maksimum tidak dapat dilepaskan dari gandengannya dengan resiko yang menjadi kosekuensi ketidakmantapan ekosistem. Pengembangan pertanian ditujukan pada kuantitatif dan meninggalkan kualitatif.
Akibat samping negatif terhadap lingkungan dari usaha industri pertanian tidak boleh dianggap sepele. Intensifikasi pemupukan juga menimbulkan persoalan gawat mengenai kesuburan tanah. Padahal kesuburan tanah menjadi salah satu unsur penting. Penggunaan pupuk pabrik yang meningkat juga meningkatkan penyerapan unsur hara asli tanah berarti meningkatkan pengurasannya. Tanah subur lama-lama menjadi tidak subur dan bisa menjadi tanah kritis. Pentingnya mengembalikan dan menjaga unsur asli tanah
Keputusan politik berupa TAP MPR Nomor IX tahun 2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah mengamanatkan pemerintah untuk melakukan reforma agraria. Telah terjadinya ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam struktur agraria yang mengarah kepada kerusakan lingkungan, dapat dicegah oleh reforma agraria. Revolusi hijau yang pernah dijalankan hanya mengedepankan peningkatan hasil panen phisik dengan tidak melihat struktur produksi pertanian. Akhirnya revolusi hijau tidak selalu berhasil dalam skala pertanian tradisional. Potensi konflik yang tinggi antara petani tradisional dari segi ekonominya yang semakin hari semakin tersisih dengan petani pemilik modal. Belum lagi kualitas lingkungan yang semakin buruk akibat kelebihan masukan kepada ekosistem secara jelas merusak lingkungan phisik.
Kawasan bekas hutan yang telah rusak akibat kegiatan eksploitasi secara berlebihan cukup luas. Kondisi lahan kritis sudah didepan mata. Pemerintah hasil pemilu 2004, segera merespon dengan mengagendakan kegiatan reforma agraria di lahan bekas hutan sebanyak 8,15 juta Ha. Dengan reforma agraria tersebut harapan rehabilitasi tanah kritis dapat berjalan sesuai rencana dari sisi lingkungan menyelamatkan kemusnahan tanah, maka kesinambungan kehidupan berkelanjutan sebagai sarana pembangunan dapat tercapai.
Reforma Agraria harus Sustainable
Inti reforma agraria adalah land reform, namun dari perspektif HAM, refoma agraria itu bukan sekedar redistribusi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah melainkan harus ditunjang oleh seperangkat infrastruktur. Reforma agraria diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan, karena dari sisi perspektif ekonomi, mereka yang semula tunakisma atau petani gurem itu mampu menjadi pengusaha tani yang mandiri dan tidak terjerumus ke dalam utang. Seperangkat penunjang itu adalah:
(a) jaminan hukum atas hak yang diberikan
(b) tersedianya kredit yang terjangkau
(c) akses terhadap jasa-jasa advokasi
(d) akses terhadap informasi baru dan teknologi yang ramah lingkungan
(e) pendidikan dan latihan
(f) akses terhadap bermacam sarana produksi dan bantuan pemasaran.
Seperangkat penunjang tersebut barulah menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan erat dengan masalah kelembagaan. Aspek kelembagaan ini harus juga dipersiapkan kerangkanya, terutama kelembagaan yang memberi peluang bagi partisipsi rakyat. Penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah beserta seluruh paket penunjang tersebut secara lengkap itulah yang dimaksud sebagai “reforma agraria”.
Ada dua prinsip pokok yang harus diperhatikan agar reforma agraria sustainable, yatu:
Kebijakan reforma agraria harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Harapan adalah keberlangsungan produksi dapat mendukung lingkungan. Perubahan cara teknologi yang diadopsi oleh revolusi hijau menjadi dalam konteks ini, techno-farming merupakan bagian atau subordinat dari eco-farming. Tanah yang didistribusikan harus tanah-tanah yang produktif, bukan tanah-tanah marjinal yang hanya bisa produktif untuk jangka pendek dan rawan erosi. Demi hak-hak asasi generasi-generasi yang akan datang, diperlukan konservasi sumber daya. Sehingga terpeliharanya sumber daya produksi pangan, yaitu: tanah, air, dan keragaman hayati. Inilah kunci ketahanan pertanian, yang berarti ketahanan pangan. Bukan agribisnis yang dijalankan pemodal besar.
Dari aspek sosial-politik, sustainabilitas reforma agraria mensyaratkan dua hal: (a) Dalam berbagai programnya, reforma agraria tidak boleh diskriminatif. Kaum perempuan pedesaan harus dilibatkan peranannya; (b) Perlu diciptakan dan dipertahankan suasana demokratis yang menjamin kebebasan berserikat, dan penguatan organisasi-organisasi tani.
Kebijakan pemerintah yang berusaha mengejar ketahanan pangan, secara langsung menjaga keberadaan tanah pertanian. Pembangunan sektor pertanian dapat terus dilaksanakan akibat ketersediaan lahan. Jaminan kepada generasi yang akan datang semakin mengukuhkan relasi antara menjaga kelestarian tanah dengan keberlangsungan eksistensi negara.
Reforma agraria di atas dapat dijalankan sebagai penerapan teori pembangunan berkelanjutan, dimana seperti dijelaskan di atas adanya usaha melakukan pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Ada empat prinsip yang dipenuhi antara lain:
1. Pemenuhan kebutuhan manusia
2. Memelihara integrasi ekologi
3. Keadilan sosial
4. Kesempatan menentukan nasib sendiri
Berlangsungnya kegiatan reforma agraria dari sisi lain akan mengurangi dampak kerusakan lingkungan seperti diuraikan di atas. Jika kegiatan ini tidak dilaksanakan bisa diprediksi pemanfaatan tata guna lahan yang tidak sesuai, yang mengejar keuntungan semata akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Pelaku – pelaku agribisnis akan mengedepankan keuntungan dan percepatan pengembalian investasi tanpa melihat daya dukung lingkungan. Idealnya tercipta keharmonisan antara alam dan manusia atau manusia dengan lingkungan phisiknya. Keharmonisan adalah berbagai macam hubungan yang tidak merusak dalam batas-batas ekonomis dan penggunaan peluang-peluang teknologi ( Glaeser dan vyasulu, 1984). Tidak hanya sampai disitu, keharmonisan juga tercipta antara sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa kehadiran reforma agraria yang harus sustain maka tingkat keharmonisan tersbut akan semakin jauh, bahkan dititik tertentu akan menimbulkan konflik. Kerusakan lingkungan akan mengakibatkan pemisahan manusia dengan lingkungan phisiknya.
Sebuah harga yang mahal harus ditebus, ketidak mampuan menjaga lingkungan memaksa manusia menciptakan life space, keamanan personal memalui selubung phisik terdekatnya, yang selanjutnya membentuk gangguan sosial dan distrust antara masyarakat. Bisa dibayangkan reforma agraria yang sustain kondisi ini dapat berjalan akan menyelamatkan keadaan karena selama kegiatan reforma agraria tidak berjalan maka ancaman kerusakan lingkungan yang akan memisahkan manusia dari lingkungan phisiknya masih dapat menjadi kenyataan. Keberhasilan reforma agraria dapat meningkatkan manusia menjaga lingkungannya.
Belajar dari pengalaman buruk lumpur Lapindo, dapat dianalisis kerusakan lingkungan yang dapat diamati hancurnya tanah tempat peradaban manusia baik bermukim dan bertani serta aktivitas perekonomian lainnya telah memisahkan manusia dari lingkunganya. Hal ini dapat dilihat secara nyata dan proses musnahnya tanah di Sidoarjo terjadi secara perlahan dan pasti. Sehingga teori simbolisme lingkungan dapat diamati secara langsung.
Industrialisasi yang dibangun di Indonesia khususnya Jawa Timur membutuhkan energy dan bahan baku untuk produksi. Hal ini mendorong buruknya kualitas lingkungan sekitar kawasan industri, rakyat sekitar kawasan industri menerima dampak negatif, umumnya mereka adalah rakyat kaum bawah, sedangkan kelas atas menerima keuntungan industri dan mereka memiliki kemampuan untuk memilih lingkungan yang jauh dari industri dan lebih baik. Sekali lagi keserakahan manusia mengeksploitasi alam khususnya membangun sumur gas untuk kebutuhan industri telah membawa malapetaka bagi rakyat kecil, para penduduk, petani dan pekerja di Sidoarjo mendapatkan dampak yang sangat merugikan. Industrialisasi melahirkan resiko yang tidak terbatas ruang dan waktu. Sekali terjadi kesalahan maka hasilnya adalah rakyat kelas bawah menerima akibatnya mulai dari kehilangan mata pncaharian, harta berharga sampai kehilangan peradaban kehidupannya sedangkan elit kelas atas relatif terlindungi meski mereka yang dianggap penyebabnya. Pemilik Lapindo tetap aman-aman saja tidak terjangkau pengaruh buruk semburan Lumpur lapindo, bahkan beban kerusakan lingkungan dilimpahkan kepada negara, seandainya terjadi keuntungan dari proses Industrialisasi belum tentu Lapindo mau berusaha memberikan keuntungannya selain pajak kepada negara.



Rujukan :
Arulpragasam, L.C. 1985. ‘ Demand site’ Technology. Ceres 18 (6): 27-31
Farrell, K. 1985. Our pilicies have been strong incentives for produser to employ technologies that sometimes have adverse enviromental effects. Ceres 18 (6): 45-46
Ghildyal, B.P. 1984. Rethinking soil physics research. J. Indian Soc. soil Sci.32 : 556-574

Glaeser, B and V. Vyasulu. 1994. The Obsolescence of ecodevelopment. Dalam ecodevelopment : consepts, projects, strategies. Pergamon press, Oxfords. pp.1-6

Lowe, R.G. 1982. The deadline of the African peasantry. Ceres 15 (6): 36-39

Malik, S.L. 1986. Human ecology : biologycal. Dalam Aspects of Human Ecology. Northern book Center New Delhi. pp 1 - 45

Tidak ada komentar: