Kamis, 30 Oktober 2008

Antara Teori Modernisasi dan Dependensi

Teori Modernisasi Klasik

Bangsa Amerika Utara dan Eropa mendesain sebuah teori yang melibatkan ilmuwan, psikolog dan ahli-ahli sosial lainnya untuk mengatasi masalah pembangunan di negara dunia ketiga. Teori Modernisasi bernuansa Eropa sentris. Semua yang di Barat dianggap paling ideal dan negara dunia ketiga jika ingin modern harus memakai resep modernisasi ala Barat. Dengan kemampuan propagandanya, teori ini juga bertujuan membendung serbuan komunisme sejak perang dunia kedua sampai berakhirnya perang dingin, paradigma modernisasi telah diadopsi banyak negara dunia ketiga dalam melakukan pembangunan. Hal ini dipermudah karena teori ini merekomendasikan perlunya bantuan bagi negara berkembang dalam bidang ekonomi, tehnologi dan para ahli dari Amerika. Kemiskinan dan keterbelakangan di negara ketiga disebabkan faktor internal (budaya dan kultur) yang diidentifikasikan sebagai nilai-nilai tradisional. Budaya dan kultur di negara dunia ketiga dianggap sebagai penghambat terjadinya perkembangan masyarakat menuju modern. Warisan pemikiran teori modernisasi yaitu teori evolusi yang menggambarkan perkembangan dan perubahan sosisal merupakan gerakan searah dan seperti garis lurus. Masyarakat berkembang dari tradisonal menuju modern. Teori evolusi juga beranggapan perubahan secara lambat dan bertahap. Untuk perbaikannya perubahan harus menyentuh kultur dan struktur meninggalkan nilai-nilai tradisional dan mengadopsi nilai modern (Barat) hal inilah yang disebut modernisasi.
Beberapa ahli melakukan kajian antara lain dari sisi dimensi sosiologis, modernisasi menekankan pada perlunya diferensiasi struktural, masyarakat hanya menjalankan satu fungsi saja yang lebih khusus. Hal ini akan meningkatan fungsional kelembagaan dan meningkatkan efisiensi dan efektif dalam mencapai tujuan (Smelser, 1969). Dari sisi ekonomi, ada lima tahapan pembangunan ekonomi yang dialami negara maju, sehingga negara berkembang juga harus melewati tahapan tersebut. Fase yang kritis adalah fase lepas landas (Rostow, 1960). Transformasi ekonomi dapat berjalan dengan baik jika ada pembentukan modal untuk investasi, jika hal ini tidak ditemui di dalam negeri makan modernisasi menganjurkan bantuan dana pembangunan bagi negara berkembang untuk menggerakkan investasi. Sisi dimensi psikologis, modernisasi membutuhkan motivasi kebutuhan atau kebutuhan berprestasi, semakin tinggi kebutuhan berpretasi semakin modern suatu negara begitu juga sebaliknya. Dengan tingginya kebutuhan berprestasi akan menghasilkan kelompok wiraswastawan yang akan menggerakkan ekonomi modern (McClelland, 1964).
Melihat kondisi di atas maka implikasi dari kebijakan pembangunan adalah :
Secara implisit pebenaran hubungan kekuatan yang bertolak belakang antara masyarakat modern dan tradisional. Amerika Serikat dan Eropa sebagai negara maju, maka dijadikan sebagai model/panutan pembangunan. Negara dunia ketiga sebagai negara tradisional, miskin dna terbelakang
Ideologi komunisme sebagai ancaman pembangunan negara dunia ketiga
Modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang perlunya bantuan asing khususnya dari Amerika Serikat.

Hasil pembangunan saat diimplementasikan adalah menguatnya pembangunan ekonomi sebagai arus utama (main-stream) dari proses modernisasi. Ideologi pembangunan adalah pertumbuhan yang tinggi, efisiensi dan kompetisi. Ukuran kesuksesan pembangunan adalah angka-angka GDP, devisa negara, tingkat pertumbuhan dan lain – lain, dimana kenaikan angka tersebut dapat diartikan suksesnya pembangunan. Rakyat hanya penonton saja berharap dari tetesan yang mengalir dari atas, aktor utama adalah pemerintah, lembaga pembangunan asing, konsultan asing dan perusahan MNC.
Realitasnya pembangunan ini banyak gagal dibanyak negara berkembang khususnya Indonesia yang pada masa Orde Baru dengan mentah-mentah menelan obat modernisasi sebagai main-stream pembangunan. Hasilnya kemiskinan tidak berkurang, kerusakan alam yang luas, hutang luar negeri yang banyak, pengangguran meningkat, munculnya kediktatoran yang mengawal modal baik asing dan pengusahan lokal pemburu rente. Kritik yang muncul adalah:
Negara dunia ketiga harus meniru Barat. Hal ini adalah gejala etnosentris yang meletakkan negara dunia ketiga sebagai negara tradisional/primitif sedangkan negara maju/modern adalah negara Barat. Pelabelan ini sarat ideologis yang mengesahkan superioritas Barat
Teori Modenisasi mengabaikan kemungkinan dunia ketiga mencari dan mengembangkan alternatif pembangunannya sendiri
Para peneliti teori modernisasi terlalu optimis

Kritik ideologis lebih dalam lagi menyikapi, teori modernisasi adalah baju ilmiah yang dipakai Amerika Serikat untuk menutupi ideologi yang disembunyikan dibaliknya. Ideologi modernisasi menjadi senjata Amerika Serikat menghantam komunisme selama masa perang dingin. Teori ini juga melegalkan dominasi asing dengan bantuan uang, modal dan teknologi seakan melupakan sejarah bahwa negara dunia ketiga baru lepas dari jeratan kolonialisme yang dilakukan negara-negara Eropa. Dimana keterbelakangan negara dunia ketiga ditenggarai akibat politik kolonialisme. Hal ini dapat dilihat banyak negara sebelum mengalami kolonialisasi dadalah negara maju dan kaya, semenjak dijajah lama-lama menjadi miskin dan terbelakang sementara itu negara penjajah mengalami kemajuan yang pesat dan hidup dalam kemakmuran. Hal yang sangat ironis. Tiba-tiba negara bekas penjajah menjadi malaikat penolong bagi negara bekas jajahannya, saat kemerdekaan harus direbut secara paksa.
Teori Modernisasi Baru
Teori ini melihat interaksi nilai tradisional dengan nilai Barat, serta peran nilai tradisional dalam proses menunjang modernisasi. Di sini nilai tradisional yang selama ini sebagai penghambat pembangunan menurut teori modernisasi telah diakui sebagai hal penting dan tidak diposisikan sebagai dua hal yang saling bertentangan. Nilai tradisional tidak harus untuk ditinggalkan oleh negara dunia ketiga bahkan dianggap sebagai hal positif bagi pembangunan.
Peran nilai tradisional kembali direvitalisasi, pendekatan di atas banyak dipengaruhi dengan konsep baru seperti usaha familisme, teori barikade dan budaya lokal. Hubungan nepotisme yang diteliti di Hongkong ternyata nilai tradisional familisme mampu mendorong pembangunan ekonomi (Wong, 1988). Di Indonesia budaya tradisional merupakan hal dinamis dan selalu mengalami perubahan. Oleh karena itu budaya tradisional tidak menghalangi proses pembanguna (Dove, 1988).
Teori modernisasi baru kembali melihat peran sejarah, memberikan perhatian yang lebih terhadap keunikan dari proses pembangunan yang diamati. Apa yang diamati Wong belum tentu bisa dijelaskan dengan hal serua di Korea, Jepang dan negara dunia ketiga lainnya. Sejarah perkembangan dan tahapan yang dilalui pembangunan demokrasi tiap negara pasti berbeda. Proses demokrasi di Inggris dengan model linier tentu berbeda dengan proses demokrasi di Amerika Latin yang terbiasa dengan model siklus, yang ditunjukan dengan adanya pergantian secara teratur dari munculnya demokrasi dan despotisme sampai model dialektis, pemerintahan demokratis diganti diktator lalu tidka lama berganti menjadi transisi menuju demokrasi kembali seperti di Jerman, Spanyol dan Italia (Huntington, 1976).
Analisa dan pernyataan yang simplistik dihindari. Analisa dari lebih dari satu variabel lebih diutamakan dan dilakukan secara simultan terhadap berbagai pranata sosial yang ada (sosial, budaya, politik dan ekonomi), berbagai kemungkinan arah pembangunan dan interaksi antara faktor internal dan eksternal.

Teori Dependensi Klasik

Teori ini menjadi anti thesa dari pembangunan yang menggunakan teori modernisasi. Kegagalan KEPBBAL membuat kepercayaan terhadap teori modernisasi hilang. Faktor internal dari sebuah negara merupakan hal pokok yang membuat kemiskinan dan perkembangan. Paradigma dependensi melihat dari sudut yang berbeda, kemiskinan dan keterbelakangan bukan semata disebabkan faktor internal tetapi faktor eksternal berupa eksploitasi yang dilakukan negara maju terhadap negara berkembang. Maka solusi keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan bagi negara berkembang adalah memutus hubungan dengan negara maju.
Dalam teori ini ada dua kubu negara, satu kubu adalah negara pusat/metropolis dan kubu yang lain pinggiran/peri-pheri. Eksploitasi yang dilakukan negara metropolis terhadap negeri peri-pheri merupakan akar kemiskinan (Baran, 1957; Frank, 1967). Rekomendasi adalah memutus hubungan dengan dengan negara inti jika ingin terbebas dari kemiskinan dan keterbelakangan. Dimana bentuk hubungan inti-pinggiran tercipta model pembagian kerja internasional yang bersifat vertikal, negara maju yang memproduksi barang industri memiliki nilai tambah yang tinggi berbanding terbalik dengan negara pingiran yang memproduksi produk pertanian yang nilai tambahnya rendah (Prebish, 1953; Galtung, 1971). Perbedaan inilah yang membuat kemiskinan dan keterbelakangan. KEPBBAL, memberikan kritik tentang keusangan konsep pembagian kerja internasional (IDL). Kondisi ini juga yang memuluskan penghisapan surplus negara pinggiran kepada negara inti. Teori ini juga memandang bahwa kemiskinan dan keterbelakangan negara berkembang disebabkan oleh penghisapan surplus atas negara pinggiran melalui pengembalian bantuan kapital, teknologi dan SDM (Dos Santos, 1971).
Teori modernisasi dikritik sebagai cara untuk memuluskan penghisapan dari negara berkembang kepada negara maju. Semua inefisiensi negara maju dibebankan kepada negara pinggiran. Tidak hanya sampai disitu, negara yang paling dekat hubungannya dengan negara maju maka negara tersebut paling miskin dan terbelakang, meski sebelum berhubungan dengan negara inti, negara berkembang tersebut merupakan negara kaya. Kekayaan negara maju bisa dipastikan berasal dari pundi-pundi kekayaan negar apinggiran yang dihisapnya secara sistematis.
Implikasi kebijakan pembangunan dengan melakukan revolusi sosialis guna memotong hubungan dengan negara maju. Revolusi ini dibutuhkan karena elit berkuasa di negara pinggiran selama ini diuntungkan dengan pola ketergantungan dari negara maju. Elit berkuasa tersebut yang merupakan kelompok mapan (birokrat, militer, pendeta dan tokoh masyarakat) akan menghalangi pemutusan hubungan dengan negara inti, karena posisi mereka terancam. Berkaca pada pengalaman Revolusi Cina dan Kuba tanpa melewati 2 tahapan revolusi, mereka melewati tahapan Revolusi Borjuis, langsung menuju Revolusi Sosialis dan terbukti menang. Elit yang sebelumnya berkuasa lewat revolusi sosialis harus diganti oleh kekuatan rakyat tertindas. Rezim baru yang dipimpin oleh kaum tertindas akan dapat melakukan pemutusan hubungan dengan negara inti. Pelaku pembangunan bagi paradigma dependensi adalah rakyat kaum tertindas.

Teori Dependensi Baru

Teori ini lebih moderat dalam melihat hubungan penghisapan antara negara maju dan pinggiran. Rasa optimisme dari hubungan yang tergantung dapat menggeser posisi pinggiran menjadi ke tengah bahkan dapat menjadi inti (Hopskin dan Wallerstein, 1977). Tidak selamanya hubungan yang tergantung selalu merugikan negara pinggiran. Kedua belah pihak dapat mengambil keuntungan meski negara pinggiran dalam posisi tergantung masih dimungkinkan melakukan pembangunan. Hubungan inti-pinggiran bersifat dinamis tersebut tidak ditanggapi dengan negatif seperti pandangan dependensi klasik. Negara berkembang dapat mencapai kemajuan industrialisasi, proses ini disebut dependent devolopment . Teori ini merekomendasi bahwa hubungan inti-pinggiran tidak menjadi masalah sepanjang, ada harapan negara pinggiran mencapai kemajuan (Cordoso, 1973).
Elit militer dan politisi lokal yang memenangkan pertarungan politik dapat mempengaruhi ketergantungan dengan banyak memanfaatkan kerjasama modal nasional dan internasional, pola pembangunan tergantung berjalan meski mengorbankan kepentingan gerakan kerakyatan. Seperti yang ditegaskan dari penelitian Cordoso, O’Donnell dan Mas’oed.
Ketergantungan pembangunan yang dilakukan Taiwan yang diteliti Gold, ternyata membawa keuntungan dengan berhasil keluar dari krisis ekonomi. Pola ketergantungan lain yang dilakukan negara Korea Selatan yang diteliti Koo, membawa negara tersebut menjadi negara baru dijajaran negara Industri.

Tidak ada komentar: